- Back to Home »
- Ulumul Hadis »
- Hadits/Sunnah
Posted by : LaSaro'
Senin, 28 Januari 2013
Hadits dan Sunnah
A. Pengertian
Ada beberapa pengertian yang telah dikemukan oleh para ahli,
baik dari bahasa maupun istilah, diantaranya adalah :
a.
Hadist lawan
dari kata qadim,[1]
yaitu adanya sesuatu yang sebelumnya tidak ada, misalnya ungkapan yang
mengatakan bahwa segala sesuatu selain Allah adalah makhluk dan makhluk itu
adalah hadist.
b.
Hadist adalah
sesuatu yang baru.[2]
c.
Hadist adalah
berita, baik sedikit ataupun banyak [3]
misalnya firman Allah dalam QS. al-Ghasiyah (88):1 “Sudah datang kepaadamu
berita tentang hari pembalasan?.”
Ar-Razy
menyatakan bahwa kata sunnah berarti:
a.
Metode atau
jalan,[4] baik itu jalan yang terpuji ataupun jalan
yang tercela seperti pernyataan Rasulullah saw.
“Siapa yang membaut jalan yang terbaik dalam Islam dan diamalkan
oleh orang setelahnya maka dituliskan baginya pahala seperti pahala orang yang
melakukan setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit juapun. Dan siapa
yang membuat satu jalan yang tidak baik dalam Islam dan diikuti oleh orang
setelahnya, maka dituliskan baginya dosa seperti dosa oaring yang melakukan
setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka.” (Diriwayatkan oleh Muslim).
b.
Perjanan hidup.
[5]
Seperti ucapan Kahlid bin Utbah:
“Maka engkau merasa cemas terhadap perjanan hidup yang telah engkau
lalui, karena pertama merasa puas terhadap perjalanan hidupnya adalahh orang
yang menjalaninnya.”
c.
Penjelasan.[6]
Misalnya sannnalahu ahkama li an-Nasi, maksudnya adalah Allah menjellaskan
hukum-hukumnya kepada manusia.
d.
Contoh yang
dipedomani dan iman yang diikuti.
e.
Umat, tabiat,
wajah, hukum-hukum Allah, perintah dan larangannya.
Ismail
mengemukakan bahwa kata istilah adalah kesepekatan sekelompok orang untuk
menggunakan satu lafaz, kata atau kelompok kata dalam makna tertentu di luar
yang diletakkan pada kata tersebut pada asalnya.[7]
Syuhudi Ismail mengemukakan bahwa hadist adalah segala sabda, perbuatan,
taqrir, dan hal ikhwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Selanjutnya
sunnah dari segi syara’ adalah al-Quran dan sunnah.
Kata
hadist dengan berbagia derivasinya disebutkan di dalam al-Quran sebanyak 36
kali dengan berbagai artii, diantaranya: berita secara umum QS. al-Ghasiyah
(88:1), pembicaraan QS. an-Nisaa (3:140), cerita QS. Taha (20:9), bahkan kata
hadist juga ada yang berarti al-Quran QS. al-Waqi’ah (56:81). Selanjutnya kata
sunnah baik dalam bentuk tunggal ataupun dalam bentuk plural disebutkan dalam
al-Quran sebanyak 16 kali. Peynebutran kata sunnah tersebut ada yang
disandarkan kepada Allah swt. Dan ada yang disandarkan kepada makhluk-Nya.
Dengan
demikian kata sunnah yang disandarkan kedapa makhluk, ada yang disandarkan
kepada oaring-orang yang saleh dan ada juga yang disandarkan kepada para
penentang agama Allah.
B. Sinonim
Al-Qasimi
menyatakan bahwa hadist menurut para muhaddisin adalah sinonim dengan khabar
dan atsar yang menunjukkan makna sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. baik
yang berupa perkataan, taqrir, ataupun sifat.[8] Selanjutnya Ibnu Hajar mengemukakan bahwa
hadist adalah apa yang bersumber dari nabi sedangkan khabar adalah apa yang
bersumber selain nabi. Sehingga berdasarkan perbedaan ini, maka ulama yang
banyak berkecimpun dalam bidang sejarah dan semacamnya dinamakan akhbari,
sedangkan orang yang banyak mempelajari sunnah nabi dinamkan muhaddis.
Namun
adapula yang membedakan antara hadist dan kabar dengan mengatakan bahwa
hubungan antara keduanya adalah umum dan khsus secara mutlak, dalam arti semua
hadist adalah khabar sementara sebaliknya tidak seperti itu.[9]
Selanjutnya Fathur Rahman mengemukakan bahwa atsar itu ialah yang datang dari
sahabat, tabi’in, dan orang-orang sesuadahnya, juga ada pendapat yang menatakan
bahwa istlah atsar itu lebih umum penggunaannya dari pada istilah hadist dan
khabar Karena istilah atsar itu mencakup segala berita dan perilaku para
sahabat, tabi’in dan selanjutnya.[10]
C. Pandangan Ulama
Menurut
al-Jazairy mengemukakan pengertian hadist adalah perkataan-perkataan Nabi
saw dan perbuatan-perbuatannya, termasuk
bagian dari perbuatan adalah taqrir yakni tidak adanya penolakan beliau
terhadap sesuatu hal yang dilihat atau disampaikan kepada beliau dari orang
tunduk kepada ketentuan syar’i.[11]
Sebagian ulam amenggolongkan bahwa semua yang disandarkan kepada nabi adalah
hadist. Dengan demikian maka hadist adalah perkataan-perkataan nabi, perbuatan,
dan keadaan-keadaanya. Pengertian ini beliau sandarkan kepada para ulama hadist.[12]
Ibnu
Hajar, at-Thiby (as-Suyuthi, 1996) mengemukakan bahwa term hadist bersifat umum
yaitu mencakup perbuatan nabi, sahabat, dan tabi’in perbuatan, dan perkataan
mereka.[13]
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa kata hadist nabi jiaka dipergunakan secara lepas
dimakudkan kepada apa yang diceritakan dari nabi setelah kenabian, baik itu
ucapan, perbuatan, dan ketetapan.[14]
Berdasarkan
definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama, maka ada tiga hal yang menjadi
perbedaan mereka dalam mendefinisikan hadist adalah sebagai berikut:
a.
Subyek hadist;
apakah hadist hanya terbatas pada apa yang disanndarkan kepada nabi saja
ataukah hadist juga mencakup pada apa yang disandarakan selain nabi seperti
sahabat atau tabi’in.
b.
Obyek hadist;
apakah hadist hanya terbatas pada perkataan, perbuatan, dan ketetapan saja
ataukah hadist juga mencakup keadaan dan sifat.
c.
Periode atau
masa hadist; apakah hadist hanya terbatas pada apa yang disampaikan setelah
Muhammad saw. dingkat menjadi nabi, ataukah juga meliputi apa yyang disandarkan
sebelum beliau diangkat menjadi nabi.
Menurut
istilah ahli hadist sunnah adalah semua
yang bersumber dari nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan,
sifat-sifat fisik atau psikis dan sirah baik sebelum pengangkatan beliau
menjadi nabi ataupun sesudahnya. Dengan demikian sunnah menurut mereka sinonim
dengan hadist. Selanjutnya menurut Ushuliyyun sunnah adalah apa yang dinukilkan
dari nabi baik perkataan, perbuatan, ataupun ketetapan. [15]
Sunnah
terkadang juga dimaksudkan untuk menunjukan sesuatu yang mempunyai landasan
atau dalil syar’i, baik dalil itu terdapat dalam al-Quran atau bersumber
dari nabi, bahkan merupakan ijtihad dari para sahabat, seperti penggunaan
mushaf dan perintah untuk membaca al-Quran dengan qiraah yang sama. Imam
Malik ra. ketika beliau ditanya tentang sunnah, maka beliau mengatakan yaitu
semua yang tidak mempunyai nama selain sunnah, kemudian beliau membaca ayat:[16]Wa
Anna Hazaa Shiraathiy Mustaqiymaa fattabihu walaatattabiuus subula fatafarraqa
bikum an sabilihi (QS.6:153).
"Dan.bahwa yang kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang
lurus, maka ikutilah dia, dan janganlahengkau mengikuit jalan-jalan yang lain,
karena jalan-jalan itu rnenceraikan kamu dari jalannya.” (QS. al-An’am: 153)
Perbedaan para ulama dalam mendefinisikan
sunnah tersebut disebabkan perbedaan tujuan yang ingin dicapai. Ketika para ulama
hadis mempelajari tentang pribadi Rasulullah saw sebagai seorang imam, yang seperti
diberitakan oleh Allah, diutus ke dunia ini sebagai contoh dan teladan uswah
dan quduwah. maka mereka berupaya untuk meriwayatkan semua hal yang berkaitan
dengan beliau baik itu sirah, akhlak, sifat-sifat fisik, berita-berita, perkataan-perkataan,
perbuatan-perbuatan, baik yang memberikan konsekuensi hukum syar'I ataupun yang
tidak.
Demikian halnya ulama ushul
mempelajari pribadi Rasulullah saw sebagai pembuat hukum syar'i atau musyri'
yang meletakkan kaidah-kaidah bagi para mujtahid sesudahnya, menjelaskan kepada
manusia aturan-aturan hidup, sehingga mereka memberikan perhatian terhadap
perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, dan ketetapan-ketetapan rasul yang
mempunyai konsekuensi hukum dan menetapkannya. Di sisi lain, ulama fikih lebih memfokuskan bahasan mereka
tentang nabi sebagai manusia yang segala aspek dan tingkah lakunya tidak
terlepas dari indikasi terhadap sesuatu hukum, sehingga mereka lebih memfokuskan
bahasan mereka dalam aspek hukum terhadap perbuatan manusia baik yang bersifat
wajib, haram, mubah, dan lain-lain.[17]
Berdasarkan pada uraian di atas, maka
dapat disirnpulkan bahwa perbedaan ulama dalan mendefinisikan sunnah
sesungguhnya bukanlah perbedaan yang sebenarnya atau ikhtilaf hakiki, tetapi
hanyalah perbedaan cara pengungkapan karena perbedaan sudut pandang atau seperti
yang dikernukakan oleh al-Jazairy ikhtlaf al-ibrat li ikhtilaf al-i’tibarat.[18]
Dengan dernikian kata hadis dan sunnah
dikalangan ulama umunya ulama hadis mengidentikkan di antara keduanya. Meskipun
pada kenyataannya ketika kita mencermati penggunaan keduanva menunjukkan adanva
beberapa perbedaan sebagai berikut:
a.
Hadis adalah
segala yang diceritakan atau diberitakan dari Rasulullah saw. Sunnah, baik dia
ceritakan ataupun tidak, adalah sesuatu yang telah bisa dikerjakan oleh para muslimin
sejak dahulu dan tidaklah selalu sunnah itu sesuai denganh hadis.[19]
Ringkasannya menurut Hasby ash-Shiddiqy’ hadis adalah ‘ilmiyyun nawadhirrun =
berita yang merupakan pengetahuan lagi
merupakan kunci.’[20]
b.
Hadis lebih
banyak digunakan dikarangan ahli hadis, sedangkan sunnah lebih banyak dijumpai
dikalangan para ulama ushul dan ulama fikhi..
c. Hadis merupakan registrasi dari
sunnah yang diriwayatkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
D. Perbedaan Hadis Nabi, Hadis
Qudsi,dan al-Qur’an
Subhi Shalih mengernukan bahwa hadis
nabi (biasa) adalah ucapan yang disandarkan secara langsung kepada beliau.[21] Menurut
Fahur Rahman bahwa hadis qutsi adalah sesuatu yang dikabarkan Allah ta'ala kepada
Nabi-Nya dengan melalui ilham atau impian, yang kemudian Nabi menyampaikan makna
dari ilham atau impian tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri.[22]
Selanjutnya Gufron menyatakan bahwa
hadis qudsi (hadis suci) merupakan perkataanTuhan melalui lisan nabi Muhammad saw,
sebagai pelengkap wahyu yang diturunkan kepadanya.[23] Sedangkan al-Quran merupakan kalam Ilahi yang
diturunkan kepada Nabi Muhamad saw. dan tertulis dalam mushaf berdasarkan sumber-sumber
mutawatir yang bersifat pasti kebenarannya dan yang dibaca umat Islam dalam rangka
ibadah.[24]
Perbedaan hadis nabi dengan hadis qudsi
adalah hadis qudsi biasanya diberi ciri-ciri dengan dibubuhi kalimat-kalmat qaala
(yaquulu) Allahu, fima yarwihi, anillahi tabaraka wata'ala, dan lapadh
lapadh lain yang semakna dengan apa yang tersebut. Selanjutnya perbedaan hadis
qudsi dengan hadis nabi yaitu hadis qudsi kalimat yang biasa digunakan seperti Rasulullah
saw. bersabda meriwayatkan apa yang beliau terima dari Tuhannya dan kalimat Allah
Ta'ala berfirman seperti yang telah diceritakan oleh Rasulullah saw. sedangkan hadis
nabi tidak ada tanda-tanda yang demikian.
Abu al-Baqa' dalam (Subhi Shalih)
menyatakan sesungguhnya al-Quran itu lafaz dan maknanya dari sisi Allah melalui
wahyu yang jelas. Adapun hadis qudsi, lafaznya dari Rasulullah saw. sedangkan maknanya
dari Allah lewat ilham atau mimpi.[25]
Perbedaan hadis qudsi dengan al-Quran
adalah sebagai berikut:
a.
Semua lafaz
ayat al-Quran adalah mu'jizat dan mutawatir, sedang hadis qudsi tidak demikian halnya.
b.
Ketentuan
hukumnya yang berlaku bagi al-Quran tidak berlaku bagia al-Hadis, 'seperti
pantangan menyentuhnya bagi orang yang sedang berhadats kecil, dan pantangan
membacanya bagi orang yang berhadas besar. Sedang untuk hadis qudsi tidak ada
pantangannya.
c.
Setiap huruf
yang dibaca dari al-Quran memberikan hak pahala kepada pembacanya sepuluh kebaikan.
d.
Meriwayatkan
al-Quran tidak boleh dengan maknanya saja atau mengganti lafaz sinonimnya, berlainan
dengan al-Hadis.[26]
DAFTAR PUSTAKA
Abdil Hadi, Abdul Muhdi bin Abdil Kadir bin, al-Madkhal ila
as-Sunnah an-Nahawiyah t.cet; Cairo: Dar al-I’tisam,1998
Abu Guddah, Abd. Al-Fattah. Lamhat min Tarikh as-Sunnah wa Ulum
al-Hadits Cet.IV; Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyya, 1417 H.
Ibnu Hajar, Ahmad bin Ali bin Muhammad, Nushah an Nazar (Cet.I;
Cairo: ad-Dar ats-Tsaqafiyyah, 1998
Ibnu Manzur, Jamaluddin Muhammad ibnu Mukrim, Lisanul Arab, Jilid
II t.cet. Beirut: Dar al-Fikri,t.th.
Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan
Pemalsunya, Jakarta: Gema Insani Press, 1985.
_________, Kaedah Keshahihan sanad Hadis Telaah Kritis dan
Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang,
1998.
Ismail, Yahya. Ma’a al-Hadis wa Ahlihi wa Naqdihi Cet.I;
Munsyiyah Nasr al-fajr al-Jadid, 1992.
al-Jazairy, Tahir bin Salih bin Ahmad. Taujih an-Nazar ila Ushul
al-Asar t.cet; Beirut: Dar al-Ma’arif, t.th.
al-Katib, Muhammad ajjaj. Ushul al-Hadis ‘Ulumuh wa
Musthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr 1395H/1975M.
Mas’adi, Gufron A, Ensiklopedi Islam (ringkas), Ed.I Cet.II;
Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada,1999
Rahman, Fathur.Ihtisar Musthalahu Hadis Cet.I; Bandung:
PT.al-Ma’arif 1974.
ar-Razy, Muhammad bin Abi Bakar bin Abdil Qadir, Mukhtar as-Shalih
Cet t.tp: Dar al-Manar, t.th.
as-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Cet IX;
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
__________, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Cet. V; Pustaka
Firdaus, 2002
_________, Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu, Cet.IX; Beirut Dar
al-Ilmi li al-Malayin, 1997.
as-Shiba’I, Mustafa. As-Sunnah wa Makanatuhu fi at-Tsyri
al-Islamy, Cet.I;Cairo: Dar as-Salam, 1998.
ash-Shiddiqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengatar Ilmu Hadis, Cet.X;
Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
al-Suyuti, Jalal al-Din Abd. al-Rahman bin Abi Bakar. Miftah
al-Jannah fi al-Ihtijaj bi al-Sunnah, Cet.III; al-Madinah al-Munawwarah:
Maktabah al-Rasyid, 1399H/1979M.
________, Tadrib al-Rawi, Juz I t.cet; Beirut: Dar al-Kitab
al-Araby,1996
as-Syafi’I, Muhammad bin Idris. Al-Umm, t.tp: Dar
al-Syaib,t.th.
al-Qardawi, Yusuf. As-Sunnah Masdar li al-Ma’rifah wa
al-Hadharah, Cet.II; Mesir: Dar as-Syuruq,1998.
al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin, Qawaid al-Tahdis min Funun
Mustalah al-Hadis, t.cet; Cairo;Isa al-Halaby,t.th.
[1]
Jamaluddin Muhammad Ibnu Manzur, Lisanul arab, Jilid II (Cet. Bairut:
Dar al- Fikri, t.th), h.134.
[2] Ibid.,h.
133
[3] Ibid.
[4] Muhammad bin Abi Bakar bin Abdil Qadir
ar-Razy, Mukhtar as-Shahih (Cet. T.th: Dar al-Manar, t.th), h. 133
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Yahya Ismail, Ma’a al-Hadist wa Ahlili wa
Naqdihi, (Cet. I, Munsyiyah Nasr al-Fajr al-Jadid, 1992), h. 50.
[8]
Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Qawaid al-Tahdis min Funun Mustalah
al-Hadist, (t.Cet; Cairo: Isa al-Halaby, t.th), h. 61.
[9]
Ahmad bin Ali bin Muhammad Ibnu Hajar, Nuzhah an-Nazar, (Cet. I; Cairo:
ad- Dar As- Tsaqafiyyah, 1998), h. 21
[10] Fathur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul
Hadist, (Cet. I; Bandung PT. al-Ma’arif, 1974), h. 69-70
[11] Tahir bin Saleh bin Ahmad al-Jazairy, Tujih
an-Nazar ila Ushul al-Asar (t. Cet.;
Beirut: Dar al-Ma’arif, t.th), h.2
[12] Ibid
[13] Jalal ad-Din Abd Rahman bin Bakar
as-Suyyuthi, Tadrib ar-Rawi, Juz I
(t. Cet; Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1996), h. 23
[14] Abd al-Fattah Abu Guddah, Lamhat min
tarikh as-Sunnah wa Ulum al-hadist, (Cet. IV; Beirut: Dar al-Basyair
al-Islamiyya, 1417 H), h. 15
[15] Musthafa as-Shiba’i, as-Sunnah wa
Makanatuhu fi at-Tasyri’ al-Islamy, (Cet. I; Cairo: Dar asa-Salam, 1988),h.
57
[16]
Abdul Muhdi bin Abdil Kadir bin abdil
Hadi, al-Madkhal ila as-sunnah an-Nawawiyah (t.cet; Cairo: Dar
al-I’tisham, 1998),h.23.
[17]Musthafa
as-Shiba’I, op.cit.,h.58
[18]
Al-jazairy, op.cit.,h.2
[19] M.
Hasbi ash-Shiddiqy, Sejarah dan pengantar Ilmu Hadits (Cet.X; Jakarta:
Bulan Bintang, 1991),h.36.
[20]
Tertulis ‘ilmiyyun nawadhirrun’ seharusnya ‘ilmiyyun qizaruyyun =
pengetahuan yang bersifat teoretis.’
[22] Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis (Cet. I; Bandung ,
PT. al-Ma’arif, 1974),h.69-70
[23] Gufron A. Mas'adi, Ensiklopedi lslam (ringkas), Ed.l (Cet,
lI; Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada,I 999),h . I I I
[25] Ibid.
[26] Ibid.,h.70
My Blog List