- Back to Home »
- Pemikiran Islam »
- Mu'tazilah
Posted by : LaSaro'
Sabtu, 26 Januari 2013
MU’TAZILAH
A.
Pengertian
Mu’tazilah dan Sejarah Timbulnya
Mu’tazilah berasal dari
bahasa Arab إعتزل-يعتزل-إعتزالا yang akar katanya terdiri dari huruf ع-ز-ل yang berarti penyingkiran
atau penjauhan dan kecondongan.[1]
Hal itu dikuatkan oleh firman Allah swt. “وإن لم تؤمنوا لي فاعتزلون”Dan jika kamu tidak beriman kepadaku Maka
biarkanlah Aku (memimpin Bani Israil)".[2] Bahkan Ibnu Manzur menafsirkannya dengan
mengatakan “Dan jika
kalian tidak beriman kepadaku maka janganlah memusuhiku dan janganlah bersama
denganku.”[3]
Dari pengertian akar katanya dapat dipahami bahwa kata al-Mu’tazilah
berarti orang yang condong, berpisah atau
memisahkan diri, menjauh atau menyingkir.[4]
Namun secara termenologi, ada beberapa komentar atau analisa
seputar pemberian nama al-Mu’tazilah tersebut. Analisa
yang paling dominan adalah peristiwa yang
terjadi antara Wasil Ibn ‘Atha’ dan sahabat ‘Amr Ibn ‘Ubaid dengan Hasan
al-Basri di Basrah. Wasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran
yang diberikan Hasan al-Basri di mesjid Basrah. Pada suatu hari datang seorang
bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Sebagaimana
diketahui kaum Khawarij memandang mereka kafir serta kaum Murji’ah memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-Basri sementara berfikir,
Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan: “Saya berpendapat
bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi
mengambil posisi di antara keduanya; tidak mukmin dan tidak pula kafir”.[5]
Kemudian wasil berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi mecari tempat lain di mesjid dan di sana ia mengulangi pendapatnya kembali.
Atas peristiwa ini Hasan al-Basri mengatakan: “Wasil menjauhkan diri dari kita
(i’tazala ‘anna).” Dari peristiwa itulah
muncul nama al-Mu’tazilah sebagaimana pendapat al-Syahrastani.[6] Versi lain yang diberikan oleh Tasy Kubra Zadah,
menyebutkan bahwa Qatadah Ibn Da’amah pada suatu hari masuk ke Mesjid Basrah
dan menuju ke majelis ‘Amr Ibn ‘Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan
al-Basri. Setelah mengetahui bahwa itu bukan majelis Hasan al-Basri ia berdiri
dan meninggalkan tempat itu, sambil berkata: “Ini kaum Mu’tazilah.” Semenjak
itu, menurut Tasy Kubra Zadah, mereka disebut kaum Mu’tazilah.[7]
Di samping pendapat-pendapat klasik tersebut, Ahmad Amin mengajukan teori baru dengan mengatakan bahwa nama al-Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil
dengan Hasan al-Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi di antara
dua posisi.[8]
Namun penamaan al-Mu’tazilah
itu dipakai terhadap golongan orang-orang yang tidak mau turut campur dalam
pertikaian-pertikaian politik yang terjadi pada zaman ‘Utsman Ibn ‘Affan dan
‘Ali Ibn Abi Thalib. Mereka menjauhkan diri dari golongan-golongan yang saling
bertikai.[9]
Dengan demikian, kata i’tazala dan mu’tazilah telah dipakai kira-kira seratus
tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri, yang mengandung arti
golongan yang tidak mau ikut dalam pertikaian politik yang terjadi pada
zamannya.
Mencermati pendapat ulama seputar al-Mu’tazilah, maka dikatakan
bahwa secara teknis, istilah al-Mu’tazilah terbagi dalam
dua kategori
yaitu: Pertama: Golongan yang muncul murni sebagai respon politik. Golongan ini tumbuh
sebagai kaum yang menjunjung politik netral, khususnya dalam arti bersikap
lunak dalam menangani pertentangan antara ‘Ali Ibn Abi Thalib dan
lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah, dan ‘Abdullah bin Zubair. Menurut Nurcholis Madjid, golongan inilah
yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari
pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma
teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh di kemudian hari.[10] Kedua: Golongan yang muncul sebagai respon terhadap
persoalan teologis yang berkembang di
kalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini
muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah
tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.
C.A. Nallino seorang orientalis Italia mengemukakan pendapat yang hampir sama
dengan Ahmad Amin, bahwa
nama Mu’tazilah sebenarnya bukan berarti memisahkan diri dari umat Islam
lainnya sebagaimana pendapat as-Syahrastani, al-Baghdadi, dan Tasy Qubra Zadah.
Nama Mu’tazilah diberikan kepada mereka karena mereka berdiri netral di antara
Khawarij dan Murji’ah.[11]
Oleh karena itu, golongan kedua Mu’tazilah mempunyai hubungan yang erat dengan
golongan mu’tazilah pertama.[12]
B.
Ushul
al-Khamsah
Setiap sekte mempunyai pemikiran, pendapat, ajaran dan keyakinan
yang berbeda satu sama lain. Al-Mu’tazilah juga memiliki doktrin yang dikenal
dalam bentuk lima ajaran dasar yang populer dengan istilah al-ushul al-khamsah.[13] Istilah al-ushul al-khamsah belum tampak pada
masa washil Ibn Atha’ dan baru sempurna ketika masa Abu al-Huzail al-‘Allaf.[14]
Kelima dasar itu akan dijelaskan sebagai berikut.
1. Al-Tauhid
Ajaran pertama al-Mu’tazilah adalah al-tauhid yang
berarti meyakini sepenuhnya bahwa Allah swt. adalah dzat yang unik dan tidak
ada yang serupa dengan-Nya. Al-Tauhid berarti tidak ada sifat yang berdiri di
luar dzat Allah swt. yang dikenal dengan nafy al-sifat (penafiyan
sifat-sifat Allah swt.). konsekwensinya Allah tidak boleh sama dengan
makhluknya seperti memiliki tangan, mempunyai bentuk fisik, dapat dilihat di
akhirat.[15] Singkatnya mereka menolak
paham antroporfisme.
2. Al-‘Adl
.
Paham keadilan dalam pandangan al-Mu’tazilah membawa
pada pengertian bahwa Tuhan wajib berlaku adil dan mustahil berbuat zalim.
Ajaran ini menimbulkan paham al-shalah wa al-ashlah yang berarti Allah
wajib berbuat baik bahkan yang terbaik bagi manusia seperti Allah wajib mengirimkan
nabi dan rasul, memberikan daya dan keinginan sendiri kepada manusia,
memberikan taklif yang sesuai dengan kemampuan mereka, dan lain sebagainya.[16]
3. Al-Manzilah
bain al-Manzilatain
Ajaran ini bermaksud menengah-nengahi antara sekte
Khawarij yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar termasuk kafir, sedangkan
sekte Murjiah berpendapat bahwa pelakunya tetap dikategorikan orang mukmin.
Dalam pandangan al-Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak mukmin,[17]
akan tetapi dia berada dalam posisi tengah-tengah, sehingga jika tidak taubat
maka dia kekal dalam neraka.[18]
4. Al-Wa’d
wa al-Wa’id
Menurut al-Mu’tazilah, Allah
wajib menepati janji-Nya memasukkan orang mukmin ke dalam surga dan
mencampakkan orang kafir dan orang berdosa besar ke dalam neraka.
Konsekwensinya pelaku dosa besar tidak mendapatkan syafaat, tidak mengeluarkan
penghuninya dari neraka.[19]
Oleh karena itu, manusia bertanggung jawab penuh atas segala tindakannya. Jika
manusia memilih untuk beriman dan berbuat baik maka dia dijanjikan pahala masuk
surga dan jika ingkar dan berbuat dosa maka dimasukkan ke dalam neraka.[20]
5. Al-Amr
bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar
Dalam
prinsip al-Mu’tazilah, setiap muslim wajib menegakkan amr ma’ruf nahy munkar. Menyebarkan dakwah Islam, memberi petunjuk
kepada orang yang sesat. Amr ma’ruf nahy
munkar dilaksanakan dengan hati jika cukup, dengan seruan jika hati tidak
cukup, dengan tangan (kekuasaan) jika belum cukup bahkan dengan pedang
(paksaan) atau kekerasan jika memang diperlukan.[21]
Berdasarkan pancadasar (ushul al-khamsah) al-Mu’tazilah
tersebut,[22]
ada berbagai macam sekte yang dapat dikategorikan sebagai sub-golongan al-Mu’tazilah
karena memiliki kesamaan satu sama lain meskipun tidak sepenuhnya sama, antara
lain:
1.
Jahmiyah, dinamakan demikian karena Jahmiyah
lebih dahulu muncul, juga karena Mu’tazilah sependapat dengan Jahmiyah dalam
beberapa hal dan karena di awal kemunculannya Mu’tazilah menghidupkan
prinsip-prinsip Jahmiyah.[23]
2.
Qadariyah (kelompok yang menolak iman kepada
taqdir), dinamakan demikian karena mereka juga mengingkari taqdir dan
berpendapat manusialah yang menciptakan perbuatannya sendiri sebagaimana
pendapat Qadariyah.
3.
Mu’thilah
(kelompok yang meniadakan), dinamakan demikian karena mereka meniadakan
sifat-sifat Allah.[24]
4.
Tsanawiyah dan Qadariyah, dinamakan demikian
karena Mu’tazilah berpendapat bahwa perbuatan baik itu dari Allah dan perbuatan
jelek itu dari manusia. Ini menyerupai Tsanawiyah dan Qadariyah yang meyakini
adanya dua tuhan, yaitu tuhan kebaikan dan tuhan kejahatan.
5.
Wa’idiyah,
dinamakan demikian karena mereka berpendapat bahwa Allah harus menyiksa pelaku
dosa yang belum bertaubat sebelum matinya.
6.
Ahl
‘Adl Wat Tauhid Wal ‘Adalah (kelompok yang bertauhid dan menegakkan keadilan).
Ini nama yang mereka akui berdasar aqidah lima pokok mereka dan senang dijuluki
ahl al-tauhid.[25]
7.
Firqah
Najiyah (kelompok yang selamat). Ini juga nama yang mereka sematkan untuk
mereka sendiri.
8.
Al-Munazihun
Lillah (orang-orang yang mensucikan Allah). Ini juga nama yang mereka klaim
untuk kelompok mereka sendiri.[26]
9.
Al-Haraqiyah, mereka berpendapat bahwa orang kafir tidak
disiksa dalam api neraka kecuali sekali saja.
10. Al-Mufaniyah, mereka berpendapat bahwa neraka dan surga itu
tidak kekal.
11. Al-Lafzhiyah, mereka berpendapat bahwa lafazh-lafazh
Al-Qur’an itu adalah makhluk.
12. Al-Qabriyah, mereka berpendapat bahwa adzab kubur itu tidak
ada.[27]
C.
Tokoh-tokoh
al-Mu’tazilah
Aliran al-Mu’tazilah melahirkan banyak
pemuka dan tokoh penting. Karena pusat pengembangan al-Mu’tazilah berada di
Bashrah dan di Bagdad, maka para pemukanya pun terbagi dalam dua kelompok
berdasarkan dua madrasah besar yang menjadi pusat pengkaderan dan penyebaran
ide-ide mereka. Bashrah dengan pimpinannya Washil dan Baghdad dengan
pimpinannya Bisyr bin Mu’tamar.[28]
Abu Ya’qub
|
An-Nazzam
|
Al-Aswary
|
al-‘Allaf
|
Hisyam
al-Fuwathy
|
Madrasah Bashrah
|
Ibrahim
al-Madani
|
‘Amr
Ibn Ubaid
|
Washil
Ibn ‘Atha’
|
Hafsh
Ibn Salim
|
Khalid
|
Usman
al-Thawil
|
Abu Bakar al-Ashm
|
Muammar Ibn Abbad
(Tokoh Bagdad)
|
Al-Jahiz
|
Ubbad
Ibn Sulaiman
|
Bisyr
Ibn al-Mu’tamar
|
Ja’far
Ibn Harb
|
Abu
Musa al-Murdar
|
Ahmad
Ibn Abi Daud
|
Sumamah Ibn al-Asyras
|
Ja’far
Ibn Mubassyir
|
Madrasah
Bagdad
|
Al-Khayyath
|
Abu
al-Qasim al-Balkhy
|
Abu
Ja’far al-Iskafy
|
Isa
Ibn al-Hutsaim
|
Muammar
Ibn Abbad
|
Al-Jubba’i
(Guru al-Asy’ary)
|
Bisyr
Ibn al-Mu’tamar
(Tokoh
Bagdad)
|
Namun dengan keterbatasan dan berbagai
alasan, tokoh-tokoh tersebut diatas tidak dapat dicantumkan seluruhnya dalam
makalah ini,[29]
penulis hanya menjelaskan biografi tokoh-tokoh al-Mu’tazilah yang berjasa besar
mengembangkan dan membidani kelahiran serta kelangsungan hidup sekte ini,
antara lain yang terkenal adalah:
1. Washil bin Atha’ (80-131 H./699-748 M.)
Washil bin ‘Atha’, lahir pada tahun 80 H, di Madinah,
belajar pada Imam Hasan al-Bashri di Bashrah, kemudian memisahkan diri dalam
kasus hukum bagi pelaku dosa besar. Meninggal pada
tahun 131 H. Ajaran-ajarannya antara lain:
a.
Pelaku
dosa besar berada di manzilah bain manzilatain (posisi antara dua posisi yang
ada).
b.
Paham
Kadariyah yang diajarkan oleh Ma’bad dan Ghailan.[30]
Paham ini mengajarkan bahwa manusialah yang menciptakan segala perbuatannya,
baik maupun buruk dan Allah bersifat adil, tidak mungkin berbuat jahat dan
bersifat zalim.
c.
Peniadan
sifat-sifat Allah dalam arti bahwa apa yang disebut sifat Allah sebenarnya
Esensi Allah itu sendiri.[31]
2. Al-‘Allaf (135 – 235 H./753-850 M.)
Al-‘Allaf bernama lengkap Abu al-Huzail Muhammad Ibn
Huzail al-‘Allaf. Dia termasuk tokoh al-Mu’tazilah yang paling berpengaruh pada
Madrasah al-Basharah. Lahir pada tahun 135 H., tepatnya tiga tahun
pascaterbentuknya pemerintahan al-abbasiyah dan wafat pada tahun 235 H., yaitu
pada awal pemerintahan al-Mutawakkil.[32]
ia seorang pemikir dan ahli kalam Mu’tazilah serta banyak mengetahui filsafat
Yunani sehingga memudahkannya menyusun ajaran al-Mu’tazilah yang bercorak
filsafat. Lahir dan belajar di Bashrah kemudian pindah ke Baghdad. Di antara
pemikirannya yang berbeda dengan tokoh-tokoh al-Mu’tazilah adalah:
a.
Allah
itu ‘Alim (Maha Mengetahui) dengan dzat-Nya,
Allah itu Qadir (Maha Berkuasa) dan Qudrah Allah adalah dzat-Nya,
demikian seterusnya. Singkatnya dia meniadakan seluruh sifat selain dzat Allah
sebagaimana yang dilakukan oleh Wasil akan tetapi dia lebih mendalam.
b.
Alam
memiliki cakupan dan batasan karena alam adalah hal yang baru, termasuk surga
dan neraka.
c.
Manusia
terbebani taklif (kewajiban) yang mampu dibedakan oleh akal antara yang baik
dan yang buruk meskipun tanpa syariat atau wahyu.
d.
Ajaran
al-shalah wa al-ashlah (Allah wajib berbuat baik dan terbaik).[33]
3. Al-Nazzam (185-231 H./801-846 M.)
Al-Nazzam nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Sayyar
Ibn Hani’ al-Nazzam al-Bashry. Dia murid Abu Huzail al-‘Allaf. Keahliannya yang
paling dominan adalah sastra dan theologi. Dia tumbuh di Bashrah dan pernah tinggal
di Baghdad sampai meninggal pada tahun 231 H. dalam usia yang sangat
mudah yaitu 36 tahun. Di antara pendapatnya adalah:
a.
Allah
tidak mempunyai sifat qudrah (mampu) atas perbuatan jahat dan maksiat. Artinya seluruh perbuatan jahat itu
berasal dari manusia semata, manusialah yang menciptakannya.
b.
Kemukjizatan
al-Qur’an terletak pada informasi tentang alam gaib, sedangkan susunan, aturan
dan gaya bahasanya mampu ditiru oleh manusia andaikan Allah berkenan.
c.
Menempatkan
akal pada tempat yang paling tinggi. Akibatnya dia menghujat para sahabat Nabi,
meletakkan mereka pada level yang sama dengan manusia yang lain serta
mengkritisi proses politik sahabat dan pemahaman fiqhi mereka.
4. Al-Jubbai (w. 303 H./916 M.)
Al-Jubbai bernama lengkap Muhammad Ibn Abd Wahhab Ibn Salam Abu
Ali al-Jubbai. Dia salah seorang tokoh al-Mu’tazilah yang terkenal dalam bidang
ilmu filsafat dan theologi.[34]
Dia merupakan guru Abu Hasan al-Asy’ary, pendiri aliran asy’ariyah. Pendapatnya
yang paling masyhur antara lain:
a. Kalam Allah sebagaimana pendapat an-Nazam
b. Allah tidak mempunya sifat akan tetapi esensi sebagaimana
pendapat al-‘Allaf.
c. Kewajiban manusia terbagi dua, yaitu: wajibah
al-Aqliyah (kewajiban manusia yang diketahui melalui akal) dan wajibah
syar’iyah (kewajiban manusia yang dibawa oleh Rasul atau Nabi).
d. Daya akal manusia yang sangat besar karena dapat
mengetahui Tuhan dan bersyukur kepada-Nya dan mengetahui baik dan buruk.[35]
D.
Perkembangan
Aliran al-Mu’tazilah dan Pengaruhnya dalam Dunia Islam
Al-Mu’tazilah lahir pertama kali di kota
Bashrah, namun berkembang dengan cepat di Baghdad. Sekte ini dianut oleh
khalifah Yazid bin al-Walid dan Marwan bin Muhammad dari pemerintahan Umawiyah.
Sekte ini semakin berkembang pada masa pemerintahan Abbasiyah dan mencapai
puncaknya keemasannya pada rentang waktu 100-255 H. Sekte al-Mu’tazilah berkembang
menjadi sebuah gerakan pemikiran yang menyibukkan dunia Islam dalam rentang
waktu yang panjang pada masa pemerintahan Abbasiyah.[36]
Sekte Mu’tazilah lahir pada akhir masa
pemerintahan Umawiyah, sebab antara al-Mu’tazilah dengan pemerintahan Umawiyah
tidak terjalin hubungan yang harmonis, bahkan cenderung saling membenci satu
sama lain.[37]
Al-Mu’tazilah tumbuh sebagai sebuah sekte
dengan keluarnya Washil bin ‘Atha’ dari pengajian Imam Hasan al-Basri. Ia hidup
pada masa Abdul Malik bin Marwan dan Hisyam bin Abdul Malik. Namun diawal
kemunculannya, aliran tidak mendapat simpati umat Islam, khususnya di kalangan
masyarakat awam karena ajaran mereka yang bersifat rasional dan filosofis.
Pada masa pemerintahan al-Makmun (198-218
H./813-833 M.) di masa khilafah Abbasiyah, al-Mu’tazilah menjadi sekte yang
memegang peranan penting dalam pemerintahan dan mendapatkan dukungan yang luas,
karena khalifah menganut sekte ini. Pada masa itu para pemimpin al-Mu’tazilah
seperti Bisyr al-Muraisy, Tsumamah bin Asyras dan Ibnu Abi Du’at menjadi
penasehat-penasehat al-Makmun karena ajaran al-Mu’tazilah menjadi madzhab yang
resmi.[38]
Pada masa inilah timbul fitnah yang terkenal dengan nama mihnah khalq al-Qur’an (pengujian kemakhlukan al-Qur’an) di mana
para ulama Ahl al-Sunnah yang menolak mengakui al-Qur’an itu makhluk akan dipenjarakan
dan disiksa, semisal imam Ahmad. Hal ini berlangsung sampai pada pemerintahan
al-Mu’tashim dan al-Watsiq.
Pada masa pemerintahan al-Mutawakkil pada
tahun 232 H, keadaan kembali normal dengan sikap khalifah yang menganut aqidah
Ahlus Sunnah dan dibebaskannya para Ulama setelah selama 14 tahun berjuang
keras melawan al-Mu’tazilah yang memaksakan aqidahnya melalui strukrur Negara.
Pada masa pemerintahan bani Buwaih di
Persia, tahun 334 H, terjalin hubungan yang erat antara al-Mu’tazilah dengan
pemerintah yang berkuasa yang menganut ideologi Rafidhah. Pemimpin Mu’tazilah,
Abdul Jabbar, diangkat menjadi qadhi di daerah Ra’i sejak tahun 360 H, atas
perintah Shahib bin ‘Ibad menteri Muayyid Daulah. Shahib ini menurut Imam
adz-Dzahabi adalah seorang Syi’i Mu’tazili Mubtadi’. Menurut Imam al-Mu’tazi,
di bawah perlindungan daulah Buwaihiyah inilah Mu’tazilah bisa berkembang di
Iraq, Khurasan dan negeri-negeri di belakang sungai atau Biladu ma wara-a nahr
(Uzbekistan saat ini).[39]
Selama berabad-abad kemudian,
al-Mu’tazilah tersisih dari panggung sejarah, tergeser aliran ahl al-sunnah wa
al-jama’ah. Yang mempercepat hilangnya aliran atau sekte ini antara lain adalah
karya-karya mereka tidak dibaca lagi dan dipelajari di perguruan Islam. Kaum
al-Mu’tazilah telah tak berwujud kecuali dalam sejarah.[40]
Kemudian pada awal abad ke-20 berbagai karya al-Mu’tazilah ditemukan kembali dan
dipelajari di perguruan-perguruan tinggi.[41]
Diakui atau tidak, kaum al-Mu’tazilah
adalah peletak pertama atau paling tidak mempunyai peran yang sangat besar
dalam meletakkan dasar-dasar ilmu kalam, ilmu balaghah, ilmu debat dan diskusi.
Sekte ini pulalah yang pertama kali menghubungkan antara filsafat Islam dengan
filsafat Yunani, sebab tokoh-tokoh merekalah yang pertama kali menjadikan
filsafat Yunani dalam mengkaji dan mendalam berbagai aspek dalam Islam.[42]
Al-Mu’tazilah telah memberikan pengabdiannya yang sangat penting dalam
perjalanan sejarah Islam. Sekte ini telah mempertahankan Islam dari berbagai
rongrongan theologi dan politik, bahkan kemunculan ilmu kalam yang dipelopori
Abu al-Hasan al-Asy’ari merupakan anak dari sekte ini.
Diantara metode peninggalan al-Mu’tazilah
yang paling berkesan adalah keraguan dan pengujian. Sehingga dapat melahirkan
keyakinan akan kemampuan akal, kebebasan bertindak tetapi bertanggung jawab,
kebebasan penelitian dan perdebatan, tidak membawa qadar sebagai penanggung
jawab, dll, bahkan Ahmad Amin berpendapat bahwa musibah terbesar yang menimpa
umat Islam adalah kematian al-Mu’tazilah.[43]
DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Hasan Ahmad Ibn Faris
Ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lugah, Bairut: Dar al-Fikr, 1423 H./2002
M.
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Cairo:
Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, Cet. VIII, 1973 M.
___________, Fajr al-Islam, Cet. XI, 1975 M.
Ahmad Ibn Abd Halim Ibn Taimiyah
al-Harani, Majmu’ al-Fatawa, dikutip dari al-Maktabah al-Syamilah.
Ahmad Mahmud Subhi, Fi ‘Ilm al-Kalam, Kairo, 1969. M.
Ali Muhammad al-Shallaby, al-Daulah al-Umawiyah ‘Awamil al-Izdihar wa
Tada’iyat al-Inhiyar, dikutip dari al-Maktabah al-Syamilah.
Al-Nasysyar, Nisy’ah al-Fikr
al-Falsafi fi al-Islam, Kairo: tp, 1966 M.
Atabik Ali, A. Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer Arab
Indonesia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998 M.
Azyumardi Azra, dkk, Ensiklopedi
Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005 M.
Dirasatul Firaq; Kajian tentang
Aliran-Aliran Sesat dalam Islam, Solo: Tin Ulin Nuha Ma’had ‘Aly an Nur, t.
thn.
Galib Ibn Ali ‘Awaji, Firaq
Mu’asharah al-Tsalitsah, dikutip dari al-Maktabah al-Syamilah.
Harun Nasution, Teologi Islam
Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, Cet. I, 2002
M.
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh
al-Islam, Bairut: Dar al-Jail, 1416 H./1996 M.
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir
wa al-Mufassirun, Maktabah Mus’ab Ibn Umar al-Islamiyah, 1424 H./2004 M.
Muhammad Ibn Abd Karim
al-Syahrastānī, al-Milal wa al-Nihal, Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1404 H.
Muhammad Ibn Mukrim Ibn
Manzur al-Mishri, Lisan al-‘Arab, Bairut: Dar Sadir, t. th.
Nurcholish Majid, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan
Waqaf Paramadina, Jakarta, cet. II, 1995.
Yayasan Penyelenggara
Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen
Agama RI, 1983 M.
[1] Abū al-Hasan Ahmad Ibn Fāris
Ibn Zakariyā, Mu’jam Maqāyis
al-Lugah, (Bairut: Dār
al-Fikr, 1423 H./2002 M.) Jilid 4 h. 251.
[2] Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1983) h. 810.
[3] Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manzūr
al-Mișrī, Lisān al-‘Arab, (Bairut: Dār Șādir, t. th.) Jilid 11 h. 440.
[4] Atabik Ali, A. Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer Arab
Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998 M.) h. 214 dan 589.
[5] Alasan Washil adalah “Iman itu ungkapan terhadap berbagai
macam kebaikan sehingga iman itu pada dasarnya adalah pujian, sementara orang
fasik (orang yang melakukan dosa besar) tidak bisa diberikan pujian dan hak
iman akan tetapi tidak bisa juga dikatakan kafir sebab dia telah mengucapkan
dua kalimat syahadat dan masih banyak juga kebaikan yang ada padanya, sehingga
jika meninggal tanpa taubat dia akan masuk neraka meskipun siksaannya tidak
seberat orang kafir. Lihat Muhammad Ibn Abd Karim al-Syahrastānī, al-Milal wa al-Nihal, (Bairut: Dār al-Ma’rifah, 1404 H.) Jilid 1 h. 45.
[6] Harun Nasution, Teologi Islam, h. 40.
[7] Ahmad Mahmud Subhi, Fi ‘Ilm al-Kalam, Kairo, 1969 h.
75.
[8] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Cet. XI, 1975 M.) h. 290.
[9] Golongan yang
menjauhkan diri dalam peristiwa tersebut memang dijumpai dalam buku-buku sejarah. Al-Thabari
misalnya menyebutkan bahwa sewaktu Qais Ibn Sa’ad sampai di Mesir sebagai Gubernur
dari ‘Ali Ibn Abi Thalib, ia menjumpai pertikaian di sana, satu golongan ikut
padanya dan satu golongan lagi menjauhkan diri ke Kharbita (i’tazalat ila
Kharbita). Harun Nasution, Teologi Islam, h. 41.
[10] Nurcholish Majid, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan
Waqaf Paramadina, Jakarta, 1995. cet. II, hlm. 17.
[11] Dalam masalah theologi, terjadi persamaan yang sangat sulit
untuk dibedakan antara al-Mu’tazilah dengan Syiah kecuali pada persoalan imamah
dan keterpeliharaannya, sedangkan dalam
masalah politik, al-Mu’tazilah cenderung sama yakni siapa saja berhak menjadi
imam atau penguasa. Untuk lebih jelasnya antara hubungan al-Mu’tazilah, Syiah
dan Khawarij lihat: Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, Jilid 1 h.
343-347.
[12] Pendapat ini dibantah oleh Ali Sami al-Nasysyar yang
mengatakan bahwa golongan Mu’tazilah kedua timbul dari orang-orang yang
mengasingkan diri untuk ilmu pengetahuan dan ibadah, bukan dari golongan
Mu’tazilah pertama yang disebut kaum netral politik. Lihat: Al-Nasysyar, Nisy’ah
al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, (Kairo; tp. 1966). Jilid I, hlm. 429-430.
(dikutip dari: Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Untuk IAIN, STAIN,
PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2003 M.) h. 79.).
[13] Seseorang tidak bias dikatakan seorang yang beraliran al-Mu’tazilah
kecuali jika dia sudah mengakui lima ajaran pokok tersebut dan meyakini
kebenarannya sebagaimana yang diungkakan Abu al-Hasan al-Khayyat, tokoh
al-Mu’tazilah abad ke-3 Hijriyah. Lihat: Galib Ibn Ali ‘Awaji, Firaq
Mu’asharah al-Tsalitsah, dikutip dari al-Maktabah al-Syamilah, Jilid 1 h.
206. dan Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 1
h. 263.
[14] Ali Muhammad al-Shallaby, al-Daulah al-Umawiyah ‘Awamil al-Izdihar wa Tada’iyat al-Inhiyar,
dikutip dari al-Maktabah al-Syamilah, Jilid 3 h. 385.
[15] Oleh karena itu, menurut al-Mu’tazilah, ayat-ayat yang
mengarah pada penyamaan khaliq dengan makhluq-Nya harus dita’wil.
[16] Azyumardi Azra, dkk, Ensiklopedi Islam, Jilid 5 h.
96.
[17] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, Jilid 1 h.
342.
[18] Ahmad Ibn Abd Halim Ibn Taimiyah al-Harani, Majmu’
al-Fatawa, dikutip dari al-Maktabah al-Syamilah, Jilid 13 h. 386.
[19] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh
al-Islam, Jilid 1 h. 342, Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 1 h. 263.
[20] Azyumardi Azra, Ensiklopedi
Islam, Jilid 5 h. 96.
[21] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 1 h. 263, Harun Nasution, Teologi Islam, h. 57.
[22] Pada dasarnya, masih banyak ajaran-ajaran furu’ (cabang)
al-Mu’tazilah yang terkait dengan theologis dan politik yang berbeda satu sama
lain. Untuk lebih jelasnya, lihat: Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Jilid 3 h. 100-197 dan Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 1 h.
263.
[23] Galib Ibn Ali ‘Awaji, Firaqun
Mu’ashirah 3, Jilid 2 h. 823.
[24] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 1 h. 262.
[25] Azyumardi Azra, Ensiklopedi
Islam, Jilid 5 h. 96.
[26] Dirasatul Firaq; Kajian
tentang Aliran-Aliran Sesat dalam Islam, (Solo: Tin Ulin Nuha Ma’had ‘Aly
an Nur, t. thn.) Jilid 2 h. 824-825.
[27] Ibid. h. 128).
[28] Ahmad Amin, Dhuha
al-Islam, Jilid 3 h.100-197. Dan Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, Jilid
5 h. 97.
[29] Untuk mengetahui biografi tokoh-tokoh tersebut dan
ajaran-ajarannya, lihat: Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Jilid 3 h. 90-170,
dan Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, Jilid 5 h. 97-98.
[30] Paham itu diperoleh Washil melalui Abu Hasyim Abdullah Ibn
Muhammad al-Hanafiyah, bahkan konon Washil pernah bertemu langsung dengan
Ghailan. Lihat: Harun Nasution, Teologi Islam, h. 45.
[31] Ibid. h. 45.
[32] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Jilid 3 h. 98.
[33] Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, Jilid 5 h. 97.
[34] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid
1 h. 275.
[35] Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, Jilid 5 h. 97.
[36] Muhammad Husain al-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid
1 h. 241-242.
[37] Ahmad Amin, Dhuha
al-Islam, Jilid 3 h. 90
[38] Muhammad Husain al-Dzahabi, Ensiklopedi Islam, Jilid 5 h. 95.
[39] Dirasatul Firaq,
h. 131.
[40] Harun Nasution, Teologi
Islam, h. 57.
[41] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 5 h. 96.
[42] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Jilid 3 h. 95.
[43] Ibid, h. 207.
My Blog List