- Back to Home »
- Peradaban Islam »
- Dinasti Fatimiah
Posted by : LaSaro'
Selasa, 29 Januari 2013
Dinasti Fatimiah
A.
Munculnya Dinasti
Fatimiyah
Sejarah munculnya dinasti
Fatimiyah yang beraliran syi’ah isma’iliyah, tidak terlepas dari gerakan-gerakan Syi’ah yang muncul
sebelumnya.[1] Gerakan
Syi’ah Isma’iliyah ini muncul sejak berdirinya pemerintahan Abbasiyah dengan menggunakan
dua model gerakan:
Gerakan militan ini dipelopori oleh Abdullah ibn
Syi’i[2] dengan
berusaha mendekati jama’ah haji yang berasal dari Tunisia, khususnya suku
Kitamah dan berusaha memasukkan propaganda ajaran Isma’iliyah. Dia kemudian
berhasil mempengaruhi para jama’ah haji tersebut sehingga dia ikut pulang ke
Tunisia.
2.
Gerakan prontal (terang-terangan)
Sukses
gemilang yang diraih oleh Abdullah al-Syi’i di wilayah Tunisia, mendorongnya
melakukan perlawanan terhadap dinasti Aghlabiah. Kemudian pada tahun 909 M.,
dia memproklamirkan Sa’id ibn al-Husain sebagai khalifah dengan gelar al-imam
Ubaidillah al-Mahdi dengan Raqadah[3]
sebagai pusat ibu kota.[4]
Dengan demikian, Dinasti Fatimiyah berdiri di Tunisia (Afrika Utara)
pada tahun 909 M dibawah pimpin Sa’id ibn al-Husain setelah mengalahkan dinasti
Aghlabiah di Sijilmasa.[5]
Terbentuknya dinasti Fatimiyah pada saat itu menyebabkan Islam di bawah 3
penguasa yaitu: khalifah Abbasiyah di Bagdad, khalifah Umayyah di Cordova dan
khalifah Fatimiyah di al-Mahdiah.[6]
Selama berkuasa dari tahun 909 M. hingga tahun 934 M, Ubaidillah
membuktikan dirinya sebagai penguasa yang mampu dan berbakat. Dua tahun pasca menjadi
penguasa tertinggi, dia membunuh panglima dakwahnya yaitu Abdullah al-Syi’i.
Setelah itu, dia memperluas kekuasannya sampai hampir meliputi seluruh wilayah
Afrika, mulai dari Maroko yang dikuasai Idrisiyah hingga perbatasan Mesir. Pada
tahun 914, dia berhasil menguasai Iskandariyah, dua tahun berikutnya Delta
berada dalam kekuasaannya. Kemudian dia mengirimkan seorang gubernur Baru dari
suku Kitamah ke Sisilia dan menjalin pertemanan dengan pemberontak Ibn Hafshun
di Spanyol. Malta, Sardinia, Corsica, Balearic dan pulau-pulau lainnya pernah
merasakan kedahsyatan armada yang diwarisi dari dinasti Aghlabiah.[7]
Pasca wafatnya Ubaidillah, pemerintahan diambil alih oleh puteranya
yaitu Abu al-Qasim Muhammad al-Qaim[8]
yang berkuasa dari tahun 934 M. hingga 946
M. kebijakannya lebih difokuskan pada upaya penyerbuan dan perluasan
wilayah kekuasaan. Oleh karena itu, pada tahun 935, dia mengirim armada untuk
menyerbu pantai utara Prancis, menguasai Genoa dan sepanjang pesisir Calabria
dan berusaha menaklukkan Mesir akan tetapi tidak berhasil.[9]
Kemudian dilanjutkan oleh puteranya al-Manshur pada tahun 946-952 M.
Penaklukkan Mesir berhasil dilakukan oleh cucu al-Qaim yaitu Abu
Tamim Ma’ad al-Mu’iz yang berkuasa pada tahun 952-975 M.[10]
Penyerbuan ke Mesir itu dilakukan dengan dalih untuk melindungi kaum Syi’ah
yang di sana[11] dengan
mengirimkan seorang panglima Jendaral Jawhar al-S}iqillii berkebangsaan Sisilia
atau Yunani, sekaligus untuk merebut kekuasaan dari tangan gubernur Abbasiyah
Abu> al-Khawa>rij pada tahun 969 M.[12]
Sejak kemenangannya atas ibu kota Fusthat[13]
pada tahun 969, Jawhar kemudian mendirikan Masjid Agung al-Azhar yang dikemudian
hari berkembang menjadi universitas dan membuat markas baru dengan nama
al-Qahirah. Sejak 973 M., kota ini kemudian menjadi pusat kota dinasti
Fatimiyah. Pada tahun yang sama (969 M.), setelah merasa kedudukannya di Mesir
kokoh, Jawhar melirik negara tetangganya Suriah dan berhasil menaklukkan kota
Damaskus.
Untuk mengetahui sekilas tentang dinasti Fatimiyah, berikut adalah para khalifah dinasti Fatimiyah:
1.
Khalifah Ubaidilah
Al-Mahdi (909-934), pendiri Dinastii Fatimiyah.
2.
Abu al-Qasim Muhammad
al-Qa'im bi Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934-946).
3.
Isma'il al-Mansur bi-llah
(946-952).
4.
Abu Tamim Ma'add al-Mu'iz
li-Din Allah (952 M - 975) M. Mesir ditaklukkan semasa pemerintahannya.
5.
Abu Mansur Nizar al-'Aziz
bi-llah (975 M - 996 M).
6.
Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amr Allah (996M -
1021 M).
7.
Abu'l-Hasan 'Ali al-Zahir li-I'zaz Din Allah
(1021 M - 1036 M).
8.
Abu Tamim Ma'add al-Mustanhir bi-llah (1036 M -
1094 M).
9.
Al-Musta'li bi-Allah (1094
M-1101 M). Pertikaian atas suksesinya
menimbulkan perpecahan Nizari.
10.
Al-Amir bi Ahkam Allah
(1101 M - 1130 M). Penguasa Fatimiyah di Mesir setelah tak diakui sebagai Imam
oleh tokoh Ismailiyah Mustaali Taiyabi.
11. Abd al-Majid (1130 M - 1149 M).
12. Al-Wafir (1149 M - 1154 M).
13. Al-Fa'iz (1154 M - 1160 M).
14. Al-'Adid (1160 M - 1171 M). Setelah jatuhnya Al-`Adid,
kekuasaan Dinasti Fatimiyah selama 200 tahun lebih berakhir.[14]
B.
Kejayaan Dinasti Fatimiyah
Kejayaan dinasti Fatimiyah dimulai saat al-Muiz pindah dari ibu kota
al-Mahdiyah ke al-Qahirah (Kairo). Dan puncak kejayaannya dicapai pada
masa pemerintahan Abu al-Manshur Nizar al-Aziz (975-996) di mana kerajaan
diliputi dengan kedamaian dan nama al-Aziz diagungkan dalam setiap khutbah
jum’at sepanjang wilayah kekuasaannya.[15]
Al-Aziz berhasil menempatkan dinasti Fatimiyah sebagai negara Islam
terbesar di kawasan Mediterania Timur, bahkan berhasil menenggelamkan famor
penguasa Bagdad. Al-Aziz rela menghabiskan dua juta dinar untuk membangun
istana yang tidak kalah megah dari istana Abbasiyah, Al-Aziz menjadi penguasa
Fatimiyah yang bijaksana dan paling murah hati.[16]
Salah satu bukti kemakmuran dan kejayaan dinasti Fatimiyah adalah
pekerja istana kerajaan pada saat itu berjumlah 12.000 orang pelayan, 10.000
pengurus kuda dan 8.000 pengurus yang lain. Kedamaian pada saat itu tergambar
dengan tidak terkuncinya toko perhiasan dan toko money changer . bahkan
khalifah al-Aziz memiliki 20.000 rumah di ibu kota yang dibangun menggunakan
batu bata dengan ketinggian lima atau enam lantai.[17]
Untuk melihat dan mengukur kejayaan dinasti Fatimiyah yang telah
berkuasa selama 262 tahun, berikut adalah beberapa kontribusi mereka terhadap
dunia Islam secara khusus dan seluruh dunia secara umum:
a.
Agama
Dalam bidang agama,
dinasti Fatimiyah memberlakukan ajaran-ajaran Syiah dengan menganggap bahwa
para imam itu bersih dari dosa dan kesalahan, memberikan toleransi yang tak
terbatas kepada umat Kristen yang tidak pernah dirasakan oleh mereka
sebelumnya.[18]
b.
Pendidikan
Pada masa khalifah al-Aziz (976-996 M.), masjid
al-Azhar ditingkatkan fungsinya dari tempat ibadah semata menjadi universitas.
Dan pada masa khalifah al-Hakim bi Amrillah (996-1021 M.), didirikanlah sebuah
akademi yang diberi nama daar
al-hikmah[19] (kampung kebijaksanaan) yang sederajat
dengan lembaga-lembaga ilmu pengetahuan di Cordova, Baghdad dan lain-lain.
Dinasti Fatimiyah juga mendirikan observatorium di
bukit al-Mukattam untuk mempelajari astronomi, astrologi, kedokteran, kimia dan
sejenisnya.[20]
Ilmuan-ilmuan yang terkenal pada masa itu antara lain Ali ibn Yunus, salah
seorang astronom yang memperbaharui kalender, Abu Ali al-Hasan ibn al-Hasyim
yang telah menulis 100 buah buku dimana salah satu karya monumentalnya adalah al-Manazir.[21]
c.
Politik
Sistem pemerintahan
Fatimiyah bernadakan teokrasi karena menganggap jabatan khalifah ditentukan
oleh nash atau wasiat Nabi kepada Ali di Gadir Khummah. Hal itu diperkuat
dengan penamaan-penamaan khalifahnya seperti al-Muiz lidillah, al-Mustansir
billah dll. Namun jika melihat bahwa khalifah merupakan penunjukkan langsung
maka disebut juga monarki bahkan bisa disebut monarki absolut.[22]
Khalifah kemudian membawahi beberapa menteri yang direkrut dari orang yang
mampu dan memiliki kecakapan tanpa memandang sekte, suku bahkan agama.
d.
Militer
Peninggalan dinasti
Fatimiyah dalam peradaban Islam keberadaan tentara bayaran sebagai penopang
utama sebuah pemerintahan. Hal itu terjadi karena dinasti Fatimiyah penganut
Syiah Ismailiyah yang pada saat itu merupakan kelompok minoritas. Tentara
bayaran tersebut direkrut dari resimen kulit hitam atau Zawila yang dibeli dari
pasar budak di Afrika dan dari orang Eropa Sakalaba atau yang kerap dipanggil
dengan sebutan Bangsa Slav yang menjadi bangsa termiskin di Eropa Timur.[23]
e.
Ekonomi
Untuk
meningkatkan ekonomi, dinasti Fatimiyah membuat jalan terusan, jembatan sebagai
lintas hasil pertanian agar pendapatan negara
dari sektor pajak bisa ditingkatkan, menambah aturan baru tentang
perindustrian dengan membatasi para industriawan dari hidup bermewah-mewahan.
Satuan uang di Mesir digunakan dinar dengan kurs dirham yang ditentukan. Hal
itu dilakukan untuk melindungi para pedagang kecil dari kesewenang-wenangan
pedagang besar yang menggunakan dinar sebagai kurs.[24]
Sementara
pendapatan Negara diperoleh dari pertanian, perdagangan dan bea cukai karena
Mesir pada saat menjadi jalur penghubung antara Afrika Asia dan Eropa dan
menjadi tempat pertukaran berbagai komoditas antara Eropa dan Asia.[25]
f.
Kebudayaan dan Peradaban
Salah satu warisan
dinasti Fatimiyah yang eksis hingga saat ini adalah kota Cairo[26]
yang dibangun oleh Panglima Jawhar al-Katib As-Siqilli pada tahun 969. Pada
tahun 975-1075 M, Fustat merupakan ibu kota Mesir dan menjadi pusat produksi
keramik dan karya seni Islami - sekaligus salah satu kota terkaya di dunia.
Ketika Dinasti Umayyah digulingkan dinasti Abbasiyah pada 750 M, pusat
pemerintahan Islam di Mesir dipindahkan ke Al-Askar - basis pendukung Abbasiyah
dan bertahan hingga tahun 868 M.[27]
g.
Seni
Periode Fatimiyah juga dikenal dengan keindahan produk
tekstilnya, sedangkan produk tenunan yang berkembang saat itu produk khas
bangsa yang bergaya koptik Mesir, kemudian dipengaruhi oleh gaya Iran dan
Sasaniyah, seni keramik mengikuti pola-pola Iran dan seni penjilidan buku yang
begitu indah dan menjadi penjilidan paling pertama dalam dunia Islam.[28]
h.
Arsitektur
Salah
satu bukti yang paling kuat adalah berdirinya Masjid al-Azhar[29]
yang dibangun oleh Jendral Jawhar pada 972 M.[30]
Gaya arsitektur masjid al-Azhar merupakan penggabungan gaya masjid Ibnu Tulun
di Mesir dan gaya Persia dengan menara yang menjadi ciri khas Irak Utara.[31]
C.
Kemunduran Dinasti Fatimiyah
Setelah hampir 50 tahun menapaki sejarah
keemasannya sejak masa pemerintahan Al-Mu’iz, dinasti ini mulai menurun setelah
berakhirnya masa pemerintahan Al-Aziz. Tindakan-tindakan kejam dari al-Hakim (996-1021)
yang sangat belia (11 tahun) menjadi titik awal kegoncangan dalam dinasti
Fatimiyah. Toleransi yang dijunjung sebelumnya dinafikan oleh al-Hakim,
aturan-aturan yang merugikan non-Islam diberlakukan sehingga mulailah timbul
ketidaksenangan. Namun pada saat al-Zhahir (1021-1035) naik tahta, dia
membangun kembali kuburan suci sehingga namanya disebutkan di Masjid-masjid
kekuasaan Konstantin VIII.[32]
Pada masa pemerintahan al-Mustanshir
(1035-1094), penguasa terlama dalam dunia Islam yang diangkat pada usia 11
tahun, wilayah yang berada di bawah kekuasaan Fatimiyah mulai melepaskan diri
seperti Suriah, Palestina dan kota-kota di Afrika. Banu Saljuk dari Turki
membayang-bayangi kekuasaannya, Banu Hilal dan Banu Sulaim dari Nejed
memberontak dan bangsa Normandia meronrong di pedalaman Afrika.[33]
Pasca al-Mustanshir, dinasti Fatimiyah
terus-menerus dirundung pertikaian, baik eksternal maupun internal, kehidupan
masyarakat yang sangat sulit, sumber kehidupan tinggal aliran sunagi Nil,
kelaparan dan wabah penyakit yang sering terjadi, akhirnya berimplikasi pada
pajak yang tinggi dan pemerasan. Puncaknya terjadi pada saat terjadi perang
salib dan Shalahuddin
al-Ayyubi merebut dinasti tersebut. Dia tidak lagi mengangkat khalifah dari
Fatimiyah, tapi menjadikan wilayah Mesir kembali sebagai bagian dari wilayah
kekuasaan Abbasiyah Baghdad dengan status keamiran. Adapun dinasti keamirannya
kemudian dikenal dengan dinasti al-Ayyubiyah.[34]
Ada beberapa faktor yang menjadi
penyebabnya. Antara lain:
1. Perilaku al-Hakim (pengganti al-Aziz) yang
kejam menjadi awal kemunduran dinasti Fatimiyah. Al-Hakim membunuh beberapa
wazir, menghancurkan beberapa gereja, menghancurkan kuburan suci umat Kristen
(1009 M.), menetapkan aturan ketat terhadap non-Islam dengan menjadikan Islam
eksklusif dari agama lain seperti pakaian dan identitas agama.[35]
2. Konflik internal antar para elitnya yang
cukup dahsyat dan berkepanjangan. Koflik internal dalam pemerintahan Fatimiyah
muncul dikarenakan hampir semua khalifahnya, setelah wafatnya Al-Aziz, naik
tahta ketika masih dalam usia sangat mudah bahkan kanak-kanak, misalnya, Al-Hakim naik tahta pada usia 11
tahun, al-Zhahir berusia 16 tahun, Al-Mustansir naik tahta usia 11 tahun,
Al-Amir usia 5 tahun, Al-Faiz usia 4 tahun, dan Al-Adid usia 9 tahun. Akhirnya,
jabatan wazir yang mulai dibentuk pada masa khalifah Al-Aziz bertindak sebagai
pelaksana pemerintahan. Kedudukan al-wazir menjadi begitu penting, berpengaruh
dan menjadi ajang perebutan serta ladang konflik.[36]
3. Keberadaan tiga bangsa besar yang
sama-sama mempunyai pengaruh dan menjadi pendukung utama kekuasaan Fatimiyah,
yaitu bangsa Arab, bangsa Barbar dari Afrika Utara dan bangsa Turki. Di saat
khalifah mempunyai pengaruh kuat, ketiga bangsa itu dapat diintegrasikan
menjadi kekuatan yang dahsyat. Akan tetapi, ketika khalifahnya lemah, maka
konflik ketiga bangsa itupun menjadi dahsyat untuk saling berebut pengaruh dan
kekuasaan. Kondisi terakhir itulah yang terjadi pasca berakhirnya masa
pemerintahan Al-Aziz.[37]
4. Faktor eksternal juga ikut mempercepat
kehancuran dinasti Fatimiyah seperti ronrongan bangsa Normandia, Banu Saljuk
dari Turki dan Banu Hilal dan
Banu Sulaim dari Nejed yang menguasai sedikit demi sedikit terhadap wilayah
kekuasan Fatimiyah.[38]
5. Realita bahwa meski dinasti Fatimiyah
telah berkuasa di Mesir hampir 200 tahun, ternyata secara ideologis belum
berhasil membumikan doktrin ideologi Syi’ah Ismailiyah. Masyarakat
Muslim di Mesir teryata masih tetap setia kepada ideologi Sunni. Oleh
karena itu, ketika dinasti Fatimiyah berada di ambang kehancurannya, masyarakat
Muslim Mesir bukannya berusaha membantu, tapi justru berusaha mempercepat
kehancurannya.[39]
6. Pukulan menentukan dari kehancuran
Fatimiyah terjadi pada masa pemerintahan khalifah Al-Adid Lidinillah. Pada saat
itu, wilayah kekuasaan dinasti Fatimiyah menjadi ajang perebutan antara
Nuruddin Zinki sebagai wakil dinasti Abbasiyah yang ada di Syiria dan pasukan
Salib yang ada di Yerusalem pimpinan Raja Almeric. Pada tahun 1169 M, pasukan
Nuruddin Zinki yang dipimpin panglima besar Shalahuddin al-Ayyubi dapat
mengusir pasukan Salib dari Mesir dan menaklukkan kekuasaan wazir dari khalifah
al-‘Adid. Setelah khalifah al-‘Adid wafat pada tahun 1171.[40]
DAFTAR PUSTAKA
Adawi, Ibrahim Ahmad. Tarikh al-‘Alam al-IslaMi. Diktat
al-Ma’had al-Dirasah al-Islamiyah, 1998 M.
Al-Dimasyqi, Abu al-Fada’ Isma’il ibn Kasir. al-Bidayah wa al-Nihayah.
Cet. I; Bairut: Dar Ih}ya al-Turas al-‘Arabi, 1408 H./1988 M.
Hitti, Philip K. History of the Arabs; From the Earliest Times to
the Present. diter. R. Cecep Lukman Yasin dkk, History of the Arabs. Cet.
I; Jakarta: Serambi Ilmu Semesta IKAPI, 1429 H./2008 M.
Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Cet. I;
Yogyakarta; Pustaka Book Publisher, 2007 M.).
Newsroom, Republika. al-Azhar, Simbol Intelektual Islam Sepanjang
Masa. http://www.republikaonline.com. (20-11-2009 M.).
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam II. Cet.II; Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1994.
[1]Sebenarnya, sekte Syi’ah sudah lama
mendambakan dan mencita-citakan berdirinya kekhalifahan yaitu sejak memudarnya
kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib di Kufah, namun mereka selalu mendapatkan
tekanan politik dari dinasti umayyah dan Abbasiyah sehingga salah satu cara
yang dilakukannya adalah taqiyah, yaitu taat kepada penguasa secara
lahiriyah akan tetapi menyusun kekuatan secara diam-diam. Lihat: M. Abdul
Karim, op.cit., h. 190.
[2]Ia adalah seorang penduduk asli San’a
Yaman yang menjelang awal abad ke-9 memproklamirkan diri sebagai pelopor paham al-mahdi
dan menyebarkan hasutannya dalam suku Berber di Afrika Utara.
[3]Raqadah terletak 10 mil dari wilayah qairawan Tunisia (Afrika
Utara).
[4]Namun karena Raqadah terlalu dekat dari kota pusat Sunni yaitu
qairawan, maka pusat pemerintahan dipindahkan ke al-Mahdiyah, sekitar 16 mil
arah tenggara Raqadah pada tahun 915. Lihat: Ibrahim Ahmad Adawi, Tarikh
al-‘Alam al-Islami, (Diktat al-Ma’had al-Dirasah al-Islamiyah, 1998 M.) h. 259.
[5]Dinasti Aghlabiah berdiri pada masa pemerintahan Khalifah Harun
al-Rasyid ketika dia mengangkat Ibrahim ibn al-Aghlab sebagai penguasa Ifriqiyah
(Tunisia) pada tahun 800 M secara independen dengan gelar ami>r.
untuk membendung kekuatan luar yang ingin melemahkan dinasti Abbasiyah,
terutama dinasti Rustamiah (khawarij) dan Idrisiah. Kemudian pada tahun 909 M.
Dinasti Aghlabiah yang dipimpin oleh Ziadatullah al-Aghlabiah III dilenyapkan
oleh dinasti Fatimiah. Lihat: M. Abdul Karim, op.cit., h. 189.
[6]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam II, (Cet.II; Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1994), h. 76. Al-Mahdiyah adalah nama yang diambil dari
penguasa pada saat itu yaitu Ubaidillah al-Mahdi, Lihat: Ibrahim Ahmad Adawi, op.cit.,
h. 259.
[7]Philip K. Hitti, History of the Arabs; From the Earliest Times to
the Present, diter. R. Cecep Lukman Yasin dkk, History of the Arabs, (Cet.
I; Jakarta: Serambi Ilmu Semesta IKAPI, 1429 H./2008 M.) h. 789.
[8]Dia diberi gelar dengan nama al-Qaim bi amri Allah. Lihat:
Abu al-Fada’ Isma’il ibn Kasir al-Dimasyqi, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Cet.
I; Bairut: Da>r Ih}ya> al-Tura>s| al-‘Arabi>, 1408 H./1988 M.)
Jilid 11 h. 203.
[10]Keberhasilan itu tidak lepas dari kondisi Mesir yang penduduknya
dapat menerima berbagai aliran mazhab dan makmur.
[11]Perlindungan itu diberikan karena terjadi sengketa pelaksanaan upaca
keagamaan ‘id al-gadir.
[12]M. Abdul Karim, op.cit., h. 192.
[13]Fusthat adalah Ibu kota Mesir sejak tahun 639-969 M. dibawah dinasti
Abbasiyah.
[15]Philip K. Hitti, op.cit., h. 791.
[18]Hal itu dilakukan oleh al-Aziz karena pengaruh dari wazirnya yang
beragama Kristen Isa ibn Natshur dan istri al-Aziz yang berasal dari Rusia.
Lihat: Philip K. Hitti, History of the Arabs, op.cit., h. 791.
[19]Nama ini terkait dengan pusat studi ilmu pengetahuan di Bagdad pada
masa khalifah al-Makmun dari dinasti Abbasiyah.
[20]M Abdul Karim, op.cit., h. 201.
[24]M Abdul Karim, op.cit., h. 199-200.
[26]Al-Qahirah atau Kairo yang berarti penaklukan atau kejayaan.
[28]Philip K. Hitti, op.cit., h. 806.
[29]Nama Al-Azhar terinspirasi dari kata Zahra yang diambil dari nama
belakang Sayidah Fatimah Al-Zahra putri Nabi Muhammad saw, sebagai sebuah
penghormatan kepadanya. Lihat: Republika Newsroom, al-Azhar: Simbol Intelektual
Islam Sepanjang Zaman, http://www.Republikaonline.com, (20-11-2009
M.).
[30]M. Abdul Karim, op.cit., h. 202.
[32] Philip K. Hitti, op.cit., h. 792.
[35]Philip K. Hitti, op.cit., h. 792.
[36]Philip K. Hitti, op.cit., h. 792.
[37]Anggota Pondok Baca, Dinasti Fatimiyah, http://www.blogger.com,
(20-10-2009).
[38]Philip K. Hitti, op.cit., h. 794.
[39]Anggota Pondok Baca, Dinasti Fatimiyah, http://www.blogger.com,
(20-10-2009).
[40]Philip K. Hitti, op.cit., h. 796.
My Blog List