- Back to Home »
- Hadits-Ilmu Hadits »
- "Takhrij al-Hadits"
Posted by : LaSaro'
Kamis, 10 Januari 2013
TAKHRIJ AL-HADITS
A. Pengertian Takhrij al-Hadits
Kata takhrij adalah bentuk masdar
dari fi’il madi ( kharaja-yakhruju-takhriijan) yang secara bahasa berarti “mengeluarkan
sesuatu dari tempatnya” [1]. Takhrij bermakna pula al-istimbath (hal yang mengelurkan); al-tadrib (hal melatih atau hal
pembiasaan); at-taujih (hal
memperhadapkan).[2]
Dengan demikian, jika dihubungkan dengan hadis, maka berarti usaha untuk mengeluarkan
sesuatu yang berhubungan dengan hadis, yang dimaksud dalam hal ini adalah masalah
periwayatan hadis.
Adapun pengertian takhrij
al-hadits menurut istilah ulama ahli hadis, dapat
berarti :
- Usaha mencari sanad hadis yang terdapat dalam kitab hadis karya orang lain, yang tidak sama dengan sanad yang terdapat dalam kitab tersebut. Usaha semacam ini dinamakan juga istikhraj,.
- Suatu keterangan bahwa hadis yang nukilkan ke dalam kitab penyusunnya itu teradapat dari kitab lain yang telah disebutkan nama penyusunnya. Misalnya, penyusun hadis mengakhiri penulisan hadisnya dengan kata-kata. “Akhrajahul Bukhori” artinya bahwa hadis yang dinukil itu terdapat dalam kitab : “Jamius Shahih Bukhari, bila ia mengakhirinya dengan kata “Akhrajahul Muslim” berarti bahwa hadis tersebut terdapat dari kitab Shahih Muslim.
- Suatu usaha mencari derajat, sanad dan rawi, hadis yang tidak diterangkan oleh penyusun atau pengarang suatu kitab. [3]
M. Syuhudi Ismail mengemukakan bahwa istilah takhrij al-hadits menurut pengertian ulama hadis adalah :
1.
Mengemukakan hadis kepada orang
banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis itu dengan metode periwayatan
yang mereka tempuh.
2.
Ulama
hadis mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis,
atau berbagai kitab, atau lainnya, yang susunannya dikemukakan berdasarkan
riwayatnya sendiri, atau para gurunya, atau temannya, atau orang lain, dengan
menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis yang
dijadikan sumber pengambilan.
3.
Menunjukkan
asal-usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab
hadis yang disusun oleh para mukharrijnya
langsung (yakni para periwayat yang juga sebagai penghimpun bagi hadis yang
mereka riwayatkan).
4.
Mengemukakan hadis berdasarkan
sumbernya atau berbagai sumbernya, yakni kitab-kitab hadis, yang didalamnya
disertakan metode periwayatannya dan sanadnya masing-masing, serta
diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualitas hadisnya.
5.
Menunjukkan
atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli, yakni berbagai
kitab, yang didalamnya dikemukakan hadis itu secara secara lengkap dengan
sanadnya masing-masing; kemudian, untuk kepentingan penelitian, dijelaskan
kualitas hadis yang bersangkutan. [4]
Hal
senada juga dikemukakan oleh M. Hasbi Ash-Sgiddiqy, bahwa menurut istilah yang
biasa dipakai oleh ulama hadis, istilah
takhrij al-hadis mempunyai
beberapa arti, yakni :
1. Mengambil sesuatu hadis dari sesuatu kitab,
lalu mencari sanad yang lain dari sanad penyusun kitab itu. Orang yang
mengerjakan hal ini dinamai mukharrij dan
mustakhrij
2.
Menerangkan bahwa hadis itu terdapat dalam sesuatu kitab, yang
dinukilkan kedalamnya oleh penyusunnya dari sesuatu kitab lain, seperti kita
katakan : Akhrajahu ul-Bukhari =
dinukilkan kedalam kitabnya oleh Bukhari (ada tersebut dalam kitab Bukhari).[5]
Orang yang berusaha mentakhrij hadis dinamakan mukharrij. Usaha mukharrij tersebut
akhirnya dihimpun dalam sebuah kitab, dan kitab yang demikian inilah yang
disebut yang disebut mustakhraj. Misalnya:
1. Mustakhraj Abu Nu’aim, karya Abu Nu’aim, adalah
salah satu kitab takhrij Hadis Shahih Bukhary.
- Takhrij Ahmad bin Hamdan, adalah salah satu dari kitab mustakhraj Shahih Muslim. [6]
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan di atas, maka
ada tiga hal yang mendasar dari pengertian tersebut. Yakni; Pertama,
kegiatan penelusuran suatu hadis untuk mengetahui tempat atau sumber-sumber
hadis yang diteliti; Kedua, sumber-sumber pengambilan hadis
itu merupakan sumber-sumber asli, yang dihimpun oleh para pengarang dengan
jalan yang diterima dari guru-gurunya dan lengkap dengan sanadnya sampai kepada nabi Muhammad SAW. Misalnya kitab Shahih
Bukhari dan kitab Shahih Muslim; Ketiga,
hadis yang termuat dalam sumber-sumber asli itu dikemukakan secara lengkap
sanad dan matannya.[7]
B.
Sejarah dan latar
belakang Takhrij al-Hadits
Kegiatan mentakhrij hadis muncul dan diperlukan pada
masa ulama mutaakhirin. Sedang
sebelumnya, hal ini tidak pernah dibicarakan dan diperlukan. Kebiasaan ulama mutaqaddimin menurut Al-Iraqi, dalam
mengutip hadis-hadisnya tidak pernah membicarakan dan menjelaskan darimana
hadis itu dikeluarkan, serta bagaimana kualitas hadis-hadis tersebut, sampai
kemudian datang An-nawawi yang melakukan hal itu.
Penguasaan para ulama
terdahulu terhadap sumber-sumber hadis begitu luas sekali, sehingga mereka
tidak merasa sulit jika disebutkan suatu hadis untuk mengetahuinya dalam
kitab-kitab hadis. Ketika semangat belajar sudah melemah, mereka kesulitan
mengetahui tempat-tempat hadis yang dijadikan sebagai rujukan para penulis
dalam ilmu-ilmu syar’i. Maka sebagian
ulama bangkit dan memperlihatkan hadis-hadis yang ada pada sebagian kitab dan
menjelaskan sumbernya dari kitab-kitab
hadis yang asli, menjelaskan metodenya, dan menerangkan hukumnya dari
yang shahih atas yang dha’if, lalu muncullah apa yang
dinamakan dengan kutub at-takhrij.[8]
Ulama yang pertama
kali melakukan takhrij menurut Mahmud
al-Thahhan ini, ialah al-Khatib al-Bagdadi (463 H). kemidian dilakukan pula
oleh Muhammad bin musa al-Hazimi (W.584 H) dengan karyanya “Al-Takhrij Ahaadits Muhadzdzab”. Ia mentakhrij kitab Fiqih Syafi’iyah karya Abu Ishaq Asy-Syirazi. Ada juga ulama lainnya,
seperti Abu Al-Qasim Al-Husaini dan Abu Al-Qasim Al-Mahrawani. Karya kedua
ulama ini hanya berupa mahthuthah
(manuskrip) saja. Pada perkembangan selanjutnya, cukup banyak bermunculan
kitab-kitab tersebut yang berupaya men-takhrij
kitab-kiatab dalam berbagai disiplin ilmu agama. Yang termasyhur di antara kitab-kitab
tersebut, selain karya Muhammad bin Musa Al-Hazimi di atas, ialah kitab Takhrij Ahaadts Al-Mukhtashar Al-Kabir
karya Muhammad bin Ahmad Abd Al-Hadi Al-Maqdisi (w. 744 H), Nashb ar-Rayah li Ahadits al-Hidayah dan
Takhrij Ahadits al-Kasysyaf, keduanya
karya Abdullah bin yusuf Al-Zaila’i(w. 762 H), dan Al-Badr Al-Munir fi Takhrij
Al-Ahadits wa Al-Atsaral-Waqi’ah fi Syarh Al-Kabir karya Ibn Al-Mulaqqin
(w. 804 H). [9]
Kitab-kitab hadis yang telah disusun
oleh para ulama periwayat hadis cukup banyak jumlahnya, dan metode penyusunan
kitab-kitab himpunan tersebut ternyata tidak seragam. Masing-masing mukharrij memiliki metode
sendiri-sendiri, baik dalam penyususnan sistematika dan topik yang dikemukakan
oleh hadis yang dihimpunnya, maupun kriteria kualitas hadisnya masing-masing.
Karenanya tidaklah mengherankan, bila masa sesudah kegiatan penghimpunan hadis
itu, ulama menilai dan membuat kriteria tentang peringkat kualitas kitab-kitab
himpunan hadis tersebut.[10]
Dalam kriteria yang beragam terhadap
hadis-hadis yang dihimpun dalam kitab-kitab hadis tersebut, maka kualitas
hadisnya tidak selalu sama. Untuk mengetahui apakah hadis-hadis yang termuat
dalam berbagai kitab himpunan itu berkualitas shahih atau tidak shahih,
diperlukan kegiatan penelitian. oleh karena itu langkah awal dalam penelitian
hadis adalah takhrij.
C.
Metode Takhrij al-Hadits
Melakukakan penelusuri terhadap hadis tidak semudah
menelususri ayat alquran karena menelusuri ayat alquran cukup dengan sebuah
kamus alquran, misalnya kitab al-mu’jam
al-Mufahras li Alfazh al-Quran al-Karim yang disusun oleh oleh Muhammad
Fuad Abd Al-Baqi dengan kitab alquran sebagai rujukan. Berbeda dengan
menelusuri hadis, karena hadis terhimpun dalam berbagai kitab, sehingga lebih
sulit untuk menelusurinya dan tidak
cukup hanya mempergunakan sebuah kamus dan sebuah kitab hadis sebagai rujukan,
selain itu belum ada sebuah kamus yang dapat memberi petunjuk untuk mencari
hadis yang dimuat oleh seluruh kitab hadis yang ada .[11] Untuk itu, mengetahui kejelasan hadis beserta
sumber-sumbernya, diperlukan metode-metode tertentu untuk melakukane takhrij al-hadis.
Secara umum sesuai dengan cara ulama mengumpulkan
hadis-hadis, maka metode takhrij al-hadits disimpulkan dalam lima
macam metode:
1.
Takhrij menurut lafal pertama hadis
2.
Takhrij menurut lafal-lafal yang
terdapat dalam hadis
3.
Takhrij menurut perawi hadis
pertama
4.
Takhrij menurut tema hadis
Untuk lebih memudahkan pemahaman tentang kelima metode takhrij al-hadis tersebut, berikut
penjelasan masing-masing metode yang dimaksud, yakni :
1. Takhrij
Menurut lafal pertama (awal kata) dari matan suatu hadis
Untuk melakukannya, terlebih
dahulu harus diketahui seluruh atau sekurangnya awal kata dari matan suatu hadis,
kemudian dilihat huruf awal dari kata yang paling awal matan hadis tersebut. Artinya, penggunaan
metode ini tergantung dari lafal pertama matan
hadis, ini berarti bahwa metode ini juga
mengkodifikasi lafal pertamanya sesuai dengan urutan huruf-huruf hijaiyah,
seperti hadis-hadis yang huruf pertamanya alif,
ba, ta dan seterusnya. Sebagai contoh, matan
hadis yang berbunyi من غسناَ فليس
مني, langkah yang dilakukan untuk mencarinya dengan menggunakan metode ini
adalah menelusuri pada kitab takhrij sebagai
berikut ; (a) lafal pertamanya dengan membukanya pada bab mim, (b) kemudian mencari huruf kedua nun setelah mim tersebut, (c) huruf-huruf
selanjutnya adalah ghain, lalu syin, serta nun,
dan begitu seterusnya sesuai dengan urutan huruf-huruf hijaiyah pada lafal-lafal matan hadis.
Dengan langkah seperti itu, maka
akan ditemukakan dalam kitab takhrij penjelasannya
sumber kitab hadis utama yang mencantumkan hadis tersebut (misalnya, shahih
al-bukhari, shahih muslim, atau lainnya), serta jalur-jalur dan rangkaian silsilahnya
sampai kepada Nabi Saw. [13]
Diantara kitab-kitab takhrij
yang dikarang oleh ulama hadis dengan menggunakan metode ini adalah al-Jami’ al-Kabir karangan Imam Suyuthi
dan al-Jami’ al-Azhar oleh al-Manawi.[14]
2.
Takhrij menurut lafal-lafal yang terdapat dalam hadis
Dalam melakukan penelusuran suatu hadis, adakalanya
hadis yang akan diteliti hanya diketahui sebagian saja dari matannya. Jika demikian maka takhrij melalui penelusuran lafal matan lebih mudah dilakukan. Metode ini dilakukan dengan cara menelusuri hadis
berdasarkan huruf awal kata dasar pada lafa-lafal yang ada pada matan hadis,
baik isim maupun fi’il, tetapi dalam hal ini huruf tidak dijadikan pegangan.
Misalnya, ditemukan hadis “انما الاعمال بالنيات “ dapat ditelusuri dari lafal al-a’mal dari ‘ain sebagai huruf awal dari kata dasar al-a’mal. Bisa juga melalui lafal an-niyyat dari huruf nun
sebagai awal dari kata dasarnya yakni nawa. [15]
Metode ini dapat dibantu dengan kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadzi al-Hadits
An-Nabawi, berisi Sembilan kitab
yang paling terkenal di antara kitab-kitab hadis, yaitu: Kutubu Sittah, Muwattha’ Imam Malik, Musnad Ahmad dan Musnad Ad Darimi. Kitab ini disusun oleh
Dr. A.J. Wensink.[16]
Untuk lebih memudahkan pemahaman dalam metode ini,
berikut dikemukakan contoh penelusuran. Mislanya hadis yang diingat adalah
bagian lafal matan yang berbunyi :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ
مُنْكَرًا
Dengan modal lafal munkaran
( منكرا ), maka lafal itu
ditelusuri melalui kamus Al Mu’jam Al-Mufahras li Alfadzi al-Hadits An-Nabawi yang
memuat lafal nakara ( نكر ). Setelah diperoleh,
lalu dicari kata munkaran ( منكرا ).
Dibagian itu ada petunjuk bahwa hadis yang dicari memiliki sumber yang cukup
banyak dalam kitab-kitab hadis, yakni
- Shahih Muslim, pada Kitab Iman, nomor hadis 78
- Sunan Abi Daud, pada Kitab Shalat bab 242; dan Kitab Malahin bab 17
- Sunan at-Tumuzi, Kitab Fitan bab 11
- Sunan an-Nasa’i, Kitab Iman, bab 17
- Sunan Ibni Majah, Kitab Iqamah , bab 155 dan Kitab Fitan bab 20
- Musnad Ahmad bin Hanbal, juz III halaman 10, 20, 49 dan 52 .[17]
Apabila akan dilakukan penelitian, maka semua riwayat
yang dikemukakan oleh keenam kitab di atas perlu dikutip secara cermat. Tentu
saja untuk menghindari adanya riwayat yang tidak tercakup, kegiatan takhrij dengan mengacu kepada
lafal-lafal yang lain yang terdapat
dalam matan yang sama perlu
dilakukan.
3.
Takhrij menurut perawi hadis pertama
Takhrij berdasarkan perawi paling
atas (yang pertama), yakni menelusuri hadis dengan cara terlebih dahulu harus
mengetahui perawi paling atas dari hadis tersebut. Terkadang dari kalangan
sahabat jika hadis tersebut muttasil
atau dari kalangan tabi’in jika jika hadis mursal.
Jika terdapat hadis yang tidak disebutkan perawi atasnya, maka dapat ditelusuri
dengan cara lain. Para penyusun
kitab-kitab takhrij dengan metode ini
mencantumkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh setiap perawi pertama, sahabat
atau tabi’in. sebagai langkah awal ialah
mengenal terlebih dahulu perawi pertama setiap hadis yang akan kita takhrij melalui kitab-kitabnya. Langkah
selanjutnya mencari nama perawi pertama tersebut dalam kitab-kitab itu, dan
kemudian mencari hadis yang kita inginkan diantara hadis-hadis yang tertera dibawah
nama perawi pertamanya itu. Bila kita telah menemukannya, maka kita akan
mengetahui pula ulama hadis yang meriwayatkannya[18]
Pada garis besarnya kitab-kitab takhrij yang disusun berdsarkan metode ketiga ini terbagi dua
bagian yaitu:
1.
Kitab-kitab al-Athraf diantaranya:
a.
Athraaf al-Shahihain, karangan al-Hafizh
Imam Abu Mas’ud Ibrahim bin Muhammad bin ‘Ubaid al-Dimasyqy wafat tahun 400 H.
b.
Atraaaf al-Shahihain, Karangan al-Hafizh Imam Khalaf bin Hamadun
al-Washithy wafat tahun 401 H.
c.
Athraaf al-Kutub al-Sittah, karangan
al-Hafizh Syamsuddin abu al-Fadhly
Muhammad bin Thahir bin Ahmad al-Maqdisi, dikenal dengan nama ibnu al-Qaysarany
wafat tahun 507 H.
2.
Kitab-kitab Musnad diantaranya:
a.
Musnad Ahmad bin Hanbal
b.
Musnad Al-Humaidy
c.
Musnad Abi Daud al-Thayaalisi
d.
Musnad al-Bukhari al-Kabir
e.
Al-Musnad al-Kabir ‘Ala al-Rijaal li Muslim bin al-Hajjaj[19]
4.
Takhrij menurut tema hadis
Cara mentakhrij hadis melalui pengenalan tema ini dapat dipakai oleh mereka
yang banyak mengusai matan hadis dan
kandungannya. Terdapat banyak kitab yang mentakhrij
hadis dengan cara ini, yang pada garis besarnya terdapat pada tiga bagian,
yakni : Pertama, kitab-kitab yang
memuat seluruh bab dan topik ilmu agama. Kitab seperti ini banyak sekali, di
antaranya kitab al-Jawami, al-Mustakhrajah,
al-Mustadrakah ‘ala al-Jawami’, al-Majami’, az-Zawaid, dan Miftah Kunuz
as-Sunnah. Kedua, kitab-kitab
yang memuat banyak bab atau topik, akan tetapi tidak mencakup seluruh bab
secara lengkap, seperti kitab-kitab as-Sunan
al-Muwaththa’ah, dan al-Mustakhrajah
‘ala as-Sunan. Ketiga, kitab-kitab
yang hanya membahas bab atau topik-topik khusus, seperti kitab at-Tarhib, at-Targip, al-Akhlak, dan
al-Ahkam.
Kitab miftah Kunuz as-Sunnah yang disusun oleh Muhammad fuad Abd al-baqi merujuk kepada 14 kitab, yaitu : Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, sunan abu Daud., Jami’at-Turmudzi, Sunan an-Nasa’I, Sunan Ibn Majah, sunan Ibn Malik, Musnad Ahmad, Musnad Abu Daud ath-Thayalisi, Sunan ad-Darimi, Musnad Zaid bin Ali, sirah Ibn hisyam, Magazi al-waqidi, dan thabaqah Ibn Sa’ad. [20]
Kitab miftah Kunuz as-Sunnah yang disusun oleh Muhammad fuad Abd al-baqi merujuk kepada 14 kitab, yaitu : Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, sunan abu Daud., Jami’at-Turmudzi, Sunan an-Nasa’I, Sunan Ibn Majah, sunan Ibn Malik, Musnad Ahmad, Musnad Abu Daud ath-Thayalisi, Sunan ad-Darimi, Musnad Zaid bin Ali, sirah Ibn hisyam, Magazi al-waqidi, dan thabaqah Ibn Sa’ad. [20]
Cara penelusuran hadis dengan metode ini banyak dibantu
dengan kitab Miftah Kunuz As Sunnah
yang disusun oleh Dr. A.J. Wensink yang berisi daftar isi hadis yang disusun
berdasarkan judul-judul pembahasan. Kitab ini mencakup daftar isi untuk 14 kitab hadis yang terkenal yaitu : kesembilan
macam kitab yang menjadi rukan mu’jam (Kutubu
Tis’ah) ditambah lagi dengan Musnad
Zaid bin ‘Ali, Musnad Aib Daud at-Tayalisi, Thabaqat ibn Sa’ad , Sirah ibn Hisyam dan Maqazi al-Waqidi. [21]
Data yang dimuat oleh kitab Miftah
Kunuz As Sunnah tersebut memang
sering tidak lengkap begitu juga topik yang dikemukakannya. Walaupun begitu
kitab kamus tersebut cukup membantu untuk melakukan kegiatan takhrij hadis berdasarkan topik masalah.
Untuk melengkapi data yang dikemukakan oleh kitab kamus itu, dapat diapakai
sejumlah kitab himpunan hadis yag disusun berdasarkan topik masalah mislanya Muntakhab Kanzil ‘Ummah susunan ‘Ali bin
Hisam ad-Din al-Mutqi, yang kitab rujukannya lebih dari 20
macam kitab.[22]
5.
Takhrij menurut klasifikasi jenis hadis
Takhrij berdasakan klasifikasi jenis
hadis atau biasa juga disebut dengan takhrij
berdasarkan sifat lahir hadis. Cara
penelusuran ini dilakukan misalnya pada hadis mutawatir (diriwayatkan oleh sejumlah orang pada setiap tingkat sanadnya), qudsi (maknanya berasal dari Allah sedangkan lafalnya dari Nabi
SAW), masyhur (diriwayatkan oleh tiga
orang atau lebih, tetapi belum mencapai derajat mutawatair), mursal (diriwayatkan langsung dari
tabi’in), dan maudu’ (hadis palsu). [23]
Dengan demikian dapat dipahami metode ini adalah metode
yang mengetangahkan suatu hal yang baru berkenaan dengan upaya para ulama yang
telah mnyusun kumpulan hadis-hadis berdasarkan status hadis. Kitab-kitab
sejenis ini sangat membantu sekali dalam proses pencarian hadis berdasarkan
statusnya, seperti hadis-hadis Qudsi,
hadis-hadis Masyhur, hadis-hadis Mursal dan lain-lain. Dengan membuka kitab-kitab hadis- seperti ini
berarti kita telah melakukan takhrij.
[24]
Kitab-kitab yang
disusun menurut metode ini diantaranya:
1.
Hadis-hadis mutawatir seperti :
al-Azharu al Mutanatsirah fi al
ahbari Mutawatirah karangan Suyuthi
2.
Hadis-hadis masyhur seperti: al Maqashidu al-Hasanah karangan Sakhawi
3.
Hadis-hadis qudsi seperti: al
Ittihafatu al Saniyyatu fi al Ahaditsu al-Qudsiyyah karangan al-Madani
4.
Hadis-hadis mursal seperti: al Maraasilu karangan Abu
Daud [25]
D. Tujuan dan Manfaat Takhrij al-Hadtis
Takhrij al-hadits bertujuan untuk
menunjukkan sumber hadis-hadis yang menerangkan ditolak atau diterimanya
hadis-hadis tersebut. Sedangkan manfaat dalam melakukan takhrij al-hadits banyak
sekali. Ada beberapa manfaat dari takhrij
al-hadis antara lain sebagai
berikut :
1. Memberikan informasi bahwa suatu hadis termasuk
hadis shahih, hasan, ataupun dla’if, setelah
diadakan penelitian dari segi matan ataupun
sanadnya.
- Memberikan kemudahan kepada orang yang mau mengamalkan setelah tahu bahwa suatu hadis adalah hadis makbul (dapat diterima). Dan sebaliknya tidak mengamalkannya apabila diketahui bahwa suatu hadits adalah mardud (tertolak).
- Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadis adalah benar-benar berasal dari Rasulullah Saw. yang harus kita ikuti kerena adanya bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadis tersebut, baik dari segi sanad maupun matan. [26]
Bagi hadis-hadis yang ditakhrij dari dua kitab shahih mempunyai faedah yang banyak di
antaranya yang paling penting, yaitu: Tingginya derajat isnad, bertambah derajat kesahihannya, dan Kuatnya sebuah hadis karena banyak jalan
periwayatan hadis. [27]
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qadir bin Abdul Hadi, Abu Muhammad Abdul Mahdi .Tharqu Tahriju Hadis Rasulullah
Shallallahu Alihi Wasallam, ter. H.S. Agil Husain Munawwar dan H. Ahmad
Rifqi Muchtar, Metode Takhrij Hadis, Cet.I;
Semarang: Dina Utama, 1994
Ahmad, Arifuddin.
Paradigam Baru Dalam Memahami
Hadis Nabi Cet. I; Jakarta: Inti
Media dan Insan Cemerlang, 2002
Ahmad, Muhammad, H., Mudzakir,
M., 1998, Ulumul Hadits untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK, Bandung, CV. Pustaka Setia, 1998
Ismail, M. Suhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Cet.I ;Jakarta: Bulan Bintang ,
1992
Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu Hadis, Cet.II ;Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2002
Al-Qaththan, Manna’. Mabahis
fii Ulum al-Hadis,terj. Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Cet. IV; Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2009
Rahman, Fatchur, Ikhtishar Mushthalahul
Hadits, Bandung, PT. Al-Ma’arif, 1979
Ash Shiddiqy, M.
Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Cet.10; Jakarta: Bulan Bintng,
1991
Sulaiman PL, H.M. Noor Antologi Ilmu Hadis, Cet.
II; Jakarta: Gaung PersadaPress Jakarta, 2009
Thahhan, Mahmud, Taisir
Mushthalahul Hadits, Bairut
: PT. Dar Ats-Tsaqafah
Al-Islamiyyah, 1980
Wensink, A.J. Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadzi
al-Hadits An-Nabawi Leiden E,J.
Brill, 1936.
[1]H. Ahmad, Muhammad, dan M. Mudzakir, Ulumul Hadits untuk Fakultas Tarbiyah
Komponen MKDK, (Bandung.: CV. Pustaka Setia, 1998),
h. 131
[2]Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, (Cet.II ;Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002), h.
244
[4] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Cet.I ;Jakarta: Bulan Bintang ,
1992), h. 41-42
[5] M. Hasbi Ash Shiddiqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadis, (Cet.10; Jakarta: Bulan Bintng, 1991)., h. 194.
[7]Arifuddin Ahmad, Paradigam Baru Memahami Hadis Nabi (Cet. II; Ciputat : MSCC, 2005), h. 68
[8]Manna’ Al-Qaththan, Mabahis fii Ulum al-Hadis,terj. Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis, (Cet. IV;
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009), h.
189
[9]Dikutip dari, http://www.tipskom.co.cc/2009/09/ringkasan-makalah-takhrijul-hadits.html
[10] M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 19
[11]H.M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadis, (Cet.
II; Jakarta: Gaung PersadaPress Jakarta, 2009), h. 158
[12] Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir
bin Abdul Hadi, Tharqu Tahriju Hadis Rasulullah Shallallahu Alihi Wasallam, ter.
H.S. Agil Husain Munawwar dan H. Ahmad Rifqi Muchtar, Metode Takhrij Hadis, (Cet.I; Semarang: Dina Utama, 1994), h. 15
[13]Dikutip dari, Dikutip dari, http://www.tipskom.co.cc/2009/09/ringkasan-makalah-takhrijul-hadits.html
[14]Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir
bin Abdul Hadi, Op. Cit.,h. 18
[15]Dikutip dari, Dikutip dari, http://www.tipskom.co.cc/2009/09/ringkasan-makalah-takhrijul-hadits.html
[16] Manna’ Al-Qaththan, op. ci.t, h. 192
[17] A.J. Wensink, Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadzi al-Hadits An-Nabawi (Leiden E,J. Brill, 1936) Juz VI, h. 558
[18]Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir
bin Abdul Hadi , op. cit., h. 78
[20] M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 49
[23]Dikutip dari, Dikutip dari, http://www.tipskom.co.cc/2009/09/ringkasan-makalah-takhrijul-hadits.html
[25] Ibid.,
h. 196
[27]Lihat, Mahmud Thalhan, , Taisir Mushthalahul Hadits, (Bairut
: PT. Dar Ats-Tsaqafah Al-Islamiyyah,
1980), h. 42
My Blog List