- Back to Home »
- Hadits-Ilmu Hadits »
- Makalah "Alum al-Hadits"
Posted by : LaSaro'
Sabtu, 29 Desember 2012
I. PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hadis berbeda dengan Alquran. Alquran sebagai sumber
ajaran Islam sudah tidak diragukan lagi untuk dikatakan sebagai wahyu Allah,
mengingat proses penerimaan dan penulisannya begitu ketat dan telah terhimpun
dalam suatu muṣhaf.
Setelah Rasullah saw. wafat, kaum muslimin merasa perlu menjaga kesinambungan
wahyu dan kesuciannya. Suatu fakta yang menunjukkan kearah itu adalah proses
transmisi dan periwayatan naskah
Alquran hingga tahap pengkodifikasiannya yang telah diperiksa dan disatukan oleh Nabi saw. sendiri. Hafsah kemudian menyampaikannya ke Abu Bakar dan seterusnya. Kenyataan tersebut menjadi bukti yang tidak terbantahkan bahwa naskah Alquran telah dikumpulkan dengan ekstra hati-hati sehingga keabsahan penggunaannya sebagai dasar hukum dan pedoman hidup bagi Umat Islam tidak diragukan lagi.
Alquran hingga tahap pengkodifikasiannya yang telah diperiksa dan disatukan oleh Nabi saw. sendiri. Hafsah kemudian menyampaikannya ke Abu Bakar dan seterusnya. Kenyataan tersebut menjadi bukti yang tidak terbantahkan bahwa naskah Alquran telah dikumpulkan dengan ekstra hati-hati sehingga keabsahan penggunaannya sebagai dasar hukum dan pedoman hidup bagi Umat Islam tidak diragukan lagi.
Sedangkan untuk hadis-hadis Nabi saw.
timbul beragam permasalahan, diantaranya apakah suatu yang diangap orang hadis
memang benar-benar hadis atau bukan? Sering sekali kita mendengar atau membaca
dalam berbagai karya tulis tentang
petuah-petuah atau perkataan-perkataan ulama yang sudah terlanjur dianggap
sebagai hadis, sehingga sangat disanjung-sanjung dan dijadikan pegangan yang
tidak bisa ditawar-tawar lagi, pada hal
sebenarnya bukanlah hadis.
Untuk mempertahankan kelestarian
hadis diperlukan suatu ilmu tersendiri yang membahas tentang hadis, karenanya
muncullah istilah metodologi pengumpulan dan penulisan hadis. Sejarah
penulisan, pengumpulan dan pembukuan hadis dan ilmu hadis telah melewati
serangkaian fase historis yang sangat panjang. Dimulai semenjak Nabi saw,
sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga mencapai puncaknya pada kurun abad III H.
Perjuangan ulama hadis yang telah berusaha dengan keras dalam melakukan
penelitian serta penyeleksian hadis, betul-betul dilakukan dengan
sungguh-sungguh. Mereka memilah dan memilih mana hadis yang ṣahih[1], hadis hasan[2] dan mana hadis yang da’if[3]. Dari usaha-usaha mereka itu kemudian melahirkan metode-metode yang cukup “kaya”, mulai dari metode penyusunan dalam berbagai bentuknya
(musnad, sunan, jami’ dan
lain-lain) hingga kepada kaidah-kaidah penelusuran hadis. Kaidah-kaidah tersebut, kemudian berkembang
menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri
yang disebut dengan “ʻUlūm al-Hadīṡ”.
Pembukuan hadis
baru dapat dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama (hampir satu abad)
setelah wafat Nabi saw, ditambah lagi dengan kenyataan sejarah bahwa banyak
hadis-hadis yang dipalsukan, maka keabsahan hadis-hadis yang beredar dikalangan
kaum muslimin menjadi perdebatan. meskipun mereka telah meneliti dengan
seksama. Kondisi tersebut, sering dijadikan senjata oleh pihak lawan untuk
mendiskreditkan hadis-hadis Nabi saw., dan merongrong keyakinan Umat Islam. Lebih-lebih
lagi diketahui bahwa lingkungan Nabi saw. sangat miskin dari budaya baca tulis.
Meskipun mereka dikenal sebagai
komunitas yang mempunyai hapalan yang kuat, namun hal itu sifatnya sangat subjektif.
Oleh karena itu, mempelajari ilmu hadis
sebagai sebuah metodologi sangatlah penting bagi kaum muslimin guna menangkis
segala tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang memusuhi Agama Islam dan umatnya.
B. Rumusan
Masalah.
Berdasarkan
pada uraian-uraian pada latar belakang di atas, maka dapatlah dikemukakan bahwa
permasalahan-permasalahan yang menjadi inti pembahasan dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :
1.
Bagaimana ʻUlūm al-Hadīṡ jika
dilihat dari aspek ontologis ?
2.
Bagaimana ʻUlūm al-Hadīṡ jika
dilihat dari aspek epistemologis ?
3.
Bagaimana ʻUlūm al-Hadīṡ jika
dilihat dari aspek aksiologis.?
II. PEMBAHASAN
A. ʻUlūm al-Hadīṡ dalam Aspek Ontologis.
Dilihat dari aspek ontologis, yang menjadi pokok
bahasan dalam ʻUlūm al-Hadīṡ mencakup dua hal, yakni : 1. Pengertian ʻUlūm al-Hadīṡ, dan 2. Perbedaan pendapat ulama tentang ʻUlūm al-Hadīṡ.
1. Pengertian ʻUlūm al-Hadīṡ.
Istilah
“ʻUlūm
al-Hadīṡ” terdiri dari dua
suku kata, yaitu “ʻUlūm” dan “al-Hadīṡ”.
Kata “ʻUlūm”
dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari “ʻIlm” yang berarti ilmu.[4] Sedangkan “al-Hadīṡ” menurut pengertian ulama
hadis ialah;
أقوال وأفعال وأحوال
النبي صلى الله عليه وسلم
“Segala perkataan,
perbuatan, dan hal ihwal Nabi saw”.[5]
Yang
dimaksud dengan hal ihwal, ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi saw.
yang berkaitan dengan perkataan atau
perbuatan, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya.
Pengertian hadis ini mempunyai cakupan yang sangat luas, tidak terbatas pada
apa yang disandarkan kepada Nabi saw. saja, melainkan juga apa yang disandarkan
kepada sahabat dan tabi’in.[6] Sebagian ulama juga berpendapat bahwa hadis itu meliputi sabda Nabi saw., perbuatan, dan taqrir[7]
(ketetapan) darinya. Sebagian yang lainnya berpendapat bahwa hadis itu juga
meliputi perkataan, pebuatan dan taqrir
sahabat atau bahkan tabi’in.[8] Tetapi
ulama hadis umumnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hadis ialah segala
sabda, perbuatan, taqrir, dan hal
ihwal yang disandarkan kepada Nabi saw. [9]
Apabila
kedua kata tersebut (ʻUlūm dan al-Hadīṡ) dirangkaikan menjadi satu, diperoleh
suatu pengertian bahwa ʻUlūm al-Hadīṡ adalah suatu ilmu yang membahas tentang segala
sesuatu yang berkenaan dengan sabda Nabi saw., perbuatan, dan taqrirnya. Bahkan, dalam pengertian
luas, juga termasuk perbuatan dan taqrir sahabat atau bahkan tabi’in.
2. Perbedaan Pandangan Ulama Tentang ʻUlūm
al-Hadīṡ.
Apabila
persoalan ini ditelusuri secara mendalam, maka sebenarnya tidak dijumpai
pertentangan pendapat secara signifikan diantara para ulama seputar masalah ʻUlūm al-Hadīṡ.
Baik itu ulama mutaqaddimin, ataupun juga juga ulama mutaakhirin. Ulama mutaqaddimin
misalnya, mengemukakan bahwa yang menjadi tema pokok dalam pembahasan ʻUlūm al-Hadīṡ adalah kaidah-kaidah dalam mengetahui
hal ihwal sanad[10] dan matan[11]
hadis. Sementara ulama mutaakhkhirīn
tidak menjadikan definisi tersebut
sebagaimana ulama mutaqaddimīn, akan tetapi hanya menjadikan
sebagai bagian pengertian salah satu
cabang dari ilmu Hadis itu sendiri. Yakni ʻIlmu Dirāyah Hadīṡ (Ilmu
Hadis Dirayah).
Seperti
dikatakan oleh As-Sayuthi bahwa para
Ulama Mutaakhkhirīn memakai definisi tersebut untuk definisi ʻIlmu Dirāyah
Hadīṡ sebagai salah satu bagian dari Ilmu Hadis.[12] Bagian yang lain dari ilmu ini adalah ʻIlmu
Riwāyah Hadiṡ (Ilmu Hadis Riwayah). Kedua pembagian ilmu hadis tersebut,
selanjutnya menjadi inti pembahasan makalah ini sebagai cabang dari “ʻUlūm al-Hadīṡ”.
Kesimpulannya,
baik ulama mutaqaddimīn maupun ulama mutaakhkhirīn sepakat
berpendapat bahwa pokok bahasan dalam ʻUlūm al-Hadīṡ, adalah seputar
permasalahan tentang matan dan sanad hadis. Adapun perbedaannya tidak
lain disebabkan karena dikalangan Ulama Mutaakhkhirīn kemudian
memunculkan suatu Ilmu baru yang berdiri sendiri dan mengkonsentrasikan
pembahasannya terhadap suatu masalah tertentu, yakni bagaimana cara menerima,
menyampaikan, memindahkan (mendiwankan)
suatu hadis kepada orang lain. Ilmu Hadis ini kemudian dikenal dengan nama ʻIlmu
Hadīṡ Riwāyah (Ilmu Riwayah Hadis).
B. ʻUlūm al-Hadīṡ Dalam
Aspek Epistemologi.
ʻUlūm al-Hadīṡ ditinjau
dari aspek epistemologinya, maka yang menjadi pokok pembahasan meliputi dua
bagian, yaitu cabang-cabang ʻUlūm al-Hadīṡ dan sejarah
perkembangan ʻUlūm al-Hadīṡ.
1. Cabang-cabang
ʻUlūm
al-Hadīṡ.
Seperti
telah dikemukakan sebelumnya, bahwa ʻUlūm al-Hadīṡ menurut ulama
mutaakhkhirīn secara garis besarnya terdiri atas dua bagian, yaitu ʻIlmu
Riwāyah Hadīṡ (Ilmu Hadis Riwayah) dan ʻIlmu Dirāyah Hadīṡ (Ilmu
Hadis Dirayah).
a.
ʻIlmu
Riwāyah Hadīṡ
Kata “riwāyah”
secara bahasa diartikan sebagai periwayatan atau cerita. Secara terminologi,
yang dimaksud dengan ʻIlmu Riwāyah Hadīṡ
adalah: “Ilmu yang menukilkan segala yang disandarkan kepada Nabi saw., baik
beupa perkataan, perbuatan, taqrir,
maupun sifatnya. Begitu juga yang menukilkan segala yang disandarkan kepada sahabat
dan tabi’in”.[13]
Definisi
tersebut merupakan definisi yang mengacu kepada rumusan hadis secara luas.
Sedangkan yang mengacu kepada rumusan hadis secara sempit, maka ʻIlmu Riwāyah Hadīṡ diartikan sebagai segala yang disandarkan
kepada Nabi saw., tidak termasuk yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.
Seperti pengertian yang dikemukakan oleh T. M. Hasbi ash-Shiddieqy bahwa ʻIlmu
Riwāyah Hadīṡ adalah ilmu
yang menukilkan segala apa yang disandarkan kepada Nabi saw., baik perkataan,
perbuatan, taqrir ataupun sifat
anggota tubuh, ataupun sifat perangai. [14] Hal
yang sama juga dikemukakan oleh A. Qadir Hassan mengutif definisi dalam kitab “Minhat al-Mugieṣ" bahwa ʻIlmu Riwāyah Hadīṡ adalah suatu ilmu
yang mengandung pembicaraan tentang mengkhabarkan sabda-sabda Nabi saw.,
perbuatan-perbuatannya, hal-hal yang beliau benarkan, atau sifat-sifatnya
sendiri. [15]
Berdasarkan pada beberapa definisi di atas,
dapat difahami bahwa yang menjadi objek pembahasan dari ʻIlmu Riwāyah Hadīṡ adalah
bagaimana cara menerima, menyampaikan,dan memindahkan (mendiwankan) suatau hadis kepada orang lain. Ilmu ini tidak
membicarakan tentang syaz (kejanggalan) serta illat (kecacatan) matan hadis. Demikian pula ilmu ini tidak membicarakan
tentang kualitas para perawi[16] baik
dari segi keadilannya, keḍabitan
ataupun kefasikannya.[17]
b.
ʻIlmu Dirāyah Hadīṡ
ʻIlmu Dirāyah Hadīṡ ialah ilmu yang di dalamnya dibahaskan
tentang makna yang dipahamkan dari lafaẓ-lafaẓ
hadis dan apa yang dikehendaki dari padanya, berdasarkan kaidah-kaidah Lugah Arabiyah, kaidah-kaidah syarīʻah dan bersesuaian dengan
keadaan-keadaan Nabi saw.[18] Sebagian
Ulama lainnya mendifinisikan bahwa ʻIlmu Dirāyah Hadīṡ adalah : Ilmu pengetahuan untuk mengetahui
hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, serta
untuk mengetahui keadaan para perāwi.
Baik syarat-syaratnya, macam-macam hadis yang diriwayatkan dan segala yang
berkaitan dengannya.[19]
Berdasarkan pada
definisi tersebut, dapat diketahui bahwa objek pembahasan ʻIlmu Dirāyah Hadīṡ adalah
keadaan para perāwi dan marwinya. Keadaan para perāwi meliputi baik yang menyangkut
pribadinya, keadaan hafalannya, maupun yang menyangkut persambungan dan
terputusnya sanad. Sedang keadaan rāwi yang dimaksud adalah sudut keṣahihan, keḍa’ifan serta sudut-sudut lain yang berkaitan dengan keadaan matan. Dari kedua cabang ilmu ini, pada perkembangan berikutnya muncullah
cabang-cabang ilmu hadis, antara lain, seperti ; ʻIlmu Rijāl al-Hadīṡ, ʻIlmu
al-Jārh Wa al-Ta’dīl, ʻIlmu Illa al-Hadīṡ, ʻIlmu Nāsikh Wa al-Mansūkh, ʻIlmu
Asbab al-Wurūd al-Hadīṡ, ʻIlmu Talfīk al-Hadīṡ, dan lain-lain. Berikut ini
penjelasan singkat ilmu-ilmu yang dimaksud :
a. ʻIlmu
Rijāl al-Hadīṡ
Pengertian ʻIlmu
Rijal al-Hadīṡ adalah;
علم يبحث فيه
عن رواة الحديث من الصحابة والتابعين ومن بعدهم
"Ilmu
yang membahas tentang para perawi
hadis, baik dari sahabat, tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya”.[20]
Mempelajari ilmu
ini, kita dapat mengetahui keadaan para perawi
yang menerima hadis dari Rasullah, serta keadaan para perawi yang menerima hadis dari sahabat dan seterusnya.[21]
Dalam ilmu ini diterangkan sejarah ringkas dari riwayat hidup para perawi, mazhab yang dipegang oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu dalam menerima hadis.
Kitab yang
disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya. Ada yang hanya menerangkan riwayat
ringkas para sahabat, menerangkan riwayat umum para perawi-perawi, menerangkan
para perawi yang dipercayai saja,
menerangkan riwayat para perawi yang
dianggap lemah atau mudallis atau para pemuat hadis maudu’ dan lain-lain. Diantara para ulama yang
telah menyusun riwayat ringkas para
sahabat adalah Al-Bukhari (256 H), Ibnu Abdil Barr (463 H) dengan kitabnya Al-Istiab.
Pada permulaan
abad VII H., Izuddin Ibn Atsir (630 H) mengumpulkan kitab yang telah disusun
sebelum masanya dan dinamai Usdul Gabah. Pada abad IX H., al-Hafid Ibn
Hajar menyusun sebuah kitab yang diberi nama Al-Ishabah. Kitab ini
merupakan kumpulan dari kitab Al-Istiab dan Usdul Gabah dan
ditambah dengan apa yang tidak terdapat dalam kedua kitab tersebut.
b. ʻIlmu
al-Jārh Wa al-Ta’dīl.
ʻIlmu al-Jārh Wa
al-Ta’dīl pada
hakikatnya merupakan suatu bagian dari ʻIlmu Rijāl al-Hadīṡ. Akan
tetapi, karena bagian ini dipandang sebagai yang terpenting, maka ilmu ini
dijadikan sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Dari penamaannya saja maka kita
dapat mengetahui bahwa pembahasan dalam ilmu ini adalah meliputi catatan yang
dihadapkan pada perawi dan tentang
penakdilan serta kata-kata yang dipakainya, begitu juga martabat dari kata-kata
tersebut. Mempelajari ilmu ini sangatlah baik agar seseorang dapat terhindar
dari riwayat-riwayat yang dianggap datangnya dari Nabi saw. atau para
sahabatnya, padahal hanyalah merupakan riwayat-riwayat palsu yang sengaja
dibuat oleh orang-orang yang tidak senang terhadap Nabi saw. dan
ajaran-ajarannya.
Diantara para
sahabat yang menyebutkan keadaan perawi-perawi hadis adalah Ibn Abbas (68 H),
Ubadah Ibn Shamit (34 H), Anas Ibn Malik (93 H), dan lain-lain. Dari kalangan terakhir
masa tabi’in yaitu sekitar tahun 150 H, para ahli mulai menyebutkan
keadaan-keadaan para perawi, mena’dīl
dan menajrihkan mereka. Diantara Ulama besar yang memberikan perhatian
dalam bidang ini adalah Yahya Ibn Said Al-Khattan (189 H), Abdurrahman Ibn
Mahdi (198 H), serta ulama-ulama berikutnya.
Kitab yang
disusun mengenai jarh dan ta’dīl , ada beberapa macam. Ada yang
menerangkan orang-orang yang dipercayai saja, menerangkan orang yang lemah atau
menaldiskan dan ada pula
yang melengkapi keduanya. Diantara kitab yang melengkapi semua itu adalah kitab
Ṭabaqāt yang disusun oleh Muhammad Ibn Saad Az-Zuhri Al-Basari (230 H).
c. ʻIlmu
Illa al-Hadīṡ.
علم يبحث فيه
عن أسباب غامضة خفية قادحة فى صحة الحديث
“Ilmu
yang menerangkan sebab-sebab yang tersembuyi, tidak nyata yang dapat
mencacatkan hadis”.[22]
Pengertian yang
dimaksudkan dalam ilmu ini, adalah menyambung yang mungqati, merafa’kan yang mauquf, memasukkan
suatu hadis kedalam hadis yang lain, dan yang serupa dengan itu semua. Bila diketahui
, maka dapat merusakkan keṣahihan
hadis. Diantara ulama yang menulis ilmu ini ialah Ibn Mandini (234 H), Ibn Abi
Hatim (327 H), kitab beliau dinamai Kitab Illa al-Hadīṡ. Selain itu
Ulama yang menulis kitab ini adalah Al-Imam Muslim (261 H), Ad-Daruqutni (357
H), dan Muhammad Ibn Abdillah Al-Hakim.
d. ʻIlm
al-Nāsikh wa al-Mansūkh.
علم يبحث فيه
عن الناسخ والمنسوخ من الأحاديث
“Ilmu
yang menerangkan hadis-hadis yang sudah dimansukhkan
dan yang menasikhkannya”.[23]
Apabila didapati
suatu hadis yang maqbul, tidak ada yang memberikan perlawanan maka hadis
tersebut dinamai muhkam. Namun jika dilawan oleh hadis yang sederajat,
tetapi dikumpulkan dengan mudah maka hadis tersebut dinamai mukhatakif al-Hadīṡ.
Jika tak mungkin dikumpul dan diketahui
mana yang terkemudian, maka yang terkemudian dinamai nāsikh dan yang
terdahulu dinamai mansūkh.[24]
Terdapat
beberapa ulama yang telah menyusun kitab al-Nāsikh wa al-Mansūkh,
diantaranya adalah ; Ahmad Ibn Ishak Ad-Dinary (318 H), Muhammad Ibn Bahar
Al-Asbahani (322 H), Ahmad ibn Muhammad An-Nahhas (338 H), Muhammad ibn Musa
Al-Hazimi (584 H) menyusun kitab yang dinamai al-Iktibar, yang kemudian
diringkaskan oleh Ibn Abdil Haq (744 H).
e.ʻIlmu Asbāb al-Wurūd al-Hadīṡ.
ʻIlmu Asbāb al-Wurūd
al-Hadīṡ
ini sangat penting diketahui karena dapat menolong kita dalam memahami hadis,
sebagaimana ilmu Asbāb al-Nuzūl dapat membantu kita dalam memahami
Alquran. Ulama yang mula-mula menyusun
kitab ini dan kitabnya ada dalam masyarakat adalah Abu Hafas Ibn Umar Muhammad
ibn Raja Al-Ukhbari. Kemudian dituliskan pula oleh Ibrahim ibn Muhammad, yang
terkenal dengan nama Ibnu Hamzah Al-Huzaini (1120 H), dalam kitabnya
Al-Bayan wa al-Tarif dan dicetak pada tahun 1329 H.[25]
f. ʻIlmu
Talfik al-Hadīṡ.
ʻIlmu Talfik al-Hadīṡ
ialah
suatu ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan suatu hadis yang isinya
berlawanan. Ilmu ini dinamai juga Ilmu Mukhalif al-Hadīṡ. Diantara Ulama
besar yang berusaha menyusun ilmu ini ialah; Al-Imam Syafi’i (204 H), Ibnu
Qurtaibah (276 H), At-Tahawi (321 H), dan lain-lain. Kitabnya bernama al-Tahqiq
yang kemudian disyarahkan oleh al-Ustaẓ Ahmad Muhammad Syakir.
2.
Sejarah
Perkembangan ʻUlūm al-Hadīṡ.
Pada
dasarnya ʻUlūm al-Hadīṡ telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadis,
terutama setelah Rasulullah saw. wafat. Hal ini disebabkan karena Umat Islam
merasa khawatir akan hilang hadis-hadis Nabi saw., para sahabat kemudian
mulai giat melakukan pencatatan dan
periwayatan hadis. Mereka telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan
metode-metode tertentu dalam menerima hadis, namun mereka belumlah mulai menuliskan
kaidah-kaidah tersebut.[26]
Pada masa tabi’in, ulama yang
pertama kali menetapkan dasar-dasar ilmu hadis ialah Ibn Ṣihab al-Zuhri
(51-124 H), sehubungan dengan keahliannya dalam bidang hadis, dan kedudukan
dirinya sebagai pengumpul hadis atas perintah resmi dari Khalifah Umar ibn
Abdul Azis. Pada saat tersebut, ilmu hadis sudah mulai nampak meskipun dalam
bentuk kaidah-kaidah yang simpel dan
sederhana. Pada perkembangan berikutnya kaidah-kaidah itu semakin dikembangkan
oleh para ulama yang muncul pada abad II dan III H., baik yang mengkhususkan
diri dalam mempelajari bidang hadis maupun dalam bidang-bidang lain. Dalam hal
ini, dapat dilihat misalnya para ulama dari Imam Mazhab, juga turut
membicarakan dan menyusun ilmu ini (ʻUlūm al-Hadīṡ). Terlebih lagi
mengalami perkembangan setelah munculnya para Ulama Mudawwin Hadīṡ,
seperti Imam Malik ibn Anas, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Turmudzi, al-Nasa’i,
dan Ibn Majah.[27]
Ulama yang pertama kali menyusun
ilmu hadis dalam suatu disiplin ilmu secara lengkap adalah seorang ulama sunni
bernama al-Qadhi Abu Muhammad al-Hasan
ibn Abdurrahman ibn Khalad al-Ramahurmuzi (w. tahun 360 H), kitabnya
diberi nama al-Muhaddiṡ al-fas al-Baina al-Rawi wa al-Wā’i. Kitab ini
belum mencakup seluruh ilmu hadis, namun meskipun demikian kitab ini pada
masanya merupakan kitab terlengkap yang kemudian dikembangkan oleh para ulama
berikutnya.[28]
Pada perkembangan berikutnya disusun
sebuah kitab ilmu Hadis yang bernama “Al-Kifāyah fi al-ʻIlm al-Riwāyah”
oleh al-Khatib al-Bagdadi Abu Bakar ibn Ahmad bin Ali (w. tahun 463 H). Kitab
ini membahas tentang pedoman-pedoman dalam periwayatan hadis dengan menjelaskan
prinsip-prinsip serta kaidah-kaidah dalam periwayatan hadis serta mazhab para ulama
dalam masalah yang mereka perselisihkan. Perkembangan berikutnya muncul Kitab
al-Ilm Fi Ulūm al-Riwāyah wa al-Sima’ karya Qadhi Iyad ibn Musa al-Yahsubi
(w. tahun 544 H). [29]
Pada permulaan abad XIV H., umat
Islam terbangkitkan oleh sejumlah kekhawatiran yang setiap saat bisa muncul
akibat persentuhan antara dunia Islam dengan dunia Timur dan Barat,
bentrokan militer yang tidak manusiawi, serta kolonialisme pemikiran yang lebih jahat dan lebih bahaya. Kondisi
ini, menuntut disusunya kitab-kitab yang membahas seputar informasi tersebut,
guna menyanggah kesalahan-kesalahan dan kedustaan mereka. Maka tersusunlah
kitab ʻUlūm al-Hadīṡ seperti;
1.
Qawāid al-Tahdīṡ
karya Syeh Jamaluddin al-Qasimi.
2.
Miftah al-Sunnah atau Tarikh Fanun al-Hadīṡ
karya
Abdul Azis al-Khuli.
3.
Al-Sunnah wa Makanatuha Fi al-Tasyri’ al-Islami
karya Dr. Mustafa as-Siba’i.
4.
Al-Hadīṡ Wa al-Muhaddisun karya
Dr. Muhammad Abu Zahw.
Dari penjelasan tersebut dapat
difahami bahwa sejarah ʻUlūm al-Hadīṡ sudah dimulai sejak zaman para sahabat,
setelah Rasulullah saw. meninggal dunia, walaupun pada masa tersebut ilmu hadis
belumlah disusun dalam bentuk buku. Selanjutnya mengalami perkembangan seiring
dengan perkembangan zaman, sebagai bentuk penyempurnaan sekaligus jawaban atau
sanggahan dari fitnah yang dilontarkan oleh orang-orang yang memusuhi Islam dan
ajarannya.
III. ʻUlūm al-Hadīṡ Dalam Aspek Aksiologis.
Membahas ʻUlūm al-Hadīṡ dari aspek aksiologis,
tentunya tidak bisa lepas dan bahkan sangat erat kaitannya dengan pembahasan ʻIlmu
Dirāyah Hadīṡ dan ʻIlmu Riwāyah Hadīṡ. Dalam hal ini, yang ingin
dilihat adalah mamfaat atau faedah dari
mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Jika diperhatikan pembahasan sebelumnya, maka
dapat dipahami bahwa di antara faedah atau mamfaat mempelajari Ilmu-ilmu Hadis
adalah sebagai berikut ;
1.
Kita dapat mengetahui pertumbuan dan
perkembangan hadis dan ilmu hadis dari
masa kemasa, sejak zaman Rasulullah saw. sampai sekarang.
2.
Kita dapat mengetahui tokoh-tokoh
beserta usaha-usaha yang telah mereka
lakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan sebuah hadis.
3.
Kita dapat mengetahui kaidah-kaidah yang
dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan sebuah hadis.
4.
Kita dapat mengetahui istilah-istilah,
nilai-nlai, dan kriteria-kriteria hadis yang akan dijadikan sebagai pedoman
dalam beristinbath.
5.
Kita dapat mengetahui nama-nama hadis
yang maqbūl (dapat diterima) dan yang
mardūd (ditolak).
6.
Kita dapat mengetahui hadis yang belum
dapat diterima dan belum bisa ditolak (hadis yang seharusnya ditawakufkan) sehingga mendapat kejelasan.
7.
Kita dapat terhindar dari kebohongan
riwayat-riwayat yang bukan datangnya dari Nabi saw. ataupun para sahabat. Dan
masih terlalu banyak mamfaat dan faedah yang dapat kita ambil dalam mempelajari
ilmu-ilmu hadis.
Dari beberapa mamfaat dan faedah
yang disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa mamfaat mempelajari ʻIlmu
Dirāyah Hadīṡ Dirayah adalah untuk dapat mengetahui kualitas sebuah hadis,
apakah ia Maqbūl ataukah Mardūd baik dilihat dari sudut sanad ataupun matannya. Sedangkan tujuan dan faedah mempelajari ʻIlmu Riwāyah
Hadīṡ adalah sebagai bentuk pemeliharaan terhadap hadis Nabi saw. agar
tidak lenyap atau hilang, serta terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam
proses periwayatan, penulisan ataupun pembukuannya. Dengan demikian ,
hadis-hadis Nabi saw. dapat terpelihara kemurniannya dan dapat diamalkan
hukum-hukum serta tuntunan yang terkandung didalamnya. Hal ini senada dengan
perintah Allah swt. agar menjadikan Nabi Muhammad saw. sebagai ikutan dan suri
teladan dalam kehidupan ini, sebagaimana Firman Allah dalam Q.S. al-Ahzab; 21
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Artinya; Sesungguhnya telah ada pada
(diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah.[31]
III. PENUTUP
I. Kesimpulan
Berangkat dari pokok permasalahan yang telah diuraikan
diatas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut;
a. Bahwa
ʻUlūm al-Hadīṡ ditinjau dari aspek ontologisnya adalah merupakan
kumpulan dari beberapa ilmu-ilmu hadis yang telah dimulai pada masa ulama mutakadimīn,
lalu kemudian dijadikan sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan yang disebut
ʻIlmu Riwāyah Hadīṡ.
b. Bahwa
ulama mutaakhirūīn secara umum membagi ʻIlmu Riwāyah Hadīṡ kepada dua bagian yaitu ʻIlmu Dirāyah
Hadīṡ (Ilmu Hadis Dirayah) dan ʻIlmu Riwāyah Hadīṡ (Ilmu Hadis
Riwayah).
c. Bahwa
mempelajari ʻIlmu Riwāyah Hadīṡ memberikan
manfaat atau faedah yang, diantaranya adalah menghindari adanya penukilan hadis
yang salah dari sumber pertamanya yaitu Nabi saw., serta bagaimana
mempertahankan hadis-hadis Nabi saw sebagai sumber hukum kedua bagi umat Islam,
dari serangan orang-orang yang tidak senang terhadap Nabi Saw. beserta
ajaran-ajarannya.
II. Saran-saran
Penulis menyadari bahwa masih telalu
banyak kesalahan dan kekhilafan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu
penulis mengharapkan saran dan kritikan yang sifatnya membangun guna kesempurnaan
makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen
Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang : PT. Tanjung Mas Inti, 1992
Ahmad, Muhammad., dan Mudzakkir, Ulumul
Hadis, Cet. III; CV., Bandung Pustaka Setia:, 2004.
Ahmad, Arifuddin, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi,
Edisi II; Ciputat : MSCC, 2005
Azami, M. M., Memahami Ilmu
Hadis-Telaah Metodologi dan Literatur Hadis, Cet. III; Jakarta: Lentera
Basritama, 2003.
Hassan
. Qadir, A, Ilmu Mushthalah Hadits Cet, III; Bandung : CV. Diponegoro, 1987
Khaeruman, Badri, Otentitas Hadis:
Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, Cet. I; Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 2004
Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis,
Cet. IV; Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001.
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu
Hadis, Cet. V; Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002.
As-Shiddieqy, Hasbi, T.M. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, Cet. III;
Jakarta : P.T. Bulan Bintang, 1987.
Salim, Amr Abdul Mun’im, Taysir ʻUlum
al-Hadīṡ Li al-Mubtadi’in; Muẓakkirat Ushul
al-Hadīṡ Li Mubtai’in, Kairo : Maktabah Ibn Taymiah, 1997.
Suparta, Mundzier, Ilmu Hadis,
Edisi 1-4; Jakarta :PT. Raja Grfindo Persada, 2006.
Yuslem, Nawir, Ulumul Hadis, Jakarta
: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001.
[1] Ṣahih
menurut lugah adalah lawan dari saqiem : yang sehat, lawan dari yang
sakit, dan bermakna haq lawan dari baṭil. Sedangkan menurut istilah
terdapat beberapa definisi, diantaranya : “hadis yang sejahtera lafadhnya dari
keburukan susunannya, sejahtera maknanya dari menyalahi ayat, atau khabar mutawatir atau ijma’ dan segala
perawinya orang yang adil. Lihat, T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok
Ilmu Dirayah Hadits (Cet. VII ,
Jakarta : P. T. Bulan Bintang, 1987), h. 109
[2] Hasan menurut lugah adalah “yang dirindui nafsu dan
yang disenanginya”. Sedangkan menurut istilah, ialah “Hadits dinukilkan dari
orang yang adil, yang kurang kuat iingatannya, yang muttashil (bersambung sanadnya) yang musnad jalan datangnya (sampai
kepada Nabi saw.) yang tidak cacat dan tidak mempunyai kejanggalan. Lihat, Ibid., h. 162
[3] Kata Ḍa’if
menurut bahasa adalah ajiz yang
lemah lawan dari yang kuat. Menurut istilah : “Hadits yang tiada mengumpulkan sifat-sifat hadits shahih dan juga tiada mengumpulkan sifat-sifat hadis hasan. Lihat, Ibid. h. 220, Lihat juga, A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah
Hadits (Cet. III ,
Bandung : CV. Diponegoro, 1987), h. 89
[6] Muhammad Ahmad dan Mudzakkir, Ulumul
Hadist ( Cet. III, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2004), h. 12
[7]Kata
taqrir adalah bentuk masdar dari kata kerja qarrara. Dari segi bahasa dapat berarti
penetapan, pengakuan, atau persetujuan. Lihat,
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi (Edisi II, Ciputat : MSCC, 2005), h. 45.
Yang dikutip dari, Muhammad bin Mukran
ibn Mnazhur, Lisan al-‘Arab (Juz. I, Masir : Daar al-Mishriyah,
t.th.). h. 394
[8]Amr
Abdul Mun’im Salim, Taysir Ulum al-Hadiṡ li al-Mubtadi’in, Mudzakkirat, Uṣul
Al-Hadīṡ li al- Mubtadi’in (Kairo,
Maktabah Ibnu Taimiyah, 1997), h. 6
[10]Kata
sanad menurut bahasa ialah “sesuatu
yang kita bersandar kepadanya”. Menurut istilah, “Jalan yang menyampaikan kita
kepada matan hadīṡ”. Lihat, T.
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, h. 42
[11]Kata
matan menurut bahasa, ialah “tengah
jalan, punggung bumi, atau bumi yang keras dan tinggi. Sedang menurut istilah, matan ialah “lafaẓ-lafaẓ hadiṡ, yang
dengan lafaẓ-lafaẓ itulah terbentuk makna”. Lihat, Ibid., h. 44
[15]Lihat,
A. Qadir Hassan, Op. Cit., h. 17
[17] M. M. Azami, Memahami Ilmu Hadist-
Telaah Metodologi dan Literatur Hadist
(Cet.III; Jakarta: Lentera Basritama, 2003), h. 11
[18]Lihat,
A. Qadir Hassan, Op. Cit., h. 17
[31] Departemen
Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang : PT. Tanjung Mas Inti, 1992), h. 670
My Blog List