- Back to Home »
- Ulum Al-Qur'an »
- Asbabun Nazul
Posted by : LaSaro'
Senin, 04 Februari 2013
ASBABUN NUZUL
A.
Pengertian
Berdasarkan makna
bahasa (etimologi), istilah asbabun nuzul berasal dari kata “asbab”
dan “nuzul”.[1]
Kata asbab merupakan bentuk jamak dari kata sababun yang berarti
sebab, alasan, illat.[2]
Sedangkan kata nuzul berasal dari kata kerja nazala yang berarti
turun.[3] Sedangkan
bistilah (tersminologis), asbabun nuzul dapat diartikan
sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat (Al-Qur’an), seperti halnya asbabul
wurud dalam istilah ulumul hadits.
Al-Zarqani memberi
pengertian bahwa asbabun nuzul adalah
suatu kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat, atau suatu
peristiwa yang dapat dijadikan petunjuk hukum berkenaan dengan turunnya suatu
ayat. Pernyataan senada juga diutarakan oleh Shubhi Al-Shalih bahwa sesuatu
yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat yang memberi jawaban terhadap
sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab itu.[4]
Sedangkan menurut Ash-Shabuni, ia mengatakan bahwa turunnya suatu ayat
disebabkan atau oleh adanya suatu peristiwa atau kejadian yang berhubungan
dengan peristiwa tersebut, baik itu berupa pertanyaan dari para sahabat ataupun
kejadian yang berkaitan dengan urusan agama.[5]
Berangkat dari pengertian
yang dikemukakan para ahli di atas dapat ditarik dua kategori mengenai sebab
turunnya sebuah ayat. Pertama, sebuah ayat turun ketika terjadi sebuah
peristiwa sebagaimana yang diriwayatkan Ibn Abbas tentang perintah Allah SWT kepada
Nabi SAW untuk memperingatkan kerabat dekatnya. Lalu, Nabi SAW naik ke bukit Shafa
dan memperingatkan kaum kerabatnya akan azab yang pedih. Karena itu, Abu Lahab
berkata: “Celakalah engakau! Apakah engakau mengumpulkan kami hanya untuk
urusan ini? Lalu ia berdiri, dan turunlah surah al-Lahab. Kedua, Sebuah
ayat turun bila Rasulullah SAW ditanya tentang sesuatu hal, untuk menjawab
pertanyaan itu turunlah ayat Al-Qur’an yang menerangkan hukumnya seperti
pengaduan Khaulah binti Tsa’labah kepada Nabi SAW berkenaan dengan zhihar
yang dijatuhkan suaminya Aus bin Samit, padahal saat itu, Khaulah binti
Tsa’labah telah menghabiskan masa mudanya dan sering melahirkan sehingga menjadi tua karenanya. Ketika
suaminya men-zhihar dirinya saat sudah berusia tua dan tidak bisa melahirkan lagi, ia pun protes.
Lalu, mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah SAW tentang kasus yang
menimpanya. Kemudian turunlah ayat: “Sesungguhnya Allah telah mendengar
perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya”, yakni Aus bin
Samit.[6]
Jelaslah bahwa asbabun nuzul merupakan peristiwa atau
kejadian yang melatarbelakangi turunnya satu atau beberapa ayat dalam rangka
menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari peristiwa
tersebut. Jadi dapat dipahami bahwa asbabun nuzul ada beberapa unsur penting
yang harus dilihat dalam menganalisa sebab turunnya suatu ayat, yaitu adanya
suatu peristiwa, pelaku, waktu, dan
tempat perlu diidentifikasi dengan cermat guna menerapkan ayat-ayat itu pada
kasus lain dan di tempat dan waktu yang berbeda.[7] Hal
ini tidak berarti bahwa setiap ayat yang turun disebabkan oleh suatu peristiwa
atau kejadian, atau karena adanya pertanyaan kepada Nabi mengenai agama. Tetapi
ada diantara ayat yang turun tanpa adanya sebab, yaitu mengenai aqidah, iman,
kewajiban-kewajiban dalam Islam.
B.
Urgensi Mempelajari
Asbabun Nuzul
Sebagian orang berpendapat
bahwa mengetahui asbabun nuzul itu
tidak begitu penting, karena tidak mempunyai tempat dalam perkembangan sejarah
dan kisah-kisah, bahkan tidak merupakan kebutuhan pokok bagi orang yang hendak
menafsirkan Kitabullah. Menurut penulis, ini adalah pendapat yang keliru dan
merupakan ucapan yang tidak bisa diterima, dan sangat jelas perkataan seperti
itu tidak keluar dari orang yang mengetahui tentang Al-Qur’an, juga tidak
pernah membaca pendapat para ulama tafsir.
Berikut beberapa
pendapat ulama tentang pentingnya mempelajari asbabun nuzul, yakni :
1.
Imam Al-Wahidi mengatakan: Tidak mungkin
orang bisa mengetahui tafsir suatu ayat, tanpa mengetahui kisah dan penjelasan
mengenai turunnya lebih dahulu.
2.
Imam Ibnu Daqieq al-Ied mengemukakan bahwa
keterangan sebab turunnya ayat adalah cara yang kuat dan penting dalam memahami
makna-makna Al-Qur’an.
3.
Ibnu Taimiyah mengatakan: Mengetahui asbabun
nuzul sangat membantu untuk memahami ayat. Sesungguhnya dengan mengetahui
sebab’ akan mendapatkan ilmu Musabbab.[8]
Dalam Ulumul Qur’an,
ilmu asbabun nuzul merupakan ilmu
yang sangat penting dalam menunjukkan hubungan dialektika antara teks dan
realita.[9]
Dalam uraian lebih rinci, urgensi asbabun
nuzul dalam memahami Al-Qur’an sebagai berikut:[10]
1.
Membantu
dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan mengatasai ketidakpastian dalam
menangkap pesan dari ayat-ayat tersebut. Umpamanya dalam Al-qur’an surah
Al-Baqarah (2):115
ولله المشرق والمغرب فأينما تولوا فثم وجه الله
Terjemahnya:
“Dan kepunyaan
Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah
Allah”.[11]
Dalam kasus salat, jika memperhatikan ayat di atas secara
makna semata, maka dapat dipahami bahwa seseorang boleh menghadap kiblat ketika salat.
Akan tetapi, setelah melihat asbabun
nuzul-Nya, kekeliruan interpretasi tersebut sangat jelas, sebab ayat di
atas berkaitan dengan seseorang yang sedang berada dalam perjalanan dan
melakukan salat di atas kendaraan dan tidak diketahui dimana arah kiblat.
2.
Mengatasi
keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum; Umpamanya dalam surah Al-An’am (6):145 dikatakan:
قُلْ لَا
أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ
يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا
عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Terjemahnya:
“Katakanlah: Tiadalah aku peroleh
dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang
hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir,
atau daging babi – Karena sesungguhnya
semua, barang siapa yang dalam keadaan
terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka
sesungguhnya Tuhan-Mu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[12]
Menurut Imam Asy-Syafi’i pesan ayat ini tidak
bersifat umum, tapi untuk mengatasi kemungkinan adanya keraguan dalam memahami
ayat di atas, beliau menggunakan asbabun
nuzul. Ayat ini menurutnya, diturunkan sehubungan dengan orang-orang kafir
yang tidak mau memakan sesuatu, kecuali apa yang telah dihalalkan Allah, dan
menghalalkan yang telah diharamkan Allah merupakan kebiasaan orang-orang kafir,
terutama orang yahudi, maka turunlah ayat diatas.
3.
Mengkhususkan
hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an bagi ulama yang berpendapat bahwa
yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus dan bukan lafaz yang
bersifat umum.
4.
Mengidentifikasikan
pelaku yang menyebabkan turunnya ayat Al-Qur’an sebagaimana kasus Aisyah yang
pernah menjernihkan kekeliruan Marwan yang menunjuk Abdul Rahman Ibn Abu Bakar
sebagai orang yang menyebabkan turunnya ayat. Untuk meluruskan masalah ini, Aisyah
berkata kepada Marwan, “Demi Allah, bukan dia yang menyebabkan ayat ini turun,
dan aku sanggup menyebutkan siapa orang yang sebenarnya.
5.
Memudahkan
untuk menghafal dan memahmi ayat, serta untuk menetapkan wahyu ke dalam hati
orang yang mendengarnya, hal ini karena hubungan sebab akibat hukum, peristiwa
dan pelaku, masa dan tempat merupakan jalinan yang dapat mengikat hati.
C.
Sumber dan Cara Mengetahui
Asbabun Nuzul
Adapun asbabun nuzul diketahui melalui riwayat
yang disandarkan kepada Nabi tetapi tidak semua riwayat yang disandarkan
kepadanya dapat dipegang. Riwayat yang dapat dipegang adalah riwayat yang
memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana ditetapkan oleh para ahli hadis, Secara khusus dari riwayat asbabun nuzul adalah riwayat dari orang
yang terlibat dan mengalami peristiwa yang diriwayatkannya (yaitu pada saat
wahyu diturunkan). Riwayat yang berasal dari para tabi’in yang tidak merujuk
kepada Rasulullah SAW dan sahabatnya dianggap lemah (Dhaif); Sebab itu,
seseorang tidak dapat begitu saja menerima pendapat seorang penulis atau orang
seperti itu bahwa suatu diturunkan dalam keadaan tertentu. Karena itu, kita
harus mempunyai pengetahuan tentang siapa yang meriwayatkan peristiwa tersebut,
dan apakah ia memang sungguh-sungguh menyaksikan, dan kemudian siapa yang
menyampaikannya kepada kita.[13]
D.
Hikmah Mempelajari
Asbabun Nuzul
Adapun hikmah
mempelajari asbabun nuzul adalah mencakup hikmah atas kaum muslimin dan
kaum non muslim dan hikmah yang dapat di petik oleh kaum muslimin dalam
mempelajari asbabun nuzul adalah dapat menambah iman kaum muslimin setelah
mempelajari asbabun nuzul. Dan adapun hikmah yang dapat di ambil oleh kaum non
muslimin adalah dapat menambah kepercayaan mereka terhadap Al-Qur’an sehingga
dengan mengetahui sebab turunnya ayat di dalam Al-Qur’an dapat menjadikan
mereka masuk ke dalam Islam[14]
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Jalaluddin, al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an (Maktabah al-Tsaqafah,
Lebanon, tahun 1937, Jilid 1)
Anwar, Rosihan,
Ulumul Qur’an, Cet. III; Bandung: Daftar Pustaka, 2006
Ash-Shabuni, Muhammad Ali, at-Tibyan fi Ulumil Qur’an,
Damaskus: Maktabah al-Ghazali, 1390
Ash-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Beirut:
Pustaka Firdaus, 1985
Ash-Shalih, Subhi Mabahits fi ulumil Qur’an, diterjemahkan
oleh Tim Pustaka Firdaus dengan judul, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Cet.
XIX; Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2004
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta:
CV. Indah Press, 2002)
Izzan, Ahmad, Ulumul Qur’an
(Telaah Tekstual dan
Kontekstual Al-Qur’an), Cet. III; Bandung: Tafakur (Kelompok
HUMANIORA)-Anggota Ikapi, 2009
Munawwir, Ahmad Warson , Almunawwir: Kamus Arab-Indonesia, Cet.
XIV; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997
Shihab, Quraish, dkk., Sejarah dan Ulumul Qur’an, Cet. I; Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1999
Zayd, Nasr Hamid Abu, Tekstualitas Al-Qur’an, (Cet. I;
Yogyakarta: Lkis, 2001)
[2] Ahmad Warson
Munawwir , Almunawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Cet. XIV; Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h. 602
[4] Quraish
Shihab., dkk., Sejarah dan Ulumul Qur’an, (Cet. I; Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1999), h. 78. Lihat juga, Subhi As-Shalih dalam Mabahits fi ulumil
Qur’an, diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus dengan judul, Membahas
Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Cet. XIX; Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2004),
h. 173.
[5] Muhammad Ali
Ash-Shabuni, at-Tibyan fi Ulumil Qur’an, (Damaskus: Maktabah
al-Ghazali:, 1390), h . 22
[6] Ahmad Izzan, Ulumul
Qur’an (Telaah Tekstual dan Kontekstual Al-Qur’an), (Cet. III;
Bandung: Tafakur (Kelompok HUMANIORA)-Anggota Ikapi, 2009), h. 181-182
[7] Quraish
shihab., dkk., Op Cit., h. 78
[8] Jalaluddin
Abdurrahman, al-Itqan fi Ulum
Al-Qur’an (Maktabah al-Tsaqafah, Lebanon, tahun 1937, Jilid 1), h. 28
[9] Nasr Hamid Abu
Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an, (Cet. I; Yogyakarta: Lkis, 2001), h. 125
[10] Rosihan Anwar,
Op Cit,.h. 64-66
[11] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Indah Press, 2002),
h. 31
[12] Ibid., h. 212
[13] Quraish
Shihab., dkk., Op Cit., h. 81
My Blog List