Posted by : LaSaro' Kamis, 10 Januari 2013


I.          PENDAHULUAN
A.          Latar Belakang
Untuk mencerdaskan dan memajukan kehidupan suatu bangsa dan negara sesuai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan maka di adakan suatu proses pendidikan atau suatu prosen belajar yang akan memberikan pengertian, pandangan, dan penyesuayan bagi seseorang atau si terdidik kearah kedewasaan dan kematangan, dengan proses ini maka akan terpengaruh terhadap perkembangan jiwa seseorang anak didik atau peserta dan atau subjek didik kearah yang lebih dinamis baik kearah bakat
atau pengalaman, moral, intelektual maupun fisik (jasmani) menuju kedewasaan dan kematangan tadi, tujuan akhir pendidikan akan terwujud untuk menumbuhkan dan mengembangkan semua potensi si terdidik secara teratur, apa bila prakondisi alamiah dan social manusia memungkinkan, seperti: iklim, makanan, kesehatan, keamanan dan lain sebagainya yang relatif sesuai dengan kebutuhan manusia. Untuk memberikan makna yang lebih jelas dan tegas tentang kedewasaan dan kematangan yang ingin dituju dalam pendidikan apakah kedewasaan yang bersifat biologis, pisikologis, dan sosiologis, maka masalah ini merupakan bidang garapan yang akan dirumuskan oleh filsafat pendidikan.
Disamping itu juga dari pengalaman menunjukan bahwa tidak semua manusia baik potensi jasmaninya maupun potensi rohaninya (pikir, karsa, dan rasa) berkembang sebagai mana yang diharapkan. Oleh karena itu lahirlah pemikiran manusia untuk memberikan afternatif pemecahan masalah terhadap perkembangan manusia.
Apakah yang mempengaruhi perkembangan potensi manusia, dan mana yang paling menentukan dan dengan adanya lembaga-lembaga pendidikan dengan berbagai aktivitasnya telah mampu menumbuhkan dan mengembangkan potensi peserta didik sehingga bermanfaat bagi kehidupan peribadi dan masyarakat sekitar. Dari uraian tadi jelaslah bahwa pendidikan adalah sebagai pelaksanaan dari ide-ide filsapat. Atau dengan perkataan lain bahwa ide filsafat telah memberikan asas sistem nilai dan atau normatif bagi peranan pendidikan yang telah melahirkan lembaga-lembaga pendidikan dan dengan segala aktivitasnya, sehingga dapat dikatakan bahwa filsafat pendidikan sebagai jiwa, pendoman, dan sumber pendorong adanya pendidikan.

B.           Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian-uraian pada latar belakang di atas, maka dapatlah dikemukakan bahwa pokok permasalahan yang menjadi bahasan dalam makalah ini adalah “Bagaimana eksistensialisme, progresivisme, dan  perenialisme dalam aliran filsafat pendidikan”. Permasalahan pokok ini terdiri dari sub masalah sebagai berikut:
1.         Bagaimana aliran eksistensialisme dalam filsafat pendidikan ?
2.         Bagaimana aliran progresivisme dalam filsafat pendidikan ?
3.         Bagaimana aliran perenialisme dalam filsafat pendidikan ?

II-. PEMBAHASAN

A.    Aliran Eksistensialisme
Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan : bagaimana saya hidup di dunia ? Apa pengalaman itu?[1] Secara umum, eksistensialisme menekankn pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Jean Paul Satr  Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich[2]
Istilah eksistensialisme dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman Martin Heidegger (1889-1976). Eksistensialisme adalah merupakan filsafat dan akar metodologinya berasal dari metoda fenomologi yang dikembangkan oleh Hussel (1859-1938). Munculnya eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Kieggard dan Nietzche. Kiergaard Filsafat Jerman (1813-1855), filsafatnya untuk menjawab pertanyaan “Bagaimanakah aku menjadi seorang individu)”. Hal ini terjadi karena pada saat itu terjadi krisis eksistensial (manusia melupakan individualitasnya). Kiergaard menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan. Nitzsche (1844-1900), tujuan filsafatnya adalah untuk menjawab pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia unggul”. Jawabannya manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani[3]
Eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus mendeskripsikan eksistensi dan pengalaman manusia dengan metedologi fenomenologi, atau cara manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi terhadap materialisme dan idealisme. Pendapat materialisme bahwa manusia adalah benda dunia, manusia itu adalah materi , manusia adalah sesuatu yang ada tanpa menjadi Subjek. Pandangan manusia menurut idealisme adalah manusia hanya sebagai subjek atau hanya sebagai suatu kesadaran. Eksistensialisme berkayakinan bahwa paparan manusia harus berpangkalkan eksistensi, sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang kongkrit.
Manusia adalah pencipta esensi dirinya. Dalam kelas guru berperan sebagai fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan membiarkan berbagai bentuk pajanan (exposure) dan jalan untuk dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka kaum eksistensialis menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara utuh, bukan hanya sebagai pembangunan nalar. Sejalan dengan tujuan itu, kurikulum menjadi fleksibel dengan menyajikan sejumlah pilihan untuk dipilih siswa.
Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari sebagian terbesar reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia kedua.[4] Dengan demikian Eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya. Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda dengan filsafat eksistensi. Paham Eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagai arti katanya, yaitu: “filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.”[5] Secara singkat, Kierkegaard memberikan pengertian eksistensialisme adalah suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutlakan rasional.[6] Dengan demikian aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman, dan situasi sejarah yang ia alami, dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak serta spekulatif. Baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan hidupnya.
Atas dasar pandangannya itu, sikap di kalangan kaum Eksistensialisme atau penganut aliran ini seringkali Nampak aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to[7] adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya. Pandangannya tentang prendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam Existentialism and Education, bahwa “Eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk.” [8] Oleh sebab itu Eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan eksistensialisme yang diajukan oleh Morris sebagai “Eksistensialisme’s concept of freedom in education”, menurut Bruce F. Baker, tidak memberikan kejelasan. Barangkali Ivan Illich dengan Deschooling Society, yang banyak mengundang reaksi di kalangan ahli pendidikan, merupakan salah satu model pendidikan yang dikehendikan aliran Eksistensialisme tidak banyak dibicarakan dalam filsafat pendidikan.

B.     Aliran Progresivisme
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progresivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa survive menghadapi semua tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadiaan manusia. Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. Dan dinamakan environmentalisme, Karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu memengaruhi pembinaan kepribadiaan.[9]
Aliran progesivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebaikan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu, filsafat progesivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter.
John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialisasi Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja.
Dengan demikian, sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Karena sekolah adalah bagian dari masyarakat. Dan untuk itu, sekolah harus dapat mengupayakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah itu. Untuk itulah, fisafat progesivisme menghendaki sis pendidikan dengan bentuk belajar “sekolah sambil berbuat” atau learning by doing.
Dengan kata lain akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan dengan baik. Perlu diketahui pula bahwa sekolah tidak hanya berfungsi sebagai pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge), melainkan juga berfungsi sebagai pemindahan nilai-nilai (transfer of value), sehingga anak menjadi terampil dan berintelektual baik secara fisik maupun psikis. Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan.

C.    Aliran Perenialisme
Perennialisme diambil dari kata Perennial, yang dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English diartikan sebagai “Continuing throughout the whole year” atau “Lasting for a very long time” abadi atau kekal. Dari makna yang terkandung dalam kata itu aliran perenialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.  Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktik bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang[10]. Dari pendapat ini diketahui bahwa perenialisme merupakan hasil pemikiran yang memberikan kemungkinan bagi sseorang untuk bersikap tegas dan lurus. Karena itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat, khususnya filsafat pendidikan.
Perennial berarti everlasting, tahan lama atau abadi. Aliran ini mengikuti paham realisme, yang sejalan dengan pemikrian Aristoteles bahwa manusia itu rasional. Sekolah adalah lembaga yang didesain untuk menumbuhkan kecerdasan. Siswa seyogyanya diajari gagasan besar agar mencintainya, sehingga mereka menjadi intelektual sejati. Akar filsafat ini datang dari gagasan besar Plato, Aristoteles dan kemudian dari St. Thomas Aquinas yang sangat berpengaruh pada model-model sekolah Katolik. Kaum perrenialis mendasarkan teorinya pada pandangan universal bahwa semua manusia memiliki sifat esensial sebagai mahluk rasional, jadi tidaklah baik menggiring dan mencocok hidung mereka ke penguasaan keterampilan vokasional. Berbeda dari esensialis, eksperimen saintifik dianggap mengurangi pentingnya kapasitas manusia untuk berpikir. Pelajaran filsafat dengan demikian menjadi penting, agar siswa mampu berpikir mendalam, fleksibel, dan penuh imajinatif.
Perenialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman modern telah menimbulkan banyak krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Untuk mengatasi krisis ini perenialisme memeberikan jalan keluar berupa “kembali kepada kebudayaan masa lampau” regressive road to cultural.[11] Oleh karena itu perenialisme memandang penting peranan pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia zaman modern ini kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan yang telah terpuji ketangguhannya. Sikap kembali kepada masa lampau bukan berarti nostalgia, sikap yang membanggakan kesuksesan dan memulihkan kepercayaan pada nilai-nilai asasi abad silam yang juga diperlukan dalam kehidupan abad modern. Perenialisme adalah gerakan pendidikan yang mempertahankan bahwa nilai-nilai universal itu ada, dan bahwa pendidikan hendaknya merupakan suatu pencarian, penanaman kebenaran-kebenaran dan nilai-nilai tersebut. [12]
Menurut perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif. Jadi, dengan berpikir, maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan. Penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal dan memahami faktor-faktor dan problema yang perlu diselesaikan dan berusaha mengadakan penyelesaian masalahnya.
Diharapkan anak didik mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol seperti bahasa, sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam, dan lain-lainnya, yang telah banyak memberikan sumbangan kepadaperkembangan zaman dulu.
Tugas utama pendidiakn adalah mempersiapkan anak didik kearah kematangan. Matang dalam arti hidup akalnya. Jadi, akal inilah yang perlu mendapat tuntunan kearah kematangan tersebut. Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis, dan berhitung, anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Sekolah, sebagai tempat utama dalam pendidikan, mempesiapkan anak didik kearah kematangan akal dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan tugas utama guru adalah memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan anak dalam bidang akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajar.

II.                P E N U T U P

A.                Kesimpulan
Berangkat dari  pembahasan-pembahasan seperti yang telah diuraikan diatas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut;
1.      Eksistensialime dalam filsafat pendidikan  memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankn pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich
2.      Progresivisme dalam filsafat pendidikan, bukanlah merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak, bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini : George Axtelle, william O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, Frederick C. Neff
3.      Perenialisme dalam filsafat pendidikan merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.
B.                 Saran
Penulis menyadari bahwa masih telalu banyak kesalahan dan kekhilafan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritikan yang sifatnya membangun guna kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Alfiandry, Nafiko. Filsafat Ilmu. Makalah (tidak diterbitkan), Surabaya : Universitas Negeri Surabaya, 2010
Dewey. J. Democracy in Education, Newyork: The Mc Millan Company, 1964
Henderson, Stella  van Petten, Introduction to Philosophy of Education, Chicago: The University of Chicago Press, 1959.
Mudyahardjo, R., Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.
Noor Syam, Moh. Filsafat Pendidikan dan dasar filsafat Kependidikan Pancasila,  Surabaya: Usaha Nasional, 1987
O’neil, F. William,. Ideoligi-Ideologi Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Putra, Eka Darma.  Pancasila, Identitas dan Modernitas, Tinjauan Etis dan Budaya. Jakarta:  PT BPK Gunung Mulia, 1988.
Sadulloh, U. Pengantar Pilsafat Pendidikan, Bandung: Alpabeta, 2004.


[1]http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2128131-beberapa-aliran-dalam-dunia-filsafat/
[4]Fernando R. Molina. The Sources of Eks`  istentialism As Philophys (New Jersey, Prentice-Hall, 1969), h. 1
[5]Fuad Hassan. Kita dan kami  (Jakarta, Bulan Bintang, 1974),  h. 7-8
[6]Paul Roubickzek. Existensialism For and Agiant (Cambridge University Press. 1966), h. 10
[7] Fuad Hassan. op. cit. h. 71
[8] Joe Park. op. cit. h. 128-138
[9]Moh. Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan dasar filsafat Kependidikan Pancasila  (Surabaya: Usaha Nasional, 1987), h. 228-229
[10]Moh. Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan dasar filsafat Kependidikan Pancasila  (Surabaya: Usaha Nasional, 1987), h. 154
[11]Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta, Bumi Aksara. 1995), h. 28
[12]Redja Mudyahardjo. Pengantar Pendidikan (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2008),  h. 164-165



Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

My Blog List

Assalamu Alaikum Warahmatulah Wabarakatuh

Burung

Senoga Bermanfaat-Jangan Lupa Meninggalkan Komentar
Awali Segalanya Dengan "Bismillahir Rahmanir Rahiim" Akan Dapat BerkahNya

Blogroll

Popular Post

Followers

Trsnalate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jadwal Shalat

Download Software Gratis

SMS Gratis

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

- Copyright © 2013 Auliya AS Hamdi Blog -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -