Posted by : LaSaro' Sabtu, 29 Desember 2012



I. PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadis berbeda dengan Alquran. Alquran sebagai sumber ajaran Islam sudah tidak diragukan lagi untuk dikatakan sebagai wahyu Allah, mengingat proses penerimaan dan penulisannya begitu ketat dan telah terhimpun dalam suatu muṣhaf. Setelah Rasullah saw. wafat, kaum muslimin merasa perlu menjaga kesinambungan wahyu dan kesuciannya. Suatu fakta yang menunjukkan kearah itu adalah proses transmisi dan periwayatan naskah
Alquran hingga tahap pengkodifikasiannya yang telah diperiksa dan disatukan oleh Nabi saw. sendiri. Hafsah kemudian menyampaikannya ke Abu Bakar dan seterusnya. Kenyataan tersebut menjadi bukti yang tidak terbantahkan bahwa naskah Alquran telah dikumpulkan dengan ekstra hati-hati sehingga keabsahan penggunaannya sebagai dasar hukum dan pedoman hidup bagi Umat Islam tidak diragukan lagi.
 Sedangkan untuk hadis-hadis Nabi saw. timbul beragam permasalahan, diantaranya apakah suatu yang diangap orang hadis memang benar-benar hadis atau bukan? Sering sekali kita mendengar atau membaca dalam berbagai karya tulis  tentang petuah-petuah atau perkataan-perkataan ulama yang sudah terlanjur dianggap sebagai hadis, sehingga sangat disanjung-sanjung dan dijadikan pegangan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi,  pada hal sebenarnya bukanlah hadis.
Untuk  mempertahankan kelestarian hadis diperlukan suatu ilmu tersendiri yang membahas tentang hadis, karenanya muncullah istilah metodologi pengumpulan dan penulisan hadis. Sejarah penulisan, pengumpulan dan pembukuan hadis dan ilmu hadis telah melewati serangkaian fase historis yang sangat panjang. Dimulai semenjak Nabi saw, sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga mencapai puncaknya pada kurun abad III H. Perjuangan ulama hadis yang telah berusaha dengan keras dalam melakukan penelitian serta penyeleksian hadis, betul-betul dilakukan dengan sungguh-sungguh. Mereka memilah dan memilih mana hadis yang ṣahih[1], hadis hasan[2] dan mana hadis yang da’if[3]. Dari usaha-usaha mereka itu kemudian melahirkan  metode-metode yang cukup “kaya”,  mulai dari metode penyusunan dalam berbagai bentuknya (musnad, sunan, jami’ dan lain-lain) hingga kepada kaidah-kaidah penelusuran hadis.  Kaidah-kaidah tersebut, kemudian berkembang menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri  yang disebut dengan “ʻUlūm al-Hadīṡ.
Pembukuan hadis baru dapat dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama (hampir satu abad) setelah wafat Nabi saw, ditambah lagi dengan kenyataan sejarah bahwa banyak hadis-hadis yang dipalsukan, maka keabsahan hadis-hadis yang beredar dikalangan kaum muslimin menjadi perdebatan.  meskipun mereka telah meneliti dengan seksama. Kondisi tersebut, sering dijadikan senjata oleh pihak lawan untuk mendiskreditkan hadis-hadis Nabi saw., dan merongrong keyakinan Umat Islam. Lebih-lebih lagi diketahui bahwa lingkungan Nabi saw. sangat miskin dari budaya baca tulis. Meskipun  mereka dikenal sebagai komunitas yang mempunyai hapalan yang kuat, namun hal itu sifatnya sangat subjektif. Oleh karena itu, mempelajari ilmu hadis  sebagai sebuah metodologi sangatlah penting bagi kaum muslimin guna menangkis segala tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang memusuhi  Agama Islam dan umatnya.
B.     Rumusan Masalah.
Berdasarkan pada uraian-uraian pada latar belakang di atas, maka dapatlah dikemukakan bahwa permasalahan-permasalahan yang menjadi inti pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana ʻUlūm al-Hadīṡ  jika dilihat dari aspek ontologis ?
2.      Bagaimana ʻUlūm al-Hadīṡ  jika dilihat dari aspek epistemologis ?
3.      Bagaimana ʻUlūm al-Hadīṡ  jika dilihat dari aspek aksiologis.?

II. PEMBAHASAN
A.       ʻUlūm al-Hadīṡ  dalam Aspek Ontologis.
Dilihat dari aspek ontologis, yang menjadi pokok bahasan dalam ʻUlūm al-Hadīṡ mencakup dua hal, yakni : 1. Pengertian ʻUlūm al-Hadīṡ, dan 2. Perbedaan pendapat ulama tentang ʻUlūm al-Hadīṡ.
1.      Pengertian ʻUlūm al-Hadīṡ.
Istilah “ʻUlūm al-Hadīṡ terdiri dari dua suku kata, yaitu “ʻUlūm dan “al-Hadīṡ”. Kata “ʻUlūmdalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari “ʻIlm” yang berarti ilmu.[4]  Sedangkan “al-Hadīṡ” menurut pengertian ulama hadis ialah;
أقوال وأفعال وأحوال النبي صلى الله عليه وسلم
“Segala perkataan, perbuatan, dan hal ihwal Nabi saw”.[5]
Yang dimaksud dengan hal ihwal, ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi saw. yang berkaitan dengan perkataan atau perbuatan, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya. Pengertian hadis ini mempunyai cakupan yang sangat luas, tidak terbatas pada apa yang disandarkan kepada Nabi saw. saja, melainkan juga apa yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.[6]   Sebagian ulama juga berpendapat bahwa hadis  itu meliputi sabda Nabi saw., perbuatan, dan taqrir[7] (ketetapan) darinya. Sebagian yang lainnya berpendapat bahwa hadis itu juga meliputi perkataan, pebuatan dan taqrir sahabat atau bahkan tabi’in.[8] Tetapi ulama hadis umumnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hadis ialah segala sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi saw. [9]
Apabila kedua kata tersebut (ʻUlūm dan al-Hadīṡ) dirangkaikan menjadi satu, diperoleh suatu pengertian bahwa ʻUlūm al-Hadīṡ  adalah suatu ilmu yang membahas tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan sabda Nabi saw., perbuatan, dan taqrirnya. Bahkan, dalam pengertian luas,  juga termasuk perbuatan dan taqrir sahabat atau bahkan tabi’in.
2.  Perbedaan Pandangan Ulama Tentang ʻUlūm al-Hadīṡ.
Apabila persoalan ini ditelusuri secara mendalam, maka sebenarnya tidak dijumpai pertentangan pendapat secara signifikan diantara para ulama seputar masalah ʻUlūm al-Hadīṡ. Baik itu ulama mutaqaddimin, ataupun juga juga ulama mutaakhirin. Ulama mutaqaddimin misalnya, mengemukakan bahwa yang menjadi tema pokok dalam pembahasan ʻUlūm al-Hadīṡ adalah kaidah-kaidah dalam mengetahui hal ihwal sanad[10] dan matan[11] hadis. Sementara ulama mutaakhkhirīn tidak menjadikan definisi tersebut  sebagaimana ulama mutaqaddimīn, akan tetapi hanya menjadikan sebagai bagian pengertian  salah satu cabang dari ilmu Hadis itu sendiri. Yakni ʻIlmu Dirāyah Hadīṡ (Ilmu Hadis Dirayah).
Seperti dikatakan oleh As-Sayuthi  bahwa para Ulama Mutaakhkhirīn memakai definisi tersebut untuk definisi ʻIlmu Dirāyah Hadīṡ sebagai salah satu bagian dari Ilmu Hadis.[12]  Bagian yang lain dari ilmu ini adalah ʻIlmu Riwāyah Hadiṡ (Ilmu Hadis Riwayah). Kedua pembagian ilmu hadis tersebut, selanjutnya menjadi inti pembahasan makalah ini sebagai cabang dari “ʻUlūm al-Hadīṡ.
Kesimpulannya, baik ulama mutaqaddimīn maupun ulama mutaakhkhirīn sepakat berpendapat bahwa pokok bahasan dalam ʻUlūm al-Hadīṡ, adalah seputar permasalahan tentang matan dan sanad hadis. Adapun perbedaannya tidak lain disebabkan karena dikalangan Ulama Mutaakhkhirīn kemudian memunculkan suatu Ilmu baru yang berdiri sendiri dan mengkonsentrasikan pembahasannya terhadap suatu masalah tertentu, yakni bagaimana cara menerima, menyampaikan, memindahkan (mendiwankan) suatu hadis kepada orang lain. Ilmu Hadis ini kemudian dikenal dengan nama ʻIlmu Hadīṡ Riwāyah (Ilmu Riwayah Hadis).             
B.  ʻUlūm al-Hadīṡ Dalam Aspek Epistemologi.
ʻUlūm al-Hadīṡ ditinjau dari aspek epistemologinya, maka yang menjadi pokok pembahasan meliputi dua bagian, yaitu cabang-cabang ʻUlūm al-Hadīṡ dan sejarah perkembangan ʻUlūm al-Hadīṡ.
1.        Cabang-cabang ʻUlūm al-Hadīṡ.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa ʻUlūm al-Hadīṡ  menurut ulama mutaakhkhirīn secara garis besarnya terdiri atas dua bagian, yaitu ʻIlmu Riwāyah Hadīṡ (Ilmu Hadis Riwayah) dan ʻIlmu Dirāyah Hadīṡ (Ilmu Hadis Dirayah).
a.  ʻIlmu Riwāyah Hadīṡ
Kata “riwāyah” secara bahasa diartikan sebagai periwayatan atau cerita. Secara terminologi, yang dimaksud dengan ʻIlmu Riwāyah Hadīṡ adalah: “Ilmu yang menukilkan segala yang disandarkan kepada Nabi saw., baik beupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya. Begitu juga yang menukilkan segala yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in”.[13]
Definisi tersebut merupakan definisi yang mengacu kepada rumusan hadis secara luas. Sedangkan yang mengacu kepada rumusan hadis secara sempit, maka ʻIlmu Riwāyah Hadīṡ  diartikan sebagai segala yang disandarkan kepada Nabi saw., tidak termasuk yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in. Seperti pengertian yang dikemukakan oleh T. M. Hasbi ash-Shiddieqy bahwa ʻIlmu Riwāyah Hadīṡ adalah ilmu yang menukilkan segala apa yang disandarkan kepada Nabi saw., baik perkataan, perbuatan, taqrir ataupun sifat anggota tubuh, ataupun sifat perangai. [14] Hal yang sama juga dikemukakan oleh A. Qadir Hassan mengutif definisi dalam kitab “Minhat al-Mugieṣ" bahwa ʻIlmu Riwāyah Hadīṡ adalah suatu ilmu yang mengandung pembicaraan tentang mengkhabarkan sabda-sabda Nabi saw., perbuatan-perbuatannya, hal-hal yang beliau benarkan, atau sifat-sifatnya sendiri. [15]
   Berdasarkan pada beberapa definisi di atas, dapat difahami bahwa yang menjadi objek pembahasan dari ʻIlmu Riwāyah Hadīṡ  adalah bagaimana cara menerima, menyampaikan,dan memindahkan (mendiwankan) suatau hadis kepada orang lain. Ilmu ini tidak membicarakan tentang syaz  (kejanggalan) serta illat  (kecacatan) matan hadis. Demikian pula ilmu ini tidak membicarakan tentang kualitas para perawi[16] baik dari segi keadilannya, keḍabitan ataupun kefasikannya.[17]
b.       ʻIlmu Dirāyah Hadīṡ
ʻIlmu Dirāyah Hadīṡ  ialah ilmu yang di dalamnya dibahaskan tentang makna yang dipahamkan dari lafaẓ-lafaẓ hadis dan apa yang dikehendaki dari padanya, berdasarkan kaidah-kaidah Lugah Arabiyah, kaidah-kaidah syarīʻah dan bersesuaian dengan keadaan-keadaan Nabi saw.[18] Sebagian Ulama lainnya mendifinisikan bahwa  ʻIlmu Dirāyah Hadīṡ   adalah : Ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, serta untuk mengetahui keadaan para perāwi. Baik syarat-syaratnya, macam-macam hadis yang diriwayatkan dan segala yang berkaitan dengannya.[19]
Berdasarkan pada definisi tersebut, dapat diketahui bahwa objek pembahasan ʻIlmu Dirāyah Hadīṡ  adalah keadaan para perāwi dan marwinya. Keadaan para perāwi meliputi baik yang menyangkut pribadinya, keadaan hafalannya, maupun yang menyangkut persambungan dan terputusnya sanad. Sedang keadaan rāwi yang dimaksud adalah sudut keṣahihan, keḍa’ifan serta sudut-sudut lain yang berkaitan dengan keadaan matan. Dari kedua cabang ilmu ini, pada perkembangan berikutnya muncullah cabang-cabang ilmu hadis, antara lain, seperti ; ʻIlmu Rijāl al-Hadīṡ, ʻIlmu al-Jārh Wa al-Ta’dīl, ʻIlmu Illa al-Hadīṡ, ʻIlmu Nāsikh Wa al-Mansūkh, ʻIlmu Asbab al-Wurūd al-Hadīṡ, ʻIlmu Talfīk al-Hadīṡ, dan lain-lain. Berikut ini penjelasan singkat ilmu-ilmu yang dimaksud :
a. ʻIlmu Rijāl al-Hadīṡ
Pengertian ʻIlmu Rijal al-Hadīṡ adalah;
علم يبحث فيه عن رواة الحديث من الصحابة والتابعين ومن بعدهم
"Ilmu yang membahas tentang para perawi hadis, baik dari sahabat, tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya”.[20]
Mempelajari ilmu ini, kita dapat mengetahui keadaan para perawi yang menerima hadis dari Rasullah, serta keadaan para perawi yang menerima hadis dari sahabat dan seterusnya.[21] Dalam ilmu ini diterangkan sejarah ringkas dari riwayat hidup para perawi, mazhab yang dipegang oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu dalam menerima hadis.
Kitab yang disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya. Ada yang hanya menerangkan riwayat ringkas para sahabat, menerangkan riwayat umum para perawi-perawi, menerangkan para perawi yang dipercayai saja, menerangkan riwayat para perawi yang dianggap lemah atau mudallis atau para pemuat hadis maudu’ dan lain-lain. Diantara para ulama yang telah menyusun  riwayat ringkas para sahabat adalah Al-Bukhari (256 H), Ibnu Abdil Barr (463 H) dengan kitabnya Al-Istiab.
Pada permulaan abad VII H., Izuddin Ibn Atsir (630 H) mengumpulkan kitab yang telah disusun sebelum masanya dan dinamai Usdul Gabah. Pada abad IX H., al-Hafid Ibn Hajar menyusun sebuah kitab yang diberi nama Al-Ishabah. Kitab ini merupakan kumpulan dari kitab Al-Istiab dan Usdul Gabah dan ditambah dengan apa yang tidak terdapat dalam kedua kitab tersebut.
b. ʻIlmu al-Jārh Wa al-Ta’dīl.
ʻIlmu al-Jārh Wa al-Ta’dīl pada hakikatnya merupakan suatu bagian dari ʻIlmu Rijāl al-Hadīṡ. Akan tetapi, karena bagian ini dipandang sebagai yang terpenting, maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Dari penamaannya saja maka kita dapat mengetahui bahwa pembahasan dalam ilmu ini adalah meliputi catatan yang dihadapkan pada perawi dan tentang penakdilan serta kata-kata yang dipakainya, begitu juga martabat dari kata-kata tersebut. Mempelajari ilmu ini sangatlah baik agar seseorang dapat terhindar dari riwayat-riwayat yang dianggap datangnya dari Nabi saw. atau para sahabatnya, padahal hanyalah merupakan riwayat-riwayat palsu yang sengaja dibuat oleh orang-orang yang tidak senang terhadap Nabi saw. dan ajaran-ajarannya.
Diantara para sahabat yang menyebutkan keadaan perawi-perawi hadis adalah Ibn Abbas (68 H), Ubadah Ibn Shamit (34 H), Anas Ibn Malik (93 H), dan lain-lain. Dari kalangan terakhir masa tabi’in yaitu sekitar tahun 150 H, para ahli mulai menyebutkan keadaan-keadaan para perawi, mena’dīl dan menajrihkan mereka. Diantara Ulama besar yang memberikan perhatian dalam bidang ini adalah Yahya Ibn Said Al-Khattan (189 H), Abdurrahman Ibn Mahdi (198 H), serta ulama-ulama berikutnya.
Kitab yang disusun mengenai jarh dan ta’dīl , ada beberapa macam. Ada yang menerangkan orang-orang yang dipercayai saja, menerangkan orang yang lemah atau menaldiskan dan ada pula yang melengkapi keduanya. Diantara kitab yang melengkapi semua itu adalah kitab Ṭabaqāt yang disusun oleh Muhammad Ibn Saad Az-Zuhri Al-Basari (230 H).
c. ʻIlmu Illa al-Hadīṡ.
علم يبحث فيه عن أسباب غامضة خفية قادحة فى صحة الحديث
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembuyi, tidak nyata yang dapat mencacatkan hadis”.[22]
Pengertian yang dimaksudkan dalam ilmu ini, adalah menyambung yang mungqati, merafa’kan yang mauquf, memasukkan suatu hadis kedalam hadis yang lain, dan yang serupa dengan itu semua. Bila diketahui , maka dapat merusakkan keṣahihan hadis. Diantara ulama yang menulis ilmu ini ialah Ibn Mandini (234 H), Ibn Abi Hatim (327 H), kitab beliau dinamai Kitab Illa al-Hadīṡ. Selain itu Ulama yang menulis kitab ini adalah Al-Imam Muslim (261 H), Ad-Daruqutni (357 H), dan Muhammad Ibn Abdillah Al-Hakim.
d. ʻIlm al-Nāsikh wa al-Mansūkh.
علم يبحث فيه عن الناسخ والمنسوخ من الأحاديث
“Ilmu yang menerangkan hadis-hadis yang sudah dimansukhkan dan yang menasikhkannya”.[23]
Apabila didapati suatu hadis yang maqbul, tidak ada yang memberikan perlawanan maka hadis tersebut dinamai muhkam. Namun jika dilawan oleh hadis yang sederajat, tetapi dikumpulkan dengan mudah maka hadis tersebut dinamai mukhatakif al-Hadīṡ.  Jika tak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian dinamai nāsikh dan yang terdahulu dinamai mansūkh.[24]
Terdapat beberapa ulama yang telah menyusun kitab al-Nāsikh wa al-Mansūkh, diantaranya adalah ; Ahmad Ibn Ishak Ad-Dinary (318 H), Muhammad Ibn Bahar Al-Asbahani (322 H), Ahmad ibn Muhammad An-Nahhas (338 H), Muhammad ibn Musa Al-Hazimi (584 H) menyusun kitab yang dinamai al-Iktibar, yang kemudian diringkaskan oleh Ibn Abdil Haq     (744 H).
e.ʻIlmu Asbāb al-Wurūd al-Hadīṡ.
ʻIlmu Asbāb al-Wurūd al-Hadīṡ ini sangat penting diketahui karena dapat menolong kita dalam memahami hadis, sebagaimana ilmu Asbāb al-Nuzūl dapat membantu kita dalam memahami Alquran. Ulama yang  mula-mula menyusun kitab ini dan kitabnya ada dalam masyarakat adalah Abu Hafas Ibn Umar Muhammad ibn Raja Al-Ukhbari. Kemudian dituliskan pula oleh Ibrahim ibn Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah Al-Huzaini (1120 H), dalam kitabnya Al-Bayan wa al-Tarif dan dicetak pada tahun 1329 H.[25]
f. ʻIlmu Talfik al-Hadīṡ.
ʻIlmu Talfik al-Hadīṡ ialah suatu ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan suatu hadis yang isinya berlawanan. Ilmu ini dinamai juga Ilmu Mukhalif al-Hadīṡ. Diantara Ulama besar yang berusaha menyusun ilmu ini ialah; Al-Imam Syafi’i (204 H), Ibnu Qurtaibah (276 H), At-Tahawi (321 H), dan lain-lain. Kitabnya bernama al-Tahqiq yang kemudian disyarahkan oleh al-Ustaẓ Ahmad Muhammad Syakir.
2.      Sejarah Perkembangan ʻUlūm al-Hadīṡ.
Pada dasarnya ʻUlūm al-Hadīṡ telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadis, terutama setelah Rasulullah saw. wafat. Hal ini disebabkan karena Umat Islam merasa khawatir akan hilang hadis-hadis Nabi saw., para sahabat kemudian mulai  giat melakukan pencatatan dan periwayatan hadis. Mereka telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu dalam menerima hadis, namun mereka belumlah mulai menuliskan kaidah-kaidah tersebut.[26]
            Pada masa tabi’in, ulama yang pertama kali menetapkan dasar-dasar ilmu hadis ialah Ibn Ṣihab al-Zuhri (51-124 H), sehubungan dengan keahliannya dalam bidang hadis, dan kedudukan dirinya sebagai pengumpul hadis atas perintah resmi dari Khalifah Umar ibn Abdul Azis. Pada saat tersebut, ilmu hadis sudah mulai nampak meskipun dalam bentuk kaidah-kaidah yang simpel dan sederhana. Pada perkembangan berikutnya kaidah-kaidah itu semakin dikembangkan oleh para ulama yang muncul pada abad II dan III H., baik yang mengkhususkan diri dalam mempelajari bidang hadis maupun dalam bidang-bidang lain. Dalam hal ini, dapat dilihat misalnya para ulama dari Imam Mazhab, juga turut membicarakan dan menyusun ilmu ini (ʻUlūm al-Hadīṡ). Terlebih lagi mengalami perkembangan setelah munculnya para Ulama Mudawwin Hadīṡ, seperti Imam Malik ibn Anas, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Turmudzi, al-Nasa’i, dan Ibn Majah.[27]
            Ulama yang pertama kali menyusun ilmu hadis dalam suatu disiplin ilmu secara lengkap adalah seorang ulama sunni bernama al-Qadhi  Abu Muhammad al-Hasan ibn Abdurrahman ibn Khalad al-Ramahurmuzi (w. tahun 360 H), kitabnya diberi nama al-Muhaddiṡ al-fas al-Baina al-Rawi wa al-Wā’i. Kitab ini belum mencakup seluruh ilmu hadis, namun meskipun demikian kitab ini pada masanya merupakan kitab terlengkap yang kemudian dikembangkan oleh para ulama berikutnya.[28]
            Pada perkembangan berikutnya disusun sebuah kitab ilmu Hadis yang bernama “Al-Kifāyah fi al-ʻIlm al-Riwāyah” oleh al-Khatib al-Bagdadi Abu Bakar ibn Ahmad bin Ali (w. tahun 463 H). Kitab ini membahas tentang pedoman-pedoman dalam periwayatan hadis dengan menjelaskan prinsip-prinsip serta kaidah-kaidah dalam periwayatan hadis serta mazhab para ulama dalam masalah yang mereka perselisihkan. Perkembangan berikutnya muncul Kitab al-Ilm Fi Ulūm al-Riwāyah wa al-Sima’ karya Qadhi Iyad ibn Musa al-Yahsubi (w. tahun 544 H). [29]
            Pada permulaan abad XIV H., umat Islam terbangkitkan oleh sejumlah kekhawatiran yang setiap saat bisa muncul akibat persentuhan antara dunia Islam dengan dunia Timur dan Barat, bentrokan militer yang tidak manusiawi, serta kolonialisme pemikiran yang lebih jahat dan lebih bahaya. Kondisi ini, menuntut disusunya kitab-kitab yang membahas seputar informasi tersebut, guna menyanggah kesalahan-kesalahan dan kedustaan mereka. Maka tersusunlah kitab ʻUlūm al-Hadīṡ  seperti;
1.      Qawāid al-Tahdīṡ karya Syeh Jamaluddin al-Qasimi.
2.      Miftah al-Sunnah atau Tarikh Fanun al-Hadīṡ karya Abdul Azis al-Khuli.
3.      Al-Sunnah wa Makanatuha Fi al-Tasyri’ al-Islami karya Dr. Mustafa as-Siba’i.
4.      Al-Hadīṡ Wa al-Muhaddisun karya Dr. Muhammad Abu Zahw.
5.      Al-Manhaj al-Hadīṡ fi ʻUlum al-Hadiṡ karya al-Ustaẓ Dr. Syekh Muhammad as-Simahi.[30]
            Dari penjelasan tersebut dapat difahami bahwa sejarah ʻUlūm al-Hadīṡ  sudah dimulai sejak zaman para sahabat, setelah Rasulullah saw. meninggal dunia, walaupun pada masa tersebut ilmu hadis belumlah disusun dalam bentuk buku. Selanjutnya mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan zaman, sebagai bentuk penyempurnaan sekaligus jawaban atau sanggahan dari fitnah yang dilontarkan oleh orang-orang yang memusuhi Islam dan ajarannya.
III. ʻUlūm al-Hadīṡ Dalam Aspek Aksiologis.
            Membahas ʻUlūm al-Hadīṡ dari aspek  aksiologis, tentunya tidak bisa lepas dan bahkan sangat erat kaitannya dengan pembahasan ʻIlmu Dirāyah Hadīṡ dan ʻIlmu Riwāyah Hadīṡ. Dalam hal ini, yang ingin dilihat adalah  mamfaat atau faedah dari mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Jika diperhatikan pembahasan sebelumnya, maka dapat dipahami bahwa di antara faedah atau mamfaat mempelajari Ilmu-ilmu Hadis adalah sebagai berikut ;
1.      Kita dapat mengetahui pertumbuan dan perkembangan hadis dan ilmu  hadis dari masa kemasa, sejak zaman Rasulullah saw. sampai sekarang.
2.      Kita dapat mengetahui tokoh-tokoh beserta usaha-usaha yang telah mereka  lakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan sebuah hadis.
3.      Kita dapat mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan sebuah hadis.
4.      Kita dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nlai, dan kriteria-kriteria hadis yang akan dijadikan sebagai pedoman dalam beristinbath.
5.      Kita dapat mengetahui nama-nama hadis yang maqbūl (dapat diterima) dan yang mardūd (ditolak).        
6.      Kita dapat mengetahui hadis yang belum dapat diterima dan belum bisa ditolak (hadis yang seharusnya ditawakufkan) sehingga mendapat kejelasan.
7.      Kita dapat terhindar dari kebohongan riwayat-riwayat yang bukan datangnya dari Nabi saw. ataupun para sahabat. Dan masih terlalu banyak mamfaat dan faedah yang dapat kita ambil dalam mempelajari ilmu-ilmu hadis.
            Dari beberapa mamfaat dan faedah yang disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa mamfaat mempelajari ʻIlmu Dirāyah Hadīṡ Dirayah adalah untuk dapat mengetahui kualitas sebuah hadis, apakah ia Maqbūl ataukah Mardūd baik dilihat dari sudut sanad ataupun matannya. Sedangkan tujuan dan faedah mempelajari ʻIlmu Riwāyah Hadīṡ adalah sebagai bentuk pemeliharaan terhadap hadis Nabi saw. agar tidak lenyap atau hilang, serta terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam proses periwayatan, penulisan ataupun pembukuannya. Dengan demikian , hadis-hadis Nabi saw. dapat terpelihara kemurniannya dan dapat diamalkan hukum-hukum serta tuntunan yang terkandung didalamnya. Hal ini senada dengan perintah Allah swt. agar menjadikan Nabi Muhammad saw. sebagai ikutan dan suri teladan dalam kehidupan ini, sebagaimana Firman Allah dalam Q.S. al-Ahzab; 21
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Artinya; Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.[31]

III. PENUTUP
I.   Kesimpulan
            Berangkat dari  pokok permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut;
a.       Bahwa ʻUlūm al-Hadīṡ ditinjau dari aspek ontologisnya adalah merupakan kumpulan dari beberapa ilmu-ilmu hadis yang telah dimulai pada masa ulama mutakadimīn, lalu kemudian dijadikan sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan yang disebut ʻIlmu Riwāyah Hadīṡ.
b.      Bahwa ulama mutaakhirūīn secara umum membagi ʻIlmu Riwāyah Hadīṡ kepada dua bagian yaitu ʻIlmu Dirāyah Hadīṡ (Ilmu Hadis Dirayah) dan ʻIlmu Riwāyah Hadīṡ (Ilmu Hadis Riwayah).
c.       Bahwa mempelajari ʻIlmu Riwāyah Hadīṡ memberikan manfaat atau faedah yang, diantaranya adalah menghindari adanya penukilan hadis yang salah dari sumber pertamanya yaitu Nabi saw., serta bagaimana mempertahankan hadis-hadis Nabi saw sebagai sumber hukum kedua bagi umat Islam, dari serangan orang-orang yang tidak senang terhadap Nabi Saw. beserta ajaran-ajarannya.

II. Saran-saran
            Penulis menyadari bahwa masih telalu banyak kesalahan dan kekhilafan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritikan yang sifatnya membangun guna kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang : PT. Tanjung Mas Inti, 1992

Ahmad, Muhammad., dan Mudzakkir, Ulumul Hadis, Cet. III; CV., Bandung Pustaka Setia:, 2004.
Ahmad, Arifuddin, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi,  Edisi II; Ciputat : MSCC, 2005
Azami, M. M., Memahami Ilmu Hadis-Telaah Metodologi dan Literatur Hadis, Cet. III; Jakarta: Lentera Basritama, 2003.
Hassan . Qadir,  A, Ilmu Mushthalah Hadits Cet, III; Bandung : CV. Diponegoro, 1987
Khaeruman, Badri, Otentitas Hadis: Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, Cet. I; Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2004
Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, Cet. IV; Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001.
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Cet. V; Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002.
As-Shiddieqy, Hasbi, T.M. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, Cet. III; Jakarta : P.T. Bulan Bintang, 1987.
Salim, Amr Abdul Mun’im, Taysir ʻUlum al-Hadīṡ Li al-Mubtadi’in; Muẓakkirat Ushul  al-Hadīṡ Li Mubtai’in, Kairo : Maktabah Ibn Taymiah, 1997.
Suparta, Mundzier, Ilmu Hadis, Edisi 1-4; Jakarta :PT. Raja Grfindo Persada, 2006.
Yuslem, Nawir, Ulumul Hadis, Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya, 2001.

[1] Ṣahih menurut lugah adalah lawan dari saqiem : yang sehat, lawan dari yang sakit, dan bermakna haq lawan dari baṭil. Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa definisi, diantaranya : “hadis yang sejahtera lafadhnya dari keburukan susunannya, sejahtera maknanya dari menyalahi ayat, atau khabar mutawatir atau ijma’ dan segala perawinya orang yang adil. Lihat, T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits (Cet. VII , Jakarta : P. T. Bulan Bintang, 1987), h. 109
[2] Hasan menurut lugah adalah “yang dirindui nafsu dan yang disenanginya”. Sedangkan menurut istilah, ialah “Hadits dinukilkan dari orang yang adil, yang kurang kuat iingatannya, yang muttashil (bersambung sanadnya) yang musnad jalan datangnya (sampai kepada Nabi saw.) yang tidak cacat dan tidak mempunyai kejanggalan. Lihat, Ibid., h. 162
[3] Kata Ḍa’if menurut bahasa adalah ajiz yang lemah lawan dari yang kuat. Menurut istilah : “Hadits yang tiada mengumpulkan sifat-sifat hadits shahih dan juga tiada mengumpulkan sifat-sifat hadis hasan. Lihat, Ibid. h. 220, Lihat juga, A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits (Cet. III , Bandung : CV. Diponegoro, 1987), h. 89
[4] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta : PT.Mutiara Sumber Widya, 2001), h. 1
[5] Munzier Suparta, Ilmu Hadist (Edisi 1-4., Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h.. 2
[6] Muhammad Ahmad dan Mudzakkir, Ulumul Hadist ( Cet. III, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2004), h. 12
[7]Kata taqrir adalah bentuk masdar dari kata kerja qarrara. Dari segi bahasa dapat berarti penetapan, pengakuan, atau persetujuan. Lihat,  Arifuddin Ahmad,  Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi  (Edisi II, Ciputat : MSCC, 2005), h. 45. Yang dikutip dari,  Muhammad bin Mukran ibn Mnazhur, Lisan al-‘Arab  (Juz. I, Masir : Daar al-Mishriyah, t.th.). h. 394
[8]Amr Abdul Mun’im Salim, Taysir Ulum al-Hadiṡ li al-Mubtadi’in, Mudzakkirat, Uṣul Al-Hadīṡ li al- Mubtadi’in  (Kairo, Maktabah Ibnu Taimiyah, 1997), h. 6
[9]Lihat, Arifuddin Ahmad,  Op. cit., h. 16
[10]Kata sanad menurut bahasa ialah “sesuatu yang kita bersandar kepadanya”. Menurut istilah, “Jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadīṡ”. Lihat,  T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, h. 42
[11]Kata matan menurut bahasa, ialah “tengah jalan, punggung bumi, atau bumi yang keras dan tinggi. Sedang menurut istilah, matan ialah “lafaẓ-lafaẓ hadiṡ, yang dengan lafaẓ-lafaẓ  itulah terbentuk makna”. Lihat, Ibid., h. 44
[12]Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadist, (Cet. IV, Jakarta :  Gaya Media Pratama, 2001), h. 74
[13] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadist  (Cet. V; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h.41
[14]Lihat, T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Op Cit.,  h.20
[15]Lihat, A. Qadir Hassan, Op. Cit., h. 17
[16] Rawi adalah yang menceritakan, yang meriwayatkan.. Lihat,  Ibid., h. 23
[17] M. M. Azami, Memahami Ilmu Hadist- Telaah Metodologi dan Literatur Hadist  (Cet.III; Jakarta: Lentera Basritama, 2003), h. 11
[18]Lihat, A. Qadir Hassan, Op. Cit.,  h. 17
[19] Munzier Suparta, Op.Cit., h. 26
[20] Muhammad Ahmad- M. Mudzakkir, Op.Cit.,h. 57
[21] Ibid., h. 58
[22] Ibid., h.61
[23] Ibid., h. 62
[24] Ibid., h. 62
[25] Ibid., h.63
[26] Nawir Yuslem., Op. Cit., h. 15
[27] Utang Ranuwijaya., Op. Cit., h. 88
[28] Ibid., h. 88
[29] Ibid., h. 88
[30] Lihat, Muhammad Ahmad- M. Mudzakkir, Op. Cit., h. 48-49
[31] Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang : PT. Tanjung Mas Inti, 1992), h. 670

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

My Blog List

Assalamu Alaikum Warahmatulah Wabarakatuh

Burung

Senoga Bermanfaat-Jangan Lupa Meninggalkan Komentar
Awali Segalanya Dengan "Bismillahir Rahmanir Rahiim" Akan Dapat BerkahNya

Blogroll

Popular Post

Followers

Trsnalate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jadwal Shalat

Download Software Gratis

SMS Gratis

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

- Copyright © 2013 Auliya AS Hamdi Blog -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -