Posted by : LaSaro' Kamis, 10 Januari 2013



TAKHRIJ AL-HADITS
A.       Pengertian Takhrij al-Hadits
Kata takhrij  adalah bentuk masdar dari fi’il madi ( kharaja-yakhruju-takhriijan)  yang secara bahasa berarti mengeluarkan sesuatu dari tempatnya” [1]. Takhrij bermakna pula al-istimbath (hal yang mengelurkan); al-tadrib (hal melatih atau hal pembiasaan); at-taujih (hal memperhadapkan).[2] Dengan demikian, jika dihubungkan dengan hadis, maka berarti usaha untuk mengeluarkan sesuatu yang berhubungan dengan hadis, yang dimaksud dalam hal ini adalah masalah periwayatan hadis.
Adapun pengertian takhrij al-hadits menurut istilah ulama  ahli hadis, dapat berarti :
  1. Usaha mencari sanad hadis yang terdapat dalam kitab hadis karya orang lain, yang tidak sama dengan sanad yang terdapat dalam kitab tersebut. Usaha semacam ini dinamakan juga istikhraj,.
  2. Suatu keterangan bahwa hadis yang nukilkan ke dalam  kitab penyusunnya itu teradapat dari kitab lain yang telah disebutkan nama penyusunnya. Misalnya, penyusun hadis mengakhiri penulisan hadisnya dengan kata-kata. “Akhrajahul Bukhori” artinya bahwa hadis yang dinukil itu terdapat dalam kitab : “Jamius Shahih Bukhari, bila ia mengakhirinya dengan kata Akhrajahul Muslim” berarti bahwa hadis tersebut terdapat dari kitab Shahih Muslim.
  3. Suatu usaha mencari derajat, sanad dan rawi, hadis yang tidak diterangkan oleh penyusun atau pengarang suatu kitab. [3]
M. Syuhudi Ismail mengemukakan bahwa istilah takhrij al-hadits menurut pengertian ulama hadis adalah :
1.      Mengemukakan hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.
2.      Ulama hadis mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis, atau berbagai kitab, atau lainnya, yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri, atau para gurunya, atau temannya, atau orang lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
3.      Menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh para mukharrijnya langsung (yakni para periwayat yang juga sebagai penghimpun bagi hadis yang mereka riwayatkan).
4.      Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya, yakni kitab-kitab hadis, yang didalamnya disertakan metode periwayatannya  dan sanadnya masing-masing, serta diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualitas hadisnya.
5.      Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab, yang didalamnya dikemukakan hadis itu secara secara lengkap dengan sanadnya masing-masing; kemudian, untuk kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan. [4]
Hal senada juga dikemukakan oleh M. Hasbi Ash-Sgiddiqy, bahwa menurut istilah yang biasa dipakai oleh ulama hadis, istilah takhrij al-hadis mempunyai beberapa arti, yakni :
1.  Mengambil sesuatu hadis dari sesuatu kitab, lalu mencari sanad yang lain dari sanad penyusun kitab itu. Orang yang mengerjakan hal ini dinamai mukharrij dan mustakhrij
2.  Menerangkan bahwa hadis itu terdapat dalam sesuatu kitab, yang dinukilkan kedalamnya oleh penyusunnya dari sesuatu kitab lain, seperti kita katakan : Akhrajahu ul-Bukhari = dinukilkan kedalam kitabnya oleh Bukhari (ada tersebut dalam kitab Bukhari).[5]
Orang yang berusaha mentakhrij hadis dinamakan mukharrij. Usaha mukharrij tersebut akhirnya dihimpun dalam sebuah kitab, dan kitab yang demikian inilah yang disebut yang disebut mustakhraj. Misalnya:
1.      Mustakhraj Abu Nu’aim, karya Abu Nu’aim, adalah salah satu kitab takhrij Hadis Shahih Bukhary.
  1. Takhrij Ahmad bin Hamdan, adalah salah satu dari kitab mustakhraj Shahih Muslim. [6]
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan di atas, maka ada tiga hal yang mendasar dari pengertian tersebut. Yakni;  Pertama, kegiatan penelusuran suatu hadis untuk mengetahui tempat atau sumber-sumber hadis yang diteliti;  Kedua, sumber-sumber pengambilan hadis itu merupakan sumber-sumber asli, yang dihimpun oleh para pengarang dengan jalan yang diterima dari guru-gurunya dan lengkap dengan sanadnya sampai kepada nabi Muhammad SAW. Misalnya kitab Shahih Bukhari dan kitab Shahih Muslim; Ketiga, hadis yang termuat dalam sumber-sumber asli itu dikemukakan secara lengkap sanad dan matannya.[7]
B.   Sejarah dan latar belakang  Takhrij al-Hadits
Kegiatan mentakhrij hadis muncul dan diperlukan pada masa ulama mutaakhirin. Sedang sebelumnya, hal ini tidak pernah dibicarakan dan diperlukan. Kebiasaan ulama mutaqaddimin menurut Al-Iraqi, dalam mengutip hadis-hadisnya tidak pernah membicarakan dan menjelaskan darimana hadis itu dikeluarkan, serta bagaimana kualitas hadis-hadis tersebut, sampai kemudian datang An-nawawi yang melakukan hal itu.
 Penguasaan para ulama terdahulu terhadap sumber-sumber hadis begitu luas sekali, sehingga mereka tidak merasa sulit jika disebutkan suatu hadis untuk mengetahuinya dalam kitab-kitab hadis. Ketika semangat belajar sudah melemah, mereka kesulitan mengetahui tempat-tempat hadis yang dijadikan sebagai rujukan para penulis dalam ilmu-ilmu syar’i. Maka sebagian ulama bangkit dan memperlihatkan hadis-hadis yang ada pada sebagian kitab dan menjelaskan sumbernya dari kitab-kitab  hadis yang asli, menjelaskan metodenya, dan menerangkan hukumnya dari yang shahih atas yang dha’if, lalu muncullah apa yang dinamakan dengan kutub at-takhrij.[8]
Ulama yang pertama kali melakukan takhrij menurut Mahmud al-Thahhan ini, ialah al-Khatib al-Bagdadi (463 H). kemidian dilakukan pula oleh Muhammad bin musa al-Hazimi (W.584 H) dengan karyanya “Al-Takhrij Ahaadits Muhadzdzab”. Ia mentakhrij kitab Fiqih Syafi’iyah karya Abu Ishaq Asy-Syirazi. Ada juga ulama lainnya, seperti Abu Al-Qasim Al-Husaini dan Abu Al-Qasim Al-Mahrawani. Karya kedua ulama ini hanya berupa mahthuthah (manuskrip) saja. Pada perkembangan selanjutnya, cukup banyak bermunculan kitab-kitab tersebut yang berupaya men-takhrij kitab-kiatab dalam berbagai disiplin ilmu agama.  Yang termasyhur di antara kitab-kitab tersebut, selain karya Muhammad bin Musa Al-Hazimi di atas, ialah kitab Takhrij Ahaadts Al-Mukhtashar Al-Kabir karya Muhammad bin Ahmad Abd Al-Hadi Al-Maqdisi (w. 744 H), Nashb ar-Rayah li Ahadits al-Hidayah dan Takhrij Ahadits al-Kasysyaf, keduanya karya Abdullah bin yusuf Al-Zaila’i(w. 762 H), dan Al-Badr Al-Munir fi Takhrij Al-Ahadits wa Al-Atsaral-Waqi’ah fi Syarh Al-Kabir karya Ibn Al-Mulaqqin (w. 804 H). [9]
Kitab-kitab hadis yang telah disusun oleh para ulama periwayat hadis cukup banyak jumlahnya, dan metode penyusunan kitab-kitab himpunan tersebut ternyata tidak seragam. Masing-masing mukharrij memiliki metode sendiri-sendiri, baik dalam penyususnan sistematika dan topik yang dikemukakan oleh hadis yang dihimpunnya, maupun kriteria kualitas hadisnya masing-masing. Karenanya tidaklah mengherankan, bila masa sesudah kegiatan penghimpunan hadis itu, ulama menilai dan membuat kriteria tentang peringkat kualitas kitab-kitab himpunan hadis tersebut.[10]
Dalam kriteria yang beragam terhadap hadis-hadis yang dihimpun dalam kitab-kitab hadis tersebut, maka kualitas hadisnya tidak selalu sama. Untuk mengetahui apakah hadis-hadis yang termuat dalam berbagai kitab himpunan itu berkualitas shahih atau tidak shahih, diperlukan kegiatan penelitian. oleh karena itu langkah awal dalam penelitian hadis adalah takhrij.
C.   Metode Takhrij al-Hadits
Melakukakan penelusuri terhadap hadis tidak semudah menelususri ayat alquran karena menelusuri ayat alquran cukup dengan sebuah kamus alquran, misalnya kitab al-mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Quran al-Karim yang disusun oleh oleh Muhammad Fuad Abd Al-Baqi dengan kitab alquran sebagai rujukan. Berbeda dengan menelusuri hadis, karena hadis terhimpun dalam berbagai kitab, sehingga lebih sulit untuk menelusurinya  dan tidak cukup hanya mempergunakan sebuah kamus dan sebuah kitab hadis sebagai rujukan, selain itu belum ada sebuah kamus yang dapat memberi petunjuk untuk mencari hadis yang dimuat oleh seluruh kitab hadis yang ada .[11]  Untuk itu,  mengetahui kejelasan hadis beserta sumber-sumbernya, diperlukan metode-metode tertentu untuk melakukane takhrij al-hadis.
Secara umum sesuai dengan cara ulama mengumpulkan hadis-hadis, maka   metode takhrij al-hadits disimpulkan dalam lima macam metode:

1.      Takhrij menurut lafal pertama hadis
2.      Takhrij menurut lafal-lafal yang terdapat dalam hadis
3.      Takhrij menurut perawi hadis pertama
4.      Takhrij menurut tema hadis
5.      Takhrij menurut klasifikasi jenis hadis [12]
Untuk lebih memudahkan pemahaman tentang kelima metode takhrij al-hadis tersebut, berikut penjelasan masing-masing metode yang dimaksud, yakni :
1.    Takhrij Menurut lafal  pertama (awal kata) dari matan suatu hadis  
Untuk melakukannya, terlebih dahulu harus diketahui seluruh atau sekurangnya awal kata dari matan suatu hadis, kemudian dilihat huruf awal dari kata yang paling awal matan hadis tersebut. Artinya, penggunaan metode ini tergantung dari lafal pertama matan hadis, ini  berarti bahwa metode ini juga mengkodifikasi lafal pertamanya sesuai dengan urutan huruf-huruf hijaiyah, seperti hadis-hadis yang huruf pertamanya alif, ba, ta dan seterusnya. Sebagai contoh, matan hadis  yang berbunyi من غسناَ فليس مني, langkah yang dilakukan untuk mencarinya dengan menggunakan metode ini adalah menelusuri pada kitab takhrij sebagai berikut ; (a) lafal pertamanya dengan membukanya pada bab mim, (b) kemudian mencari huruf kedua nun  setelah mim tersebut, (c) huruf-huruf selanjutnya adalah ghain,  lalu syin,  serta nun, dan begitu seterusnya sesuai dengan urutan huruf-huruf  hijaiyah pada lafal-lafal matan hadis.
Dengan langkah seperti itu, maka akan ditemukakan dalam kitab takhrij penjelasannya sumber kitab hadis utama yang mencantumkan hadis tersebut (misalnya, shahih al-bukhari, shahih muslim, atau lainnya), serta jalur-jalur dan rangkaian silsilahnya sampai kepada Nabi Saw. [13]
Diantara kitab-kitab takhrij yang dikarang oleh ulama hadis dengan menggunakan metode ini adalah al-Jami’ al-Kabir karangan Imam Suyuthi dan al-Jami’ al-Azhar oleh al-Manawi.[14]
2.      Takhrij menurut lafal-lafal yang terdapat dalam hadis
Dalam melakukan penelusuran suatu hadis, adakalanya hadis yang akan diteliti hanya diketahui sebagian saja dari matannya. Jika demikian maka takhrij melalui penelusuran lafal matan lebih mudah dilakukan. Metode ini dilakukan dengan cara menelusuri hadis berdasarkan huruf awal kata dasar pada lafa-lafal yang ada pada matan hadis, baik isim maupun fi’il, tetapi dalam hal ini huruf tidak dijadikan pegangan. Misalnya, ditemukan hadis “انما الاعمال بالنيات “ dapat ditelusuri dari lafal al-a’mal dari ‘ain sebagai huruf awal dari kata dasar al-a’mal. Bisa juga melalui lafal an-niyyat dari huruf nun sebagai awal dari kata dasarnya yakni nawa. [15]
Metode ini dapat dibantu dengan kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadzi al-Hadits An-Nabawi,  berisi Sembilan kitab yang paling terkenal di antara kitab-kitab hadis, yaitu: Kutubu Sittah, Muwattha’ Imam Malik, Musnad Ahmad dan Musnad Ad Darimi. Kitab ini disusun oleh Dr. A.J. Wensink.[16]
Untuk lebih memudahkan pemahaman dalam metode ini, berikut dikemukakan contoh penelusuran. Mislanya hadis yang diingat adalah bagian lafal matan yang berbunyi :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
Dengan modal lafal munkaran ( منكرا ), maka lafal itu ditelusuri melalui kamus Al Mu’jam  Al-Mufahras li Alfadzi  al-Hadits An-Nabawi   yang  memuat lafal  nakara   ( نكر ). Setelah diperoleh, lalu dicari kata munkaran   ( منكرا ). Dibagian itu ada petunjuk bahwa hadis yang dicari memiliki sumber yang cukup banyak dalam kitab-kitab hadis, yakni
  1. Shahih Muslim, pada Kitab Iman, nomor hadis 78
  2. Sunan Abi Daud, pada Kitab Shalat  bab 242; dan Kitab Malahin  bab 17
  3. Sunan at-Tumuzi, Kitab Fitan bab 11
  4. Sunan an-Nasa’i, Kitab Iman, bab 17
  5. Sunan Ibni Majah, Kitab Iqamah , bab 155 dan Kitab Fitan  bab 20
  6. Musnad Ahmad bin Hanbal, juz III halaman 10, 20, 49 dan 52 .[17]
Apabila akan dilakukan penelitian, maka semua riwayat yang dikemukakan oleh keenam kitab di atas perlu dikutip secara cermat. Tentu saja untuk menghindari adanya riwayat yang tidak tercakup, kegiatan takhrij dengan mengacu kepada lafal-lafal yang lain  yang terdapat dalam matan yang sama perlu dilakukan.
3.      Takhrij menurut perawi hadis pertama
Takhrij berdasarkan perawi paling atas (yang pertama), yakni menelusuri hadis dengan cara terlebih dahulu harus mengetahui perawi paling atas dari hadis tersebut. Terkadang dari kalangan sahabat jika hadis tersebut muttasil atau dari kalangan tabi’in jika jika hadis mursal. Jika terdapat hadis yang tidak disebutkan perawi atasnya, maka dapat ditelusuri dengan cara lain. Para penyusun kitab-kitab takhrij dengan metode ini mencantumkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh setiap perawi pertama, sahabat atau tabi’in. sebagai langkah awal  ialah mengenal terlebih dahulu perawi pertama setiap hadis yang akan kita takhrij melalui kitab-kitabnya. Langkah selanjutnya mencari nama perawi pertama tersebut dalam kitab-kitab itu, dan kemudian mencari hadis yang kita inginkan diantara hadis-hadis yang tertera dibawah nama perawi pertamanya itu. Bila kita telah menemukannya, maka kita akan mengetahui pula ulama hadis yang meriwayatkannya[18]
Pada garis besarnya kitab-kitab takhrij yang disusun berdsarkan metode ketiga ini terbagi dua bagian yaitu:
1.      Kitab-kitab al-Athraf diantaranya:
a.       Athraaf al-Shahihain, karangan al-Hafizh Imam Abu Mas’ud Ibrahim bin Muhammad bin ‘Ubaid al-Dimasyqy wafat tahun 400 H.
b.      Atraaaf al-Shahihain,  Karangan al-Hafizh Imam Khalaf bin Hamadun al-Washithy wafat tahun 401 H.
c.       Athraaf al-Kutub al-Sittah, karangan al-Hafizh  Syamsuddin abu al-Fadhly Muhammad bin Thahir bin Ahmad al-Maqdisi, dikenal dengan nama ibnu al-Qaysarany wafat tahun 507 H.
2.      Kitab-kitab Musnad  diantaranya:
a.       Musnad Ahmad bin Hanbal
b.      Musnad Al-Humaidy
c.       Musnad Abi Daud al-Thayaalisi
d.      Musnad al-Bukhari al-Kabir
e.       Al-Musnad al-Kabir ‘Ala al-Rijaal li Muslim bin al-Hajjaj[19]
4.      Takhrij menurut tema hadis
Cara mentakhrij hadis melalui pengenalan tema ini dapat dipakai oleh mereka yang banyak mengusai matan hadis dan kandungannya. Terdapat banyak kitab yang mentakhrij hadis dengan cara ini, yang pada garis besarnya terdapat pada tiga bagian, yakni : Pertama, kitab-kitab yang memuat seluruh bab dan topik ilmu agama. Kitab seperti ini banyak sekali, di antaranya kitab al-Jawami, al-Mustakhrajah, al-Mustadrakah ‘ala al-Jawami’, al-Majami’, az-Zawaid, dan Miftah Kunuz as-Sunnah. Kedua, kitab-kitab yang memuat banyak bab atau topik, akan tetapi tidak mencakup seluruh bab secara lengkap, seperti kitab-kitab as-Sunan al-Muwaththa’ah, dan al-Mustakhrajah ‘ala as-Sunan. Ketiga, kitab-kitab yang hanya membahas bab atau topik-topik khusus, seperti kitab at-Tarhib, at-Targip, al-Akhlak, dan al-Ahkam.
Kitab miftah Kunuz as-Sunnah yang disusun oleh Muhammad fuad Abd al-baqi merujuk kepada 14 kitab, yaitu : Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, sunan abu Daud., Jami’at-Turmudzi, Sunan an-Nasa’I, Sunan Ibn Majah, sunan Ibn Malik, Musnad Ahmad, Musnad Abu Daud ath-Thayalisi, Sunan ad-Darimi, Musnad Zaid bin Ali, sirah Ibn hisyam, Magazi al-waqidi, dan thabaqah Ibn Sa’ad.
[20]
Cara penelusuran hadis dengan metode ini banyak dibantu dengan kitab Miftah Kunuz As Sunnah yang disusun oleh Dr. A.J. Wensink yang berisi daftar isi hadis yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan. Kitab ini mencakup daftar isi untuk 14  kitab hadis yang terkenal yaitu : kesembilan macam kitab yang menjadi rukan mu’jam (Kutubu Tis’ah) ditambah lagi dengan Musnad Zaid bin ‘Ali, Musnad Aib Daud at-Tayalisi, Thabaqat ibn  Sa’ad , Sirah ibn Hisyam  dan  Maqazi al-Waqidi. [21]
Data yang dimuat oleh  kitab Miftah Kunuz As Sunnah  tersebut memang sering tidak lengkap begitu juga topik yang dikemukakannya. Walaupun begitu kitab kamus tersebut cukup membantu untuk melakukan kegiatan takhrij hadis berdasarkan topik masalah. Untuk melengkapi data yang dikemukakan oleh kitab kamus itu, dapat diapakai sejumlah kitab himpunan hadis yag disusun berdasarkan topik masalah mislanya Muntakhab Kanzil ‘Ummah susunan ‘Ali bin Hisam ad-Din al-Mutqi, yang kitab rujukannya lebih dari  20  macam kitab.[22] 
5.      Takhrij menurut klasifikasi jenis hadis
Takhrij berdasakan klasifikasi jenis hadis atau biasa juga disebut dengan takhrij berdasarkan sifat lahir hadis. Cara penelusuran ini dilakukan misalnya pada hadis mutawatir (diriwayatkan oleh sejumlah orang pada setiap tingkat sanadnya), qudsi (maknanya berasal dari Allah sedangkan lafalnya dari Nabi SAW), masyhur (diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, tetapi belum mencapai derajat mutawatair), mursal (diriwayatkan langsung dari tabi’in), dan maudu’ (hadis palsu). [23]
Dengan demikian dapat dipahami metode ini adalah metode yang mengetangahkan suatu hal yang baru berkenaan dengan upaya para ulama yang telah mnyusun kumpulan hadis-hadis berdasarkan status hadis. Kitab-kitab sejenis ini sangat membantu sekali dalam proses pencarian hadis berdasarkan statusnya, seperti hadis-hadis Qudsi, hadis-hadis Masyhur,  hadis-hadis Mursal dan lain-lain. Dengan membuka kitab-kitab hadis- seperti ini berarti kita telah melakukan takhrij. [24]
Kitab-kitab  yang disusun  menurut metode ini diantaranya:
1.      Hadis-hadis mutawatir  seperti :  al-Azharu al Mutanatsirah fi al ahbari Mutawatirah karangan Suyuthi
2.      Hadis-hadis masyhur seperti: al Maqashidu al-Hasanah karangan Sakhawi
3.      Hadis-hadis qudsi seperti:  al Ittihafatu al Saniyyatu fi al Ahaditsu al-Qudsiyyah karangan al-Madani
4.      Hadis-hadis mursal seperti: al Maraasilu  karangan Abu Daud [25]
D.    Tujuan dan Manfaat Takhrij al-Hadtis
Takhrij al-hadits bertujuan untuk menunjukkan sumber hadis-hadis yang menerangkan ditolak atau diterimanya hadis-hadis tersebut. Sedangkan manfaat dalam melakukan takhrij al-hadits banyak sekali. Ada beberapa manfaat dari takhrij al-hadis antara lain sebagai berikut :
1.      Memberikan informasi bahwa suatu hadis termasuk hadis shahih, hasan, ataupun dla’if, setelah diadakan penelitian dari segi matan ataupun sanadnya.
  1. Memberikan kemudahan kepada orang yang mau mengamalkan setelah tahu bahwa suatu hadis adalah hadis makbul (dapat diterima). Dan sebaliknya tidak mengamalkannya apabila diketahui bahwa suatu hadits adalah mardud (tertolak).
  2. Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadis adalah benar-benar berasal dari Rasulullah Saw. yang harus kita ikuti kerena adanya bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadis tersebut, baik dari segi sanad maupun matan. [26]
Bagi hadis-hadis yang ditakhrij dari dua kitab shahih mempunyai faedah yang banyak di antaranya yang paling penting, yaitu: Tingginya derajat isnad, bertambah derajat kesahihannya, dan Kuatnya sebuah hadis karena banyak jalan periwayatan hadis. [27]

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qadir bin Abdul Hadi,  Abu Muhammad Abdul Mahdi .Tharqu Tahriju Hadis  Rasulullah Shallallahu Alihi Wasallam, ter. H.S. Agil Husain Munawwar dan H. Ahmad Rifqi Muchtar, Metode Takhrij Hadis, Cet.I; Semarang: Dina Utama, 1994
Ahmad,  Arifuddin.  Paradigam Baru Dalam Memahami Hadis Nabi  Cet. I; Jakarta: Inti Media dan Insan Cemerlang, 2002
Ahmad, Muhammad, H., Mudzakir, M., 1998, Ulumul Hadits untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK, Bandung, CV. Pustaka Setia, 1998
Ismail, M. Suhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Cet.I ;Jakarta: Bulan Bintang , 1992
Jumantoro, Totok.  Kamus Ilmu Hadis, Cet.II ;Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002
Al-Qaththan,  Manna’. Mabahis fii Ulum al-Hadis,terj. Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Cet. IV; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009
Rahman, Fatchur,  Ikhtishar Mushthalahul Hadits, Bandung, PT. Al-Ma’arif, 1979
Ash Shiddiqy, M. Hasbi.  Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Cet.10; Jakarta: Bulan Bintng, 1991
Sulaiman PL, H.M. Noor Antologi Ilmu   Hadis, Cet. II; Jakarta: Gaung PersadaPress Jakarta, 2009
Thahhan, Mahmud, Taisir Mushthalahul Hadits, Bairut : PT. Dar Ats-Tsaqafah Al-Islamiyyah, 1980
Wensink, A.J.  Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadzi al-Hadits An-Nabawi  Leiden E,J. Brill, 1936.



[1]H. Ahmad, Muhammad, dan M. Mudzakir, Ulumul Hadits untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK, (Bandung.: CV. Pustaka Setia, 1998), h. 131
[2]Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, (Cet.II ;Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002), h. 244
[3]Lihat, H. Ahmad, Muhammad, dan M. Mudzakir,  Loc. Cit.
[4] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Cet.I ;Jakarta: Bulan Bintang , 1992), h. 41-42
[5] M. Hasbi Ash Shiddiqy,  Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Cet.10; Jakarta: Bulan Bintng, 1991)., h. 194.
[6] Fatchur  Rahman,   Ikhtishar Mushthalahul Hadits, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1979, h. 35
[7]Arifuddin Ahmad, Paradigam Baru Memahami Hadis Nabi  (Cet. II; Ciputat : MSCC, 2005), h. 68
[8]Manna’ Al-Qaththan, Mabahis fii Ulum al-Hadis,terj. Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis, (Cet. IV; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009), h.  189
[9]Dikutip dari, http://www.tipskom.co.cc/2009/09/ringkasan-makalah-takhrijul-hadits.html
[10] M. Syuhudi Ismail, op. cit.,  h. 19
[11]H.M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu  Hadis, (Cet. II; Jakarta: Gaung PersadaPress Jakarta, 2009), h. 158
[12] Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, Tharqu Tahriju Hadis  Rasulullah Shallallahu Alihi Wasallam, ter. H.S. Agil Husain Munawwar dan H. Ahmad Rifqi Muchtar, Metode Takhrij Hadis, (Cet.I; Semarang: Dina Utama, 1994), h. 15
[13]Dikutip dari, Dikutip dari, http://www.tipskom.co.cc/2009/09/ringkasan-makalah-takhrijul-hadits.html
[14]Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, Op. Cit.,h. 18
[15]Dikutip dari, Dikutip dari, http://www.tipskom.co.cc/2009/09/ringkasan-makalah-takhrijul-hadits.html
[16] Manna’ Al-Qaththan, op. ci.t,  h. 192
[17] A.J. Wensink, Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadzi al-Hadits An-Nabawi  (Leiden E,J. Brill, 1936)  Juz VI, h. 558
[18]Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi , op. cit., h. 78
[19]Ibid., h. 79
[20] M. Syuhudi Ismail, op. cit.,  h. 49
[21] Ibid.
[22] Ibid., h. 49-50
[23]Dikutip dari, Dikutip dari, http://www.tipskom.co.cc/2009/09/ringkasan-makalah-takhrijul-hadits.html
[24]Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi , op. cit., h. 195 
[25] Ibid., h. 196
[26]Lihat, H. Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Op. Cit., h. 132
[27]Lihat, Mahmud Thalhan, , Taisir Mushthalahul Hadits, (Bairut : PT. Dar Ats-Tsaqafah Al-Islamiyyah, 1980), h. 42

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

My Blog List

Assalamu Alaikum Warahmatulah Wabarakatuh

Burung

Senoga Bermanfaat-Jangan Lupa Meninggalkan Komentar
Awali Segalanya Dengan "Bismillahir Rahmanir Rahiim" Akan Dapat BerkahNya

Blogroll

Popular Post

Followers

Trsnalate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jadwal Shalat

Download Software Gratis

SMS Gratis

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

- Copyright © 2013 Auliya AS Hamdi Blog -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -