- Back to Home »
- Peradaban Islam »
- Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Posted by : LaSaro'
Selasa, 22 Januari 2013
KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB
A.
Profil Ali ibn Abi Thalib
Nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali
ibn Abi Thalib ibn Abdul Muththalib al-Hasyimi al-Qurasyi. Sewaktu lahir beliau
bernama Haydar (al-Hayadarah) oleh ibunya yang bernama Fatimah binti As’ad,
namun kemudian diganti oleh ayahnya yang bernama Abu Thalib ibn Abd Muththalib
dengan nama Ali. Beliau juga gelar Abu Thurab (Si Bapak debu-tanah) oleh nabi
karena pernah dijumpai tidur diatas tanah.[1]
Saudara sepupu dan putra angkat nabi
ini lahir di dalam Ka’bah pada 600 M., tahun 23 sebelum hijrah. Beliau
tergolong generasi pertama yang memeluk islam setelah Khadijah binti Khuwailid,
sesaat setelah al-Qur’an memerintahkan nabi untuk memberi peringatan kepada
kerabat-kerabatnya.[2]
Sejak memeluk
islam, beliau selalu bersama dengan rasulullah saw. Taat kepadanya dan banyak
menyaksikan proses turunnya wahyu. Sebagai anak asuh yang dibesarkan di rumah
nabi. Sejak kecilnya beliau sangat disayangi sehingga tatkala tiba usia dewasa,
beliau dinikahkan dengan putri nabi yang bernama Fatimah.[3]
Ali dikenal sangat zahid
dalam kehidupan sehari-hari. Tidak tampak perbedaan dalam kehidupan rumah
tangganya antara sebelum dan sesudah diangkat sebagai khalifah. Kehidupan
sederhana itu bukan hanya diterapkan pada dirinya, melainkan juga kepada
putra-putrinya.
Ali
adalah sahabat yang sangat disegani karena kepiawaiannya dalam banyak macam
ilmu pengetahuan, baik soal hukum, rahasia ketuhanan maupun segala persoalan
keagamaan secara teoritis dan praktis. Rasulullah sendiri memujinya sebagaimana
sabdanya: Aku adalah gudangnya ilmu dan Ali adalah kuncinya[4]
Disamping
cerdas, Ali juga dikenal sebagai panglima perang yang gagah perkasa. Keberaniannya
menggetarkan hati lawan-lawannya. Beliau mempunyai sebilah pedang warisan dari
rasululullah saw.bernama “Zul Fiqar”[5]
Beliau turut serta pada hampir semua peperangan yang terjadi pada masa
rasulullah saw. dan selalu menjadi andalan di barisan terdepan.
B. Ali ibn Abi Thalib: Khalifah, Perjuangan
dan Tantangan.
Pada
saat Abu Bakar menjadi khalifah di usianya yang keenam puluh, Ali saat itu
adalah sudah menjadi tokoh muda yang energik yang baru berusia tiga puluh
tahunan, namun orang-orang disekitarnya selalu meminta pandangan-pandangannya
dalam berbagai hal. Ali tetap menyatakan kesetiaannya kepada ketiga khalifah
dan mengakui abilitas dan integritasnya. Ali memiliki kontribusi yang besar
dalam usaha konsolidasi kekuatan islam, yang sedang menghadapi berbagai
tantangan sepeninggal rasululullah saw. meskipun beliau dianggap salah seorang
yang paling pantas untuk menggantikan rasulullah, beliau tidak menampilkan diri
untuk menjadi kandidat khalifah. Beliau malah menolak tawaran yang diajukan
oleh Abbas (paman nabi), dan Abu Sofyan yang secara sukarela menyatakan
dukungan dan kesetiaannya pada Ali untuk menjadi khalifah. Beliau ditempatkan
oleh banyak kalangan dalam sederetan negarawan ulung yang ditandai dengan sikap
legowo, setia mendukung Abu Bakar, Umar, Utsman sebagai khalifah.[6]
Posisi
terhormat Ali ibn Abi Thalib tergambar dari kebijakan Umar bin Khattab atas
pengangkatannya dalam komisi Syura “Komisi Pemilih” di penghujung usianya.[7]
Komisi ini bertugas memilih khalifah penerus tonggak kepemimpinan.
Pada
masa pemerintahan Utsman bin Affan Ali ibn Abi Thalib senantiasa memberi
nasehat agar beliau bersikap tegas terhadap kaum kerabatnya yang melakukan
penyelewengan yang mengatas namakan dirinya, namun nasehat-nasehat tersebut
tidak ditanggapi. Akibatnya, orang-orang yang tidak setuju kepadanya
melancarkan protes dan huru-hara. Utsman bin Affan memimpin kekhalifahan selama
12 tahun namun para sejarawan mencatat bahwa tidak seluruh masa kepemimpinannya
meraih kesuksesan. Enam tahun pertama merupakan masa pemerintahan yang baik
enam tahun berikutnya masa pemerintahan yang buruk.[8]
Paruh terakhir kepemimpinan khalifah Utsman menghadapi banyak pemberontakan dan
oposisi sebagai bentuk protes ummat islam atas kebijakan pemerintahannya yang
cenderung terlalu mengakomodir kepentingan-kepentingan Bani Umayyah.[9]
Ketidak puasan yang membara itu meledak dalam bentuk pemberontakan
pada tahun 35 H./656 M., ketika rombongan pemberontak dari Bashrah dan Mesir
bergerak ke Madinah di bawah kepemimpinan para Qurra(oposisi kaum shaleh).[10]
Dalam keadaan terdesak, Utsman meminta bantuan kepada Ali. Ketika itu Ali
berupaya memadamkan kekacauan sekuat mungkin, tetapi keadaan sangat sulit.
Ketika rumah Utsman dikepung oleh kaum pemberontak, Ali memerintahkan kedua
putranya, Hasan dan Husein untuk bersiaga di rumah Utsman dan melindunginya
dari kerumunan orang. Akan tetapi karena pemberontak berjumlah besar dan sudah
kalap, mereka didesak dan didorong ke samping oleh massa, sehingga nyawa
khalifah Utsman tidak dapat diselamatkan.[11]
Dalam suasana keruh menyusul pembunuhan khalifah Utsman, pandangan
orang mulai mengarah kepada Ali ibn Abi Thalib. Banyak yang menyebutkan posisi
dan keutamaan beliau.[12]
Kaum muslimin di Madinah didukung oleh ketiga-tiga pasukan yang datang dari
Mesir, Basrah dan Kufah, meminta kesediaan Ali untuk dibai’at menjadi khalifah.
Mereka beranggapan bahwa tidak ada lagi selain Ali yang patut menduduki kursi
khalifah setelah Utsman.[13]
Pada saat itu, stabilitas keamanan di kota Madinah menjadi rawan,
disaat yang sama kebingungan melanda kota, penduduk dihantui perasaan takut dan
tidak tenang, hukum tidak berlaku, para sahabat bertebaran di berbagai kota,
apalagi pada waktu itu bertepatan dengan musim haji, banyak diantara
sahabat-sahabat terkemuka yang menunaikan ibadah haji, diantaranya adalah
Aisyah r.a. Kecuali beberapa diantaranya yang tetap berada di Madinah di bawah
pimpinan Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Sedangkan mereka itu
tidak semuanya menyokong Ali.[14]
Walaupun demikian Ali tetap dibai’at
sebagai khalifah keempat oleh mayoritas sahabat yang ada di Madinah, termasuk
didalamnya Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam serta para pemberontak.
Peristiwa pembai’atan ini
terjadi pada hari Jum’at,13 Dzul Hijjah 35 H./23 Juni 656 M di Mesjid Nabawi,
seperti pembai’atan para khalifah sebelumnya.[15]
Ali sendiri sesungguhnya
tidaklah terlalu berambisi dengan jabatan itu, pada awalnya beliau menampik[16]
dengan mengatakan bahwa Thalhah dan Zubairlah yang lebih cocok untuk menempati
posisi kekhalifahan tersebut. Hanya karena terus-menerus didesak, kemudian
dukungan yang datang makin gencar, akhirnya beliau menerima jabatan tersebut.
Seperti halnya ketiga
khalifah sebelumnya, sesaat setelah terpilih, khalifah Ali juga menyampaikan
pidato sambutan khalifah yang diawali dengan ucapan syukur dan puja-puji kepada
Allah swt. Diiringi dengan shalawat kepada Nabi dan keluarganya, kemudian
dilanjutkan:
“Hadirin
saudaraku, kalian telah membai’at saya sebagaimana yang telah kalian lakukan
terhadap khalifah-khalifah sebelum saya. Saya hanya boleh mengelak sebelum
jatuh pilihan, tetapi kalau pilihan telah dijatuhkan , maka saya tak dapat lagi
menolak. Imam atau pemimpin harus teguh dan rakyat mesti patuh. Bai’at terhadap
diri saya ini adalah bai’at yang rata dan umum. Barang siapa yang ingkar
darinya terpisahlah ia dari agama Islam.”
“Kaum
muslimin sekalian, sesungguhnya Allah ta’ala telah menurunkan al-Qur’an yang
didalamnya terdapat petunjuk-petunjuk tentang kebaikan dan keburukan. Maka
ambillah yang baik niscaya kalian akan memperoleh petunjuk yang benar, dan
jauhilah yang jelek agar kalian terhindar dari akibat buruknya.”
Allah
ta’ala mengharamkan sesuatu dan ada pula yang dihalalkannya. Perhatikanlah
sungguh-sungguh dan kerjakanlah yang halal itu serta tinggalkanlah yang haram,
pasti kalian akan diantar ke surga. Taatilah perintah Allah dan janganlah
berbuat maksiat. Suatu pekerjaan hendaklah ditunaikan secara ikhlas. Seorang
muslim ialah mereka yang tidak menyakiti sesamanya, baik dengan lidah (kata)
maupun dengan anggota tubuhnya ( sikap dan perbuatan). Tidak boleh mengambil
harta bendanya tak juga boleh mencela perangainya, kecuali dengan alasan yang
benar.”
“Hendaklah
kalian saling berpacu dalam memperbanyak perbuatan kebajikan untuk kepentingan
masyarakat. Janganlah takut menghadapi kematian, karena bagaimanapun juga
kematian pasti bakal datang menjemput dimana saja. Jagalah ketakwaan kamu
kepada Allah swt. Dan jangan menentangnya. Hindarilah mengambil harta orang
lain, sebab kamu nanti akan ditanyai Allah apa saja yang kamu kerjakan, walau
urusan terhadap hewan sekalipun. Kalau melihat kebaikan hendaklah kalian
lakukan dan jika tampak olehnya kejahatan, maka jauhi dan tinggalkanlah.”[17]
Segera setelah dibai’at,
khalifah Ali mengambil langkah-langkah politik[18],
yaitu:
a.
Memecat para pejabat yang
diangkat oleh Utsman, termasuk didalamnya beberapa gubernur lalu menunjuk
penggantinya.
b.
Mengambil tanah yang telah
dibagikan Utsman kepada keluarga dan kaum kerabatnya.
c.
Memberikan kepada kaum muslimin
tunjangan yang diambil dari bait al-mal, seperti yang pernah dilakukan oleh Abu
Bakar, pemberian dilakukan secara merata, tanpa membedakan sahabat yang lebih
dulu memeluk agama Islam atau yang belakangan.
d.
Meninggalkan kota Madinah dan
menjadikan kota Kufah sebagai pusat pemerintahan.
1. Tantangan dari Thalhah cs
Masa pemerintahan Khalifah Ali bin
Abi Thalib diwarnai dengan berbagai pemberontakan. Tidak berselang lama setelah
mengambil kebijakan-kebijakan, beliau menghadapi tantangan dari berbagai pihak
diantaranya Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Aisyah. Mereka-mereka
inilah yang menuntut khalifah agar segera menghukum para pembunuh Utsman. Dan
yang sangat disayangkan, pihak-pihak
yang terlibat langsung menyaksikan terjadinya tragedi tersebut juga ikut
menuntut.
Ada juga yang berpendapat bahwa
pemberontakan itu dilatar belakangi oleh keinginan Thalhah dan Zubair untuk
merebut jabatan khalifah, akan tetapi mereka tidak mempunyai cukup dukungan.[19]
Sementara itu Aisyah ikut terlibat
karena diminta oleh anak angkatnya yang juga keponakannya sendiri, Abdullah bin
Zubair yang juga berambisi menjadi khalifah. Dan juga, konon Aisyah dari dulu tidak
akur dengan Ali. Thalhah dan Zubair bertemu dengan Aisyah dalam perjalanannya
ke Mekkah dengan alasan pergi Haji.[20]
Akan tetapi tuntutan mereka sangat
sulit dikabulkan oleh khalifah dengan alasan: pertama, karena tugas
utama yang mendesak dilakukan dalam situasi kritis yang penuh intimidasi
seperti saat itu adalah memulihkan ketertiban dan mengkonsolidasikan kedudukan
kekhalifahan. Kedua, menghukum para pembunuh bukanlah perkara mudah
sebab khalifah Utsman tidak dibunuh oleh satu orang saja, melainkan banyak
orang dari Mesir, Irak, dan Arab yang secara langsung terlibat dalam perbuatan
makar tersebut.
Sementara itu, di Mekkah telah
berkumpul para tokoh oposisi yang menginginkan agar hukuman segera dijatuhkan
kepada para pembunuh utsman, gubernur-gubernur yang diangkat pada masa utsman
yang berasal dari Bashrah dan Yaman telah membawa semua dana yang mampu mereka
bawa ke Mekkah ketika mereka dinyatakan dipecat dari jabatannya oleh khalifah
Ali. Lalu uang tersebut mereka pergunakan untuk mempersenjatai kekuatan mereka
yang direncanakan untuk menghajar Bashrah, setelah itu mereka kemudian mencari
dukungan dari Aisyah.
Namun khalifah Ali mendengar rencana
mereka itu, dengan cepat beliau mempersiapkan pasukannya dan menyusul mereka ke
Bashrah. Sesampai disana, khalifah tidak segera menyerang, tetapi berupaya
untuk berdamai dengan mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar mereka mau
berunding. Namun tampaknya penyelesaian damai sulit dicapai sehingga kontak
senjata yang dahsyat pun tidak dapat dielakkan lagi.
Peperangan yang terjadi pada tahun
36 H.di Khuraibah (seputar kota Bashrah) terkenal dengan nama “Perang Unta” (jamal),
karena dalam peperangan itu Aisyah menunggangi unta. Peperangan tersebut
memakan banyak korban, kurang lebih 20.000 kaum muslimin gugur dalam peristiwa
perang tersebut. Peperangan itu berhasil dimenangkan oleh Khalifah. Thalhah dan
Zubair ikut terbunuh ketika hendak melarikan diri, sementara Aisyah berhasil
ditawan dan dikawal kembali ke Madinah dengan penuh penghormatan sebagai Ummul
Mu’minin, sedangkan beliau tetap berada diatas untanya.[21]
Segera setelah menyelesaikan gerakan
Thalhah cs, pusat kekuasaan Islam dipindahkan ke kota Kufah. Madinah Sejak saat
itu berakhir menjadi ibu kota kedaulatan Islam, dan tidak ada lagi khalifah
yang berkuasa berdiam disana.
2. Tantangan dari Mu’awiyah
Seperti halnya Thalhah cs,
kebijakan-kebijakan khalifah Ali juga mengakibatkan timbulnya pemberontakan
dari Mu’awiyah selaku gubernur Damaskus(Syiria) yang diangkat oleh Utsman,
Mu’awiyah enggan menyerahkan jabatannya kepada pejabat baru. Namun sikap
pembangkangan ini tidak ditindaki dengan tegas oleh khalifah Ali, khalifah hanya
mengirim surat undangan untuk datang menghadap kepada khalifah dan sekaligus
menyatakan kesetiaannya pada Ali sebagai khalifah. Tetapi Mu’awiyah menolak
hingga akhirnya berkobar lagi pertempuran antar sesama muslim.
Khalifah Ali beserta pasukannya
bergerak meninggalkan Kufah menuju Syam.Mendengar berita kedatangan mereka,
Mu’awiyah dan pasukannya bersiap-siap menghadang diluar kota. Kedua pasukan
bertemu di suatu tempat yang bernama Siffin[22].
Yang kemudian menjadi nama atas perang tersebut.
Pada peperangan yang terjadi pada
tanggal 1 shafar 37 H./657 M. di dekat sungai Eufrat tersebut, khalifah
mengerahkan 50.000 pasukan. Setelah perang berlangsung beberapa hari, pasukan
Mu’awiyah terdesak dengan gugurnya 7.000 pasukannya dan tanda-tanda kemenangan
terlihat dipihak Khalifah Ali.[23]
Pada saat Mu’awiyah dan tentaranya
terdesak Amr bin Ash sebagai penasehat Mu’awiyah yang dikenal cerdik dan pandai
berunding, meminta agar Mu’awiyah memerintahkan pasukannya mengangkat mushaf
al-Qur’an di ujung tombak sebagai isyarat berdamai dengan cara tahkim
(arbitrase) dengan demikian Mu’awiyah terhindar dari kekalahan total.
Mendengar tawaran itu, para imam
yang berada di pihak khalifah mendesak agar tawaran pihak Mu’awiyah itu
diterima. Dengan demikian, dicarilah jalan damai dengan mendakan
hakam(perundingan damai). Perundingan berlangsung pada bulan Ramadhan, dimana
masing-masing pihak menunjuk wakil yang akan menjadi hakim (juru penengah).
Dari pihak Mu’awiyah ditunjuk Amr bin Ash sedang dari pihak khalifah Ali
ditunjuk Abu Musa al-Asy’ari.[24]
Kedua hakim itu mempunyai watak dan sikap yang sangant berbeda. Amr bin Ash
dikenal pandai berpolitik sementara Abu Musa al-Asy’ari adalah orang yang
lurus, rendah hati dan mengutamakan kedamaian.
Seusai perundingan, Abu Musa sebagai
yang tertua dipersilahkan untuk berbicara lebih dahulu. Sesuai dengan
kesepakatan sebelumnyata antara mereka berdua, Abu Musa menyatakan
pemberhentian Ali dari jabatannya sebagai khalifah dan menyerahkan urusan
penggantiannya kepada kaum muslimin. Tetapi ketika tiba giliran Amr bin
Ash, ia menyatakan persetujuannya atas
pemberhentian Ali dan menetapkan jabatan
khalifah bagi Mu’awiyah. Ternyata Amr bin Ash menyalahi kesepakatan semula yang
dibuat bersama Abu Musa. Sepak terjangnya
dalam peristiwa ini merugikan pihak Mu’awiyah.Ali menolak keputusan tahkim
tersebut, dan tetap mempertahankan kedudukannya sebagai khalifah.
3. Tantangan dari Khawarij
Sikap khalifah Ali yang menerima
tawaran berdamai dari pihak yang semula menyikong beliau dalam menumpas
pemberontakan Mu’awiyah itu kemudian keluar dari barisan dan bahkan berbalik
memusuhinya. Oleh sebab itu mereka dinamai kaum “Khawarij”(orang-orang yang
keluar). Dalam keyakinan mereka yang setuju ber-tahkim telah melanggar ajaran
agama. Menurut mereka, hanya tuhan yang berhak menentukan hukum, bukan manusia.
Semboyan mereka adalah “La Hukma Illa Billah” (tiada hukum kecuali bagi
Allah). Ali dan pasukannya dinilai telah berani membuat keputusan hukum, yaitu
berunding dengan lawan.[25]
Kelompok Khawarij menyingkir ke
Harurah, sebuah desa dekat Kufah. Disana mereka mengangkat pemimpin sendiri,
Syibis bin Rubi’it al-Tamimi sebagai panglima angkatan pereang dan Abdullah bin
Wahan al-Rasibi sebagai pemimpin keagamaan. Setelah itu mereka segera menyusun
kekuatan untuk menggempur khalifah dan orang-orang yang menyetujui tahkim,
termasuk didalamnya Mu’awiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy’ari.[26]
Untuk
menghadapi situasi itu, khalifah terpaksa berangkat dengan tentaranya untuk
menghadapi Khawarij. Mula-mula khalifah berpidato mengajak mereka supaya taat
dan kembali ke barisannya. Akan tetapi mereka enggan dan menjawab:
“ Kami telah menjadi kafir karena
ber-tahkim kepada manusia oleh karena itu kami bertobat kepada Allah dan
kembali kepada Islam. Kini akuilah bahwa dirimu juga telah menjadi kafir,karena
itu hendaklah bertobat kepada Allah dan kembali kepada Islam, sebagaimana yang
telah kami lakukan.”
Khalifah Ali mencela tuntutan mereka yang
begitu rendah, karena itu beliau berkata kepada mereka:
“Apakah sesudah aku beriman,berhijrah dan
berjihad bersama Rasulullah lalu aku mengakui diriku menjadi kafir? Diriku tak
pernah kembali kepada kekafiran sekejap pun semenjak aku beriman kepada Allah.”
Kemudian mereka menjawab:
“Kami tak hendak berbicara denganmu selain
ini. Hanya peranglah yang akan menentukan antara kami dan kamu.”[27]
Mendengar pernyataan ini, khalifah segera mengatur
pasukan-pasukannya dan bersiap-siap untuk memerangi mereka. Posisi khalifah
saat itu serba sulit. Di satu pihak, Beliau ingin menghancurkan Mu’awiyah yang
semakin kuat di Syam, sementara di pihak lain kekuatan Khawarij akan menjadi
sangat berbahaya jika tidak segera ditumpas. Akhirnya khalifah mengambil
keputusan untuk menumpas kekuatan Khawarij terlebih dahulu, kemudian menyerang
Syam.[28]
Pertempuran sengit antara pasukan khalifah dan pasukan Khawarij
terjadi di Nahrawan (di sebelah timur Baghdad) pada tahun 38 H. dan berakhir
dengan kemenangan di pihak khalifah. Kelompok Khawarij berhasil dihancurkan
dalam waktu singkat, hanya sebagian kecil yang dapat meloloskan diri. Pemimpin
mereka Abdullah bin Wahab al-Rasibi ikut terbunuh.
Sejak itu kaum Khawarij menjadi lebih radikal. Kekalahan di Nahrawan
menumbuhkan dendam di hati mereka, sehingga secara diam-diam mereka mereka
merencanakan pembunuhan terhadap tiga orang yang dianggap sebagai biang keladi
perpecahan umat. Tiga orang yang dimaksud adalah Ali bin Abi Thalib, Amr bin
Ash dan Mu’awiyah. Pelaksana tugas atas rencana pembunuhan tersebut terdiri
dari tiga orang pula, yaitu: Abd. Rahman bin Muljam ditugaskan untuk membunuh
khalifah di Kufah, Barak bin Abdillah al-Tamimi ditugaskan untuk membunuh
Mu’awiyah di Syam, dan Amr bin Abu Bakar al-Tamimi ditugaskan untuk membunuh
Amr bin Ash di Mesir. Namun diantara mereka, hanya Abd.Rahman bin Muljam saja
yang berhasil menunaikan tugasnya. Ia menusuk khalifah Ali dengan pedang
beracun ketika beliau hendak shalat subuh di Mesjid Kufah. Dua hari kemudian
khalifah Ali menghembuskan nafas terakhirnya yaitu pada tanggal 19 Ramadhan 40
H./ 25 Januari 661 M. Dalam usia 63 tahun.[29]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Baidzuri, Futuhul buldan,
jilid V, Cet.III; Mesir: Maktabah an-Nahdhah, t.th.
Arsyad, M.Natsir, Seri Buku Pintar Islam III: Seputar
Sejarah dan Muamalah Cet.I;
bandung: al-Bayan , 1993
As-Salus, Ali Ahmad, Aqidah al-Imamah ‘inda
as-Syi’ah al-Isna ‘Asyariyah diterjemahkan
oleh Asmuni Solihan Zamakhsyari dengn judul Imamah dan Khalifah Dalam
Tinjauan Syar’I, Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Dewan redaksi ensiklopedi islam, “Ali ibn Abi
Thalib,” Ensiklopedi Islam, Jilid I; Jakarta:
Ichtiar baru van houve, 1994.
Glasse, Cyril, The Concise
Ensyclopedia Of Islam, diterjemahkan oleh Ghufron A.
Mas’adi dengan judul Ensyclopedi Islam,
Cet.II ; Jakarta: PT.Raja Grafindo persada,
1999.
Hassan, Hassan Ibrahim, Tarikh al-Islam al-Siyasi
wa al-Tsaqafi wa al-Ijtima’, diterjemahkan
oleh H.A.Bahauddin dengan judul Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 1 Cet.I; Jakarta, Kalam
Mulia, 2002.
Iqbal, Afzal, Diplomacy in early Islam,
diterjemahkan oleh Samason Rahman, Diplomasi
Islam Cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautrar, 2000.
Khalid, Khalid Muhammad, Khulafa al-Rasul,
diterjemahkan oleh Zaid Husein al- Hamid
dengan judul Kehidupan Para Khalifah teladan , Cet. I; Jakarta: Pustaka Amani,1995.
Kieraha, Meth, Awal dan Sejarah
Perkembangan Islam Syi’ah: Dari Saqifah Sampai
Imamah Cet. II; Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.
Mas’udi, Masdar F. Islam Agama
Keadilan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Syalabi, Ahmad, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami,
diterjemahkan oleh Mukhtar Yahya dan
M. Sanusi Latief dengan judul Sejarah dan Kebudayaan Islam, Cet. III; Jakarta: PT.al-Husna Zikra, 1995.
Syazali, Munawir, Islam dan Tata Negara,
Jakarta: UI Press, 1991.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban
[1] Dewan redaksi ensiklopedi islam, “Ali ibn Abi Thalib,” Ensiklopedi
Islam, Jilid I (Jakarta: Ichtiar baru van houve, 1994), H.111
[2] Khalid Muhammad Khalid, Khulafa al-Rasul, diterjemahkan oleh
Zaid Husein al-Hamid dengan judul Kehidupan Para Khalifah teladan (Cet.
I; Jakarta: Pustaka Amani,1995), h. 346
[4] M.Natsir Arsyad, Seri Buku Pintar Islam III: Seputar Sejarah dan
Muamalah (Cet.I; bandung: al-Bayan , 1993), h. 83
[5] Ensiklopedi Islam, op. cit., h. 112
[6] Afzal Iqbal, Diplomacy in early Islam, diterjemahkan oleh
Samason Rahman, Diplomasi Islam (Cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautrar,
2000), h. 203
My Blog List