- Back to Home »
- Peradaban Islam »
- Makalah "Dinasti Abbasiyah"
Posted by : LaSaro'
Sabtu, 05 Januari 2013
I.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Nabi
Muhammad saw., setelah resmi diangkat menjadi Rasulullah, menyebarkan ajaran Agama
Islam di Jazirah Arab dengan cara sembunyi-sembunyi, setelah pengikut Agama
Islam telah banyak dari keluarga terdekat Nabi dan sahabat, maka turun perintah
Allah untuk menyebarkan Islam secara terang-terangan. Namun dalam
penyebarannya tidak berjalan mulus, Rasulullah dalam menyebarkan Islam mendapatkan tantangan dari suku Quraisy . Islam disebarkan dan dipertahankan dengan harta dan jiwa oleh para penganutnya yang setia membela Islam meski harus dengan pertumpahan darah dalam peperangan, sehingga Islam dapat berkembang dalam waktu yang relatif singkat.
penyebarannya tidak berjalan mulus, Rasulullah dalam menyebarkan Islam mendapatkan tantangan dari suku Quraisy . Islam disebarkan dan dipertahankan dengan harta dan jiwa oleh para penganutnya yang setia membela Islam meski harus dengan pertumpahan darah dalam peperangan, sehingga Islam dapat berkembang dalam waktu yang relatif singkat.
Sepeninggal
Rasulullah saw., kepemimpinan Islam dipegang oleh Khulafā’ al-Rāsyidīn. Pada masa ini Islam mengalami kemajuan yang
sangat pesat, bahkan telah meluas ke seluruh
Wilayah Arab. Meskipun Islam telah
berkembang pada masa ini, namun juga
banyak mendapat tantangan dari luar dan dalam Islam sendiri. Seperti pada masa
khalifah Ali bin Abi Thalib banyak terjadi pemberontakan di daerah hingga
terjadi perang saudara. Salah satu perang dimasa Ali bin Abi Thalib ialah peperangan
antara Muawiyah dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang menghasilkan abitrase,
sehingga Muawiyah menggantikan posisi Ali bin Abi Thalib. Dampak yang
ditimbulkan dari abitrase ini adalah pengikut
Ali bin Abi Thalib bersepakat untuk membunuh Ali bin Abi Thalib dan
Muawiyah karena dianggap telah kafir dan halal dibunuh. Dalam rencana
pembunuhan ini, hanya Ali bin Abi Thalib yang berhasil dibunuh.
Berakhirlah
masa Khulafā’ al-Rāsyidīn dan digantikan
oleh pemerintahan Dinasti Umayyah dibawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sofyan.
Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, Islam semakin berkembang dalam segala
aspek hingga perluasan daerah kekuasaan.
Setelah
pemerintahan Dinasti Umayyah berakhir, maka pemerintahan Islam digantikan oleh
pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti kedua dalam
sejarah pemerintahan Umat Islam. Abbasiyah dinisbatkan kepada al-Abbas paman
Nabi Muhammad saw. Dinasti ini berdiri sebagai bentuk dukungan terhadap pandangan
yang diserukan oleh Bani Hasyim setelah wafat Rasulullah saw., yaitu menyandarkan khilāfah kepada keluarga Rasulullah dan
kerabatnya.
B. Rumusan
Masalah
Berangkat
dari uraian pada latar belakang di atas, maka penulis menetapkan rumusan
permasalahan yang menjadi inti pembahasan dalam makalah ini, yakni sebagai
berikut :
1. Bagaimana
proses kelahiran Dinasti Abbasiyah ?
2. Bagaimana
kemajuan-kemajuan Islam yang dicapai pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah ?
3. Apa yang
menjadi penyebab kemunduran Dinasti Abbasiyah ?
4. Dinasti kecil apa saja yang muncul di barat
dan di timur ?
II.
PEMBAHASAN
A. Lahirnya
Dinasti Abbasiyah
Dinasti
Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah
ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun
132 H. (750 M.) s. d. 656 H. (1258 M.). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan
yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan
budaya.[1]
Pada
masa pemerintahan Dinasti Umayyah, Bani
Abbas telah melakukan usaha perebutan kekuasaan, Bani Abbas telah mulai
melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa khalifah Umar bin Abdul Aziz
(717-720 M) berkuasa. Khalifah itu
dikenal liberal dan memberikan toleransi kepada kegiatan keluarga Syi’ah.
Gerakan itu didahului oleh saudara-saudara dari Bani Abbas, seperti Ali bin
Abdullah bin Abbas, Muhammad serta Ibrahim al-Imam, yang semuanya mengalami
kegagalan, meskipun belum melakukan gerakan yang bersifat politik. Sementara
itu, Ibrahim meninggal dalam penjara karena tertangkap, setelah menjalani
hukuman kurungan karena melakukan gerakan makar. Barulah usaha perlawanan itu
berhasil ditangan Abu Abbas, setelah melakukan pembantaian terhadap seluruh
Bani Umayyah, termasuk khalifah Marwan II yang sedang berkuasa.[2]
Bani Abbasiyah
merasa lebih berhak daripada Bani Umayyah atas kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah dari cabang Bani Hasyim
yang secara nasab lebih dekat dengan
Nabi saw.. Menurut mereka, orang Bani Umayyah
secara paksa menguasai khalifah melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu,
untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa,
melakukan pemberontakan terhadap Bani Umayyah.[3]
Pergantian
kekuasaan Dinasti Umayyah oleh Dinasti Abbasiyah diwarnai dengan pertumpahan
darah. Meskipun kedua dinasti ini berlatar belakang beragama Islam, akan tetapi
dalam pergantian posisi pemerintahan melalui perlawanan yang panjang dalam
sejarah Islam.
Disebut
dalam sejarah bahwa berdirinya Bani Abbasiyah, menjelang berakhirnya Bani Umayyah
I, terjadi bermacam-macam kekacauan yang antara lain disebabkan:
1. Penindasan
yang terus menerus terhadap pengikut Ali dan Bani Hasyim pada umumnya.
2. Merendahkan
kaum Muslimin yang bukan Bangsa Arab sehingga mereka tidak diberi kesempatan
dalam pemerintahan.
3. Pelanggaran
terhadap Ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara terang-terangan.[4]
Oleh
karena itu, logis kalau Bani Hasyim mencari jalan keluar dengan mendirikan gerakan
rahasia untuk menumbangkan Bani Umayyah. Gerakan ini menghimpun;
a) Keturunan
Ali (Alawiyin) pemimpinnya Abu Salamah;
b) Keturunan
Abbas (Abbasiyah) pemimpinnya Ibrahim
al-Iman;
c) Keurunan
bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim al-Khurasany. [5]
Mereka
memusatkan kegiatannya di Khurasan. Dengan usaha ini, pada tahun 132 H./750 M.
tumbanglah Bani Umayyah dengan terbunuhnya Marwan ibn Muhammad, khalifah terakhir Bani Umaiyah. Atas
pembunuhan Marwan, mulailah berdiri Daulah Abbasiyah dengan diangkatnya khalifah
yang pertama, yaitu Abdullah ibn Muhammad, dengan gelar Abu al-Abbas al-Saffah,
pada tahun 132-136 H./750-754 M.[6]
Pada
awal kekhalifahan Bani Abbasiyah menggunakan Kuffah sebagai pusat pemerintahan, dengan Abu al-Saffah
(750-754 M) sebagai Khalifah pertama. Khalifah penggantinya, Abu Ja’far al-Mansur
(754-775 M.) memindahkan pusat pemerintahan ke Bagdad. Daulah Abbasiyah
mengalami pergeseran dalam mengembangkan pemerintahan, sehingga dapatlah
dikelompokkan masa Bani Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan dengan corak
pemerintahan. Sedangkan menurut asal-usul penguasa selama masa 508 tahun Bani Abbasiyah
mengalami tiga kali pergantian penguasa, yakni Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Seljuk.
Adapun rincian susunan penguasa pemerintahan Bani Abbasiyah adalah sebagai
berikut:
a. Bani
Abbas (750-932 M.)
1)
Khalifah Abu Abas al-Saffah (750-754 M.)
2)
Khalifah Abu Jakfar al-Mansur (754-775 M.)
3)
Khalifah al-Mahdi (775-785 M.)
4)
Khalifah al Hadi (775-776 M.)
5)
Khalifah Harun al-Rasyid (776-809 M.)
6)
Khalifah al-Amin (809-813 M.)
7)
Khalifah al-Makmun (813-633 M.)
8)
Khalifdah al-Mu’tasim (833-842 M.)
9)
Khalifah al-Wasiq ( 842-847 M.)
10) Khalifah
al-Mutawakkil (847-861 M.)
b. Bani Buwaihi (932-107 5M.)
1) Khalifah
al-Kahir (932-934 M.)
2) Khalifah
al-Radi (934-940 M.)
3) Khalifah
al-Mustaqi (943-944 M.)
4) Khalifah
al-Muktakfi (944-946 M.)
5) Khalifal
al-Mufi (946-974 M.)
c. Bani
Saljuk
1) Khalifah
al-Muktadi (1075-1048 M.)
2) Khalifah
al-Mustazhir (1074-1118 M.)
3) Khalifah
al-Mustasid (1118-1135 M.) [7]
Abu
Su’ud[8]
dalam bukunya mengemuakakan bahwa pemerintahan Bani Abbasiyah dibagi ke dalam
lima periode, yakni :
a.
Periode
Pertama (750-847 M)
Pada periode
awal pemerintahan Dinasti Abasiyah masih menekankan pada kebijakan perluasan
daerah. Kalau dasar-dasar pemerintahan Bani Abasiyah ini telah diletakkan dan
dibangun oleh Abu Abbas al-Saffah dan Abu Ja’far al-Mansur, maka puncak
keemasan dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, sejak masa Khalifah
al-Mahdi (775-785 M.) hinga Khalifah al-Wasiq (842-847 M.). Zaman keemasan
telah dimulai pada pemerintahan pengganti Khalifah al-Ja’far, dan mencapai
puncaknya dimasa pemerintahan Harun Al-Rasyid. Dimasa-masa itu para Khalifah
mengembangkan berbagai jenis kesenian, terutama kesusasteraan pada khususnya
dan kebudayaan pada umumnya.
b.
Periode
Kedua (232 H./847 M. – 334H./945M.)
Kebijakan
Khalifah al-Mukasim (833-842 M.), untuk memilih anasir Turki dalam ketentaraan
kekhalifahan Abasiyah dilatar belakangi oleh adanya persaingan antara golongan
Arab dan Persia, pada masa al-Makmun dan sebelumnya.khalifah al-Mutawakkil
(842-861 M.) merupakan awal dari periode ini adalah khalifah yang lemah.
Pemberontakan
masih bermunculan dalam periode ini, seperti pemberontakan Zanj didataran
rendah Irak selatan dan Karamitah yang berpusat di Bahrain. Faktor-faktor
penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah pada periode ini adalah;
Pertama, luasnya wilayah kekuasaan yang harus dikendalikan, sementara
komunikasi lambat. Kedua, profesionalisasi tentara menyebabkan ketergantungan
kepada mereka menjadi sangat tinggi. Ketiga, kesulitan keuangan karena beban
pembiayaan tentara sangat besar. Setelah kekuatan militer merosot, khalifah
tidak sanggup lagi memaksa pengiriman pajak ke Bagdad.
c.
Periode
Ketiga (334 H./945 M.-447 H./1055 M.)
Posisi Bani Abasiyah
yang berada di bawah kekuasaan Bani Buwaihi merupakan ciri utama periode ketiga
ini. Keadaan Khalifah lebih buruk ketimbang di masa sebelumnya, lebih-lebih
karena Bani Buwaihi menganut aliran Syi’ah. Akibatnya kedudukan Khalifah tidak
lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu Bani
Buwaihi telah membagi kekuasaanya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah
bagian selatan Persia, Hasan menguasi wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai
wilayah al-Ahwaz, Wasit, dan Bagdad. Bagdad dalam periode ini tidak sebagai
pusat pemerintahan Islam, karena telah pindah ke Syiraz dimana berkuasa Ali bin Buwaihi.
d.
Periode
Keempat (447 H./1055M.-590 H./1199 M.)
Periode keempat
ini ditandai oleh kekuasaan Bani Saljuk dalam Daulah Abbasiyah. Kehadirannya
atas naungan khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi di Baghdad.
Keadaan khalifah memang sudah membaik, paling tidak karena kewibawannya dalam
bidang agama sudah kembali setelah beberapa lama dikuasai orang-orang Syi’ah.
e.
Periode
Kelima (590 H./1199 M.-656 H./1258 M.)
Telah terjadi
perubahaan besar-besaran dalam periode ini. Pada periode ini, Khalifah Bani Abbasiyah
tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu. Mereka merdeka dan
berkuasa, tetapi hanya di Bagdad dan sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan
khalifah menunjukkan kelemahan politiknya, pada masa inilah tentara Mongol dan
Tartar menghancurkan Bagdad tanpa perlawanan pada tahun 656 H./1256 M.
B. Kemajuan-Kemajuan
Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah,
pada masa kekuasaannya, mamberikan kemajuan bagi kelangsungan Agama Islam,
sehingga masa Dinasti Abbasiyah ini dikenal dengan “The Golden Age of Islam. Khilafah
di Bagdad yang didirikan oleh al-Saffah dan al-Mansur mencapai masa keemasannya
mulai dari al-Mansur sampai Wathiq, dan yang paling jaya adalah periode Harun
dan puteranya, Ma’mun. Istana khalifah Harun yang identik dengan megah dan
penuh dengan kehadiran para pujangga, ilmuwan, dan tokoh-tokoh penting dunia. Pada
masa pemerintahan Harun tercatat buku
legendaries cerita 1001 malam. Kemajuan banyak dicapai pada masa Bani Abasiyah
ini, baik segi politik, ekonomi, maupun budaya, sehingga periodenya tercatat
sebagai The Golden Age of Islam.[9]
Adapun
kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh Dinasti Abbasiyah ialah sebagai
berikut :
1.
Kemajuan
dalam Administrasi
Pada masa
pemerintahan Bani Umayyah, jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan diisi Bangsa
Arab. Berbeda pada pemerintahan Bani Abbasiyah, orang-orang non-Arab mendapat
fasilitas dan menduduki jabatan strategis. Khalifah sebagai kepala
pemerintahan, penguasa tertinggi sekaligus menguasai jabatan keagamaan,
pemimpin sakral. Disebut juga bahwa para khalifah tidak peduli dan mentaati suatu
aturan atau cara yang tetap untuk mengangkat putera mahkota, yaitu sejak masa
al-Amin. Pada masa ini, jabatan penting diisi oleh seorang wazir yang
menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan yang digariskan oleh Hukum Islam
untuk mengangkat dan menurunkan para pegawai. Wazir adalah pelaksana
non-militer yang diserahkan sang khalifah kepadanya. Ada dua macam wazir, yaitu
wazir yang memiliki kekuasaan yang sangat tinggi (tafwid) dan wazir yang kekuasaannya terbatas (tanfiz) . Tafwid disebut juga wazir utama atau
sekarang sama dengan perdana menteri yang dapat bertindak tanpa harus direstui
khalifah, termasuk mengangkat dan memecat para gubernur dan hakim. Pada saat
para khalifah lemah, kekuasaan dan kedudukan wazir meningkat tajam. Sementara
wazir uang tidak berkuasa penuh, hanya mentaaati perintah khlifah saja.[10]
Kalau pada masa Bani
Umayyah terdapat lima kementrian pokok, yang disebut diwan, maka pada
masa Dinasti Abbasiyah, kelima diwan tersebut
ditambah jumlahnya. Kelima kementrian tersebut ialah (1) Diwan al-Jund (war of office). (2) Diwan al-Kharaj (Department
of Finance). (3) Diwan al-Rasal
(Board of Correspondence). (4) Diwan
al-Khatam (Board og Signet). (5) Diwan
al-Barid (Postal Department).
Kelima diwan ini pada era Abbasiyah ada penambahan diwan diantaranya. (6) Diwan al-Azimah (the Audit and Account
Board). (7) Diwan al-Nazri fi
al-mazalim (Appeals and Investigation Boars). (8) Diwan al-Nafaqat (the Board of Expenditure). (9) Diwan al-Sawafi (the Board of Crown Land). (10) Diwan al-Diya (the Board of States). (11) Diwan al-Sirr (the Board of Military
Infection). Dan, (13) Diwan al-Tawqi’
(the Board Request).[11]
Diwan baru lainnya
yang dibentuk pada periode Abbasiyah, antara lain, Diwan al-Syurtha (Police
Department). Kepala polisi disebut Sahib
al-Surtha, yang beda dengan zaman Umayyah, mereka membagi tugasnya sesuai
dengan kondisi wilyah. Tugas mereka paling utama adalah menjamin dan memelihara
keamanan, harta, dan nyawa masyarakat. Sementara itu, polisi biasa ada dibawah
kendali muhtasib.[12]
Demi kelancaran
admiinistrasi, wilayah kekuasaan Abbasiyah dibagi dalam beberapa wilayah
administrasi, yang dapat disebut provinsi, dan masing-masing provinsi yang
dikepalai seorang Amir yang melaksanakan tugas khalifah dan bertanggung
jawab kepadanya. Khalifah yang mengangkat dan memecat atau memindahkan ke Provinsi
lain. Pada umumnya, pendapatan provinsi digunakan untuk provinsi dan sisanya di
kirim ke pemerintah pusat.[13]
2.
Kemajuan
dalam Sosial
Philip Khore
Hitti mengemukakan bahwa para sejarawan Arab yang lebih berkonsentrasi pada
persoalan Khalifah Abbasiyah, lebih mengutamakan persoalan politik dibandingkan
dengan persoalan lain, yang menyebabkan mereka tidak begitu memberikan gambaran
memadai tentang kehidupan sosial-ekonomi. Dengan adanya asimilasi, Arab-Mawali
membawa dinasti ini kehilangan jati diri sebagai bangsa Arab menjadi bangsa
majemuk. Untuk memperlancar proses pembaruan antara Arab dengan rakyat
taklukan, lembaga poligami, selir, dan perdagangan budak terbukti efektif. Saat
unsur Arab murni surut, orang Mawali dan anak-anak perempuan yang dimerdekakan,
mulai menggantikan posisi mereka. Aristokrasi Arab mulai digantikan oleh
hierarki pejabat yang mewakili berbagai bangsa, yang semula didominasi oleh
Persia dan kemudian oleh Turki.[14]
3.
Kemajuan dalam Kegiatan Ilmiah
Periode
Abbasiyah merupakan era baru dan identik dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Dari
segi pendidikan, ilmu pengetahuan termasuk science, kemajuan peradaban, dan
kultur pada zaman ini bukan hanya identik sebagai masa keemasan Islam, akan
tetapi era ini mengukur dengan gemilang dalam kemajuan peradaban dunia. Semasa Dinasti
Umayyah kegiatan dan aktivitas nalar ilmu yang ditanam itu berkembang pesat yang
mencapai puncak pada era Abbasiyah.[15] Sebelum
Dinasti Abbasiyah, pusat kegiatan dunia Islam selalu bermuara pada masjid. Masjid dijadikan centre of
education. Pada Dinasti Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan keilmuan dan
teknologi diarahkan ke dalam ma’had.[16]
Pada abad X Masehi
disebut abad pembangunan Daulah Islamiyah, dimana dunia Islam, mulai dari
Cordon di Spanyol sampai ke Multan di Pakistan, mengalami pembangunan disegala
bidang, terutama dalam bidang berbagai macam ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni. Dunia Islam pada masa itu banar-benar dalam keadaan maju, jaya dan
makmur.[17] Di
antara pusat-pusat ilmu pengetahuan dan filsafat yang terkenal ialah Damaskus,
Alexandria, Qayrawan, Fustat, Kairo, al-Madaain, Jundeshahpur, dan lain-lain.
Banyaknya cendekiawan yang diangkat menjadi pegawai pemerintahan dan istana
para Khalifah Abbasiyah, misalnya Mansur yang banyak mengangkat pegawai
pemerintahan dan istana dari cendekiawan-cendekiawan Persia. Hal terbesar dan
banyak berpengaruh pada mulanya ialah keluarga Barmak, seperti jabatan wazir
yang diberikan Mansur kepada Khalid ibn Barmak, kemudian ke anak dan cucu-cucunya. Mereka ini
berasal dari Bactra, dikenal sebagai keluarga yang gemar pada ilmu pengetahuan
dan filsafat, yang condong kepada paham Mu’tazilah. Mereka disamping sebagai
wazir, juga menjadi pendidik anak-anak khalifah. Diakuinya Mu’tazilah sebagai
mazhab resmi Negara pada masa Khalifah Ma’mun (827 M). Mu’tazilah adalah aliran
yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan berfikir kepada manusia. Aliran ini
telah berkembang dalam masyarakat terutama pada masa awal Dinasti Abbasiyah,
yang banyak memajukan kegiatan intelektual dengan lebih menggunakan rasio baik
dalam penerjemahan ilmu-ilmu luar maupun memadukan dengan ajaran Islam. Inilah
faktor utama jasa mereka memelihara Yunani dan selanjutnya dikembangkan melalui
Kairo, dan selanjutnya ditransfer melalui pusat-pusat kegiatan ilmiah di Eropa
Barat Daya seperti Seville, Cordova, al-Hamra.[18]
Kepribadian
beberapa Khalifah, terutama pada masa awal Abbasiyah seperti Mansur, Harun, dan
Ma’mun adalah kutu buku dan sangat mencintai ilmu pengetahuan sehingga berpengaruh
dalam kebijaksanaannya yang banyak ditujukan kepada peningkatan ilmu
pengetahuan. Selain itu, karena permasalahan yang dihadapi oleh Umat Islam semakin
kompleks dan berkembang, oleh karena itu perlu dibuka ilmu pengetahuan dalam
berbagai bidang, khususnya ilmu-ilmu naqli
seperti Ilmu Agama, Bahasa, dan Adab. Adapun ilmu aqli seperti Kedokteran, Manthiq, Olahraga, Ilmu Angkasa Luar dan
ilmu-ilmu yang lain telah dimulai oleh Umat Islam dengan metode yang teratur.
Kegiatan ilmiah di kalangan Umat Islam, semasa Abbasiyah yang menandakan Islam
memperoleh kemajuan disegala bidang.[19]
Adapun ilmu yang
berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah terdiri dari perkembangan ilmu naqli (sumber dari Alquran dan Hadis)
yaitu seperti Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis, Ilmu Kalam, Ilmu Tasawuf, Ilmu Bahasa, Ilmu
Fiqih, serta pembukuan kitab-kitab hukum. Sedangkan perkembangan ilmu aqli diantaranya Ilmu Kedokteran, Ilmu Filsafat,
dan lain lain.[20]
Perkembangan
ilmu pengetahuan pada masa ini, tidak terlepas dari adanya peranan pemerintah. Pada
masa kejayaan Islam banyak khalifah mencintai dan mendukung penuh perkembangan
ilmu pengetahuan, aktivitas mereka paling menonjol dan besar melalui
penerjemahan yang merupakan kegiatan yang paling besar peranannya dalam
mentransfer ilmu pengetahuan. Mereka menerjemahkan dari buku-buku asing,
seperti bahasa Sansekerta, Suryani, atau Yunani ke dalam Bahasa Arab yang telah
dimulai sejak zaman Umayyah. Misalnya, Khalid ibn Yazid, seorang penguasa,
pecinta ilmu yang memerintahkan kepada para cendekiawan Mesir atau yang tinggal
di Mesir agar mereka menerjemahkan buku-buku tentang kedokteran, bintang, dan
kimia yang berbahasa Yunani ke dalam Bahasa Arab. Demikian juga Khalifah Umar
II menyuruh menerjemahkan buku-buku kedokteran ke dalam Bahasa Arab.[21]
Pada tahun 832 M.,
Ma’mun mendirikan Bait al-HIkmah di
Bagdad sebagai Akademi pertama, lengkap dengan teropong bintang, perpustakaan,
dan lembaga penterjemahan. Kepala Akademi ini yang pertama adalah Yahya ibn
Musawaih (777-857 M.) murid Gibril ibn Bakhtisyu, kemudian diangkat Hunain ibn
Ishaq, murid Yahya sebagai ketua kedua.[22]
Sekitar akhir
abad ke-10 M., kegiatan kaum Muslim bukan hanya menerjemahkan, bahkan mulai
memberikan syarahan (penjelasan), dan
melakukan tahqiq (pengeditan). Pada
mulanya muncul dalam bentuk karya tulis yang ringkas, lalu dalam wujud yang
lebih luas dan dipadukan dalam berbagai pemikiran dan petikan, analisis dan
kritik yang disusun dalam bentuk bab-bab dan pasal-pasal. Atas kepekaan mereka,
hasil kritik dan analisis itu memancing lahirnya teori-teori baru sebagai hasil
renungan mereka sendiri. Misalnya apa yang yang telah dilakukan oleh Muhammad
ibn Musa al-Khawarizmi dengan memisahkan aljabar dari ilmu hisab yang pada
akhirnya menjadi ilmu tersendiri secara sistematis. Pada masa inilah lahir
karya-karya ulama yang telah tersusun rapi, sehingga pada masa Bani Abbasiyah muncullah ulama-ulama besar.[23]
Para ulama
memelihara dan mentransfer ilmu mereka melalui hafalan atau lembaran-lembaran
yang tidak teratur. Kemudian barulah pada abad ke-7 M., mereka menulis hadis,
fikih, tafsir, dan banyak buku dari berbagai Bahasa Arab dan menjadi buku-buku
yang disusun secara sistematis. Di antara kebanggaan zaman pemerintahan
Abbasiyah adalah terdapat empat imam
mazhab, yaitu Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbal. Mereka
merupakan para ulama fikih yang paling agung dan tiada bandingannya di dunia
Islam.[24]
C. Sebab-Sebab
Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Setelah
berakhir kekuasaan Dinasti Saljuk atas Bagdad atau Khilafah Abbasiyah,
merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, Khalifah Abbasiyah tidak
lagi berada di bawah kekuaasaan suatu dinasti tertentu, sehigga banyak sekali dinasti-dinasti
Islam yang berdiri.[25] Pada masa inilah, Dinasti Abbasiyah mengalami
kemunduran.
Adapun
faktor-faktor yang menjadi penyebab kemunduran
Dinasti Abbasiyah, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Internal
Pada masa pemerintahan
Bani Abbasiyah, wilayah kekuasaannnya meliputi barat sampai samudera Atlantik,
disebelah timur sampai India dan perbatasan China, dan diutara dari laut
Kashpia sampai keselatan teluk Persia. Wilayah kekuasaan Abbasiyah yang hampir
sama luasnya dengan wilayah kekuasaan dinasti Mongol, tidak mudah dikendalikan
oleh para Khalifah yang lemah. Di samping itu, sistem komunikasi masih sangat
lemah dan tidak maju saat itu, menyebabkan tidak cepat dapat informasi akurat
apabila suatu daerah ada masalah, konflik, atau terjadi pemberontakan. Oleh
karena itu, terjadilah banyak wilayah lepas dan berdiri sendiri. Sebenarnya
pasca Khalifah Ma’mun, dinasti ini mulai
mengalami kemunduran. Sementara itu, kejauhan wilayah-wilayah yang terletak di
ketiga benua tersebut, dan kemudian didorong oleh para khalifah yang makin lemah
dan malas yang dipengaruhi oleh kelompok-kelompok yang tidak terkendali bagi khalifah.[26]
Karena tidak
adanya suatu sistem dan aturan yang baku menyebabkan sering gonta-ganti putera
mahkota dikalangan istana dan terbelahnya suara istana yang tidak menjadi kesatuan
bulat terhadap pengangkatan para pengganti khalifah. Seperti perang saudara
antara Amin-Ma’mun adalah bukti nyata. Di samping itu, tidak adanya kerukunan
antara tentara, istana, dan elit politik lain yang juga memicu kemunduran dan
kehancuran dinasti ini.[27]
Dalam buku yang
ditulis Abu Su’ud[28],
disebutkan faktor-faktor intern yang membuat Daulah Abasiyah menjadi lemah kemudian
hancur antara lain : (1) adanya persaingan tidak sehat di antara beberapa
bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abasiyah, terutama Arab, Persia, dan Turki.
(2) terjadi perselisihan pendapat di antara kelompok pemikiran agama yang ada,
yang berkembang menjadi pertumpahan darah. (3) muncul dinasti-dinasti kecil
sebagai akibat perpecahan sosial yang berkepanjangan. (4) akhirnya terjadi
kemerosotan tingkat perekonimian sebagai akibat dari bentrokan politik.
2.
Eksternal
Di samping
faktor-faktor internal, ada juga faktor ekstern yang menyebabkan dinasti ini
terjun kejurang kehancuran total, yaitu serangan Bangsa Mongol. Latar belakang
penghancuran dan penghapusan pusat Islam di Bagdad, salah satu faktor utama
adalah gangguan kelompok Asasin yang didirikan oleh Hasan ibn Sabbah (1256 M.)
dipegunungan Alamut, Iraq. Sekte, anak cabang Syi’ah Isma’iliyah ini sangat
mengganggu di Wilayah Persia dan sekitarnya. Baik di Wilayah Islam maupun di Wilayah
Mongol tersebut.[29]
Setelah beberapa
kali penyerangan terhadap Assasin, akhirnya Hullagu, cucu Chengis Khan dapat
berhasil melumpuhkan pusat kekuatan mereka di Alamut, kemudian menuju ke
Bagdad. Setelah membasmi mereka di Alamut, tentara Mongol mengepung kota Bagdad
selama dua bulan, setelah perundingan damai gagal, akhirnya Khalifah menyerah,
namun tetap dibunuh oleh Hulagu. Pembantaian massal itu menelan korban sebanyak
800. 000 orang.[30]
Abu Su’ud[31] mengemukakan bahwa faktor ekstern yang
menyebabkan hancurnya Dinasti Abbasiyah, adalah : (1) berlangsung Perang Salib
yang berkepanjangan, dan yang paling menentukan adalah (2) sebuah pasukan
Mongol dan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan, yang berhasil menjarah semua
pusat-pusat kekuasaan maupun pusat ilmu, yaitu perpustakaan di Bagdad.
D. Dinasti
Kecil di Barat dan Timur
Abu
Su’ud[32]
dalam bukunya mengemukakan, bahwa lima tahun setelah berdiri kekhalifahan
Abbasiyah, Abd al-Rahman Muda, satu-satunya keturunan Dinasti Umayyah yang selamat
dari pembantaia massal. Satu tahun kemudian, tahun 756 M., dia mendirikan sebuah
dinasti yang kemudian menjadi dinasti
besar. Selanjutnya pada 785 M., Idris
ibn Abdullah, cicit al-Hasan ikut serta dalam salah satu pemberontakan sengit
kelompok Ali di Madinah. Perlawanan tersebut bisa diredam dan dia menyelamatkan
diri ke Maroko (al-Maghrib). Di sana berhasil mendirikan kerajaan yang
mengabadikan namanya selama hampir dua abad (788-974 M.), berikutnya yaitu
Idrisiyah, yang menjadikan Fez sebagai ibukota utamanya adalah dinasti Syi’ah
pertama dalam sejarah. Ketika Idrisiyah-Syiah meluaskan daerah kekuasaannya di
sebagian Barat Afrika Utara, Aglabiyah Sunni juga melakukan hal yang sama
ditimur. Di luar wilayah yang dinamakan Ifriqiyah (Afrika kecil, terutama
Tunisia)., Harun al-Rasyid pada tahun 800 M. telah mengangkat Ibrahim ibn
al-Aglab sebagai gubernur dan berdiri sendiri dalam memerintah.
Dinasti
selanjutnya adalah Ziyadat Allah, merupakan penerus Ibrahim. Dinasti itu menjadi
salah satu titik penting dalam sejarah konflik berkepanjangan antar Asia dan
Eropa. Dengan armadanya yang lengkap, mereka memporak-poranadakan kawasan
pesisir Italia, Prancis, Korsika, dan Sardinia.
Tidak
lama setelah tuntas pemberontakan pada penguasa Abbasiyah di Mesir dan Suriah,
muncul lagi dinasti Turki lain yang masih keturunan Faghanah yakni Iksidiyah yang didirikan di Fushtat, pendirinya
adalah Muhammad ibn Thughj (935-946 M.). Dinasti sebelum Iksidiyah adalah
dinasti Thulun yang berumur pendek (869-905 M.), di Mesir dan Suriah adalah
Ahmad ibn Thulun.
Ke
wilayah utara, Iksidiyah Mesir memiliki pesaing kuat yaitu Dinasti Hamdaniyah
yang Syi’ah, dinasti itu didirikan pertama kali di Mesopotamia dengan Mosul
sebagai ibu kota, mereka adalah keturunan Hamdan ibn Hamdun dari suku Thalib,
di bawah pimpinan Syaf al-Dawlah.
Saat
dinasti-dinasti kecil sebagian besar berasal dari Arab memecah wilayah
kekuasaan khalifah di Barat, proses yang sama juga tengah terjadi di timur,
terutama dilakukan oleh orang Turki dan Persia. Dinasti yang pertama mendirikan
sebuah Negara semi-independen disebelah timur Bagdad adalah orang yang pernah
dipercaya al-Ma’mun untuk menduduki
jabatan jenderal yakni Thahir ibn al-Husayn dari Khurasan. Ia pendiri
dinasti Tahiriah berkuasa sampai tahun 872 M, dan digantikan oleh Dinasti
Saffariyah, bermula di Sijistan dan berkuasa di Persia selama 41 tahun (867-908
M.), didirikan oleh Ya’qub ibn al-Laits al-Saffar. Kemudian dinasti ini
digantikan oleh Dinasti Samaniyyah yang didirikan oleh Nashr ibn Ahmad
(874-892).
Salah
seorang budak Turki yang disukai dan dihargai oleh penguasa Samaniyyah,serta dianugerahi
pos penting dalam pemerintahan adalah
Alptigin. Pada 962 M., dia merebut Ghaznah terletak di Afghanistan dari tangan
penguasa pribumi dan mendirikan sebuah kerajaan independen dan berkembang
menjadi imperium Ghaznawi,.Wilayahnya meliputi Afghanistan dan Punjab (962-1186
M.), pendiri Dinasti Ghaznawi yang sesungguhnya adalah Subuktigin. Enam belas
raja Ghaznawi yang kemudian
menggantikannya adalah keturunan langsung darinya.[33]
III.
P E N
U T U P
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pada pembahasan sebelumnya, maka dapatlah ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai
berikut :
1.
Dinasti Abbasiyah melanjutkan kekuasaan
Bani Umayyah. Dinamakan Abbasiyah,
karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi
Muhammad saw.. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad
ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu
yang panjang, dari tahun 132 H. (750 M.) s. d. 656 H. (1258 M.). Selama dinasti
ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial, dan budaya.
2.
Pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, Umat Islam banyak mengalami
kemajuan yang sangat pesat, di antaranya dalam bidang administrasi, agama,
sosial, ilmu pengetahuan, dan pemerintah.
3.
Kemunduran Dinasti Abbasiyah disebabkan
oleh banyak faktor, baik yang sifatnya internal maupun yang sifatnya eksternal.
B.
Saran
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Karenanya,
saran dan kritikan yang sifatnya membangun, sangat peulis harapkan dari semua
pihak. Wassalam
DAFTAR
PUSTAKA
Hassan,
Hassan Ibrahim. Tarikh Al-Islam, Kairo:
Maktabah Al-Nahḍoh Al-Misyriyah.
Hitti, K, Philip. Terj. History of
The Arabs. cet. I; Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005
Karim, Abdul, M. Sejarah Pemikiran
Dan Peradaban Islam cet.I, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
Mutrodi, Ali. Islam Di Kawasan
Kebudayaan Arab, cet.I; Ciputat: Wacana Ilmu: 1997.
Su’ud, Abu. Islamologiy. cet. I.
Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam
Klasik, cet. I; Bogor: Prenada Media, 2003
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
[1]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993)
h..49
[2] Abu
Su’ud, Islamologi (cet. I, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), h.
72.
[3] M.
Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher, 2007), h. 143.
[4]
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Cet. I; Bogor: Prenada Media, 2003), h. 47.
[5] Ibid, h. 48.
[6] Ibid.
[7] Hanya
disebut sebagian, lebih lengkap lihat, Abu Su’ud, Islamologiy (Cet. I; Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2003 ),
h. 73-74.
[8] Lihat,
Ibid, h. 74-81
[9] M.
Abdul Karim, op. cit. h. 167
[10] M.
Abdul Karim, op. cit., h. 168
[11].Ibid, h. 168-169.
[12] Ibid, h. 169.
[13]
Ibid, h. 170
[14] M.
abdul karim, op. cit., h. 171
[15] Ibid, h. 172
[16] Lihat,
Hassan Ibrahim Hassan, Tarikh al-Islam
(Kairo: Maktabah al-Nahḍoh al-Misyriyah,
t.th.) h. 129.
[17]
Musyrifah Sunanto, op. cit., h. 54.
[18] M.
Abdul. Karim, op. cit., h. 173
[19] Ibid , h. 174-175.
[20]
Musyrifah Sunanto, op. cit., h.
58-86.
[21] M.
Abdul Karim, op. cit., h. 175.
[22] Ibid., h. 176.
[23] Ibid., h. 177.
[24] M.
Abdul Karim, op. cit., h. 178.
[25]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 1993), h.
79-80
[26] M.
Abdul Karim, op.cit., h. 162.
[27] Ibid., h. 163.
[28] Abu
Su’ud, op. cit., h. 81.
[29] M.
Abdul Karim, op. cit., h. 166-167
[30] Ibid., h. 166.
[31] Abu Su’ud, op. cit., h. 81-82.
[32] Abu Su’ud, op. cit., h. 81-82.
[33] Ibid., h. 82
My Blog List
terimakasih atas informasinya....
BalasHapusizin copy ya.. thank's
BalasHapus