- Back to Home »
- Tafsir-Ilmu Tafsir »
- Fawatih al-Suwar
Posted by : LaSaro'
Jumat, 11 Januari 2013
FAWATIH AL-SUWAR
A.
Pengertian
dan Macam-macam Bentuk Fawatih Al-Suwar
Al-Qur’anul karim merupakan kitab suci yang
keautentikannya dijamin oleh Allah, dan ia merupakan kitab yang senantiasa
dipelihara hingga hari kiamat. Hal itu ditegaskan oleh Allah dan firman-Nya:
Terjemahnya:“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur'an,
dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (Q.S. al-Hijr/15:9)
Demikianlah Allah menjamin keautentikan
Al-Qur’an, jaminan yang diberikan atas dasar kemahakuasaan dan
kemahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh makhluk-
makhluk-Nya, terutama oleh manusia. Demikian jaminan ayat di atas, setiap
muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarkannya sebagai al-Qur’an tidak
berbeda sedikit pun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah saw., dan
yang didengar serta dibaca oleh para sahabat Nabi saw. "Apabila
kita membaca al-Qur’an yang diturunkan kepada manusia secara global, akan kita
dapati bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu ada
yang bersifat muhkan dan ada juga yang mutasyabihat".[1]
Boleh jadi kita mengatakan bahwa semua ayat al-Qur’an adalah muhkam, dan kita
pun dapat mengatakan bahwa semua ayat al-Qur’an mutasyabihat. Hal ini
berlandaskan kepada Surah Hud ayat 1 (untuk muhkam) dan pada Surah Az Zumar
ayat 23 (untuk mutasyabihat).
Fawatih
Suwari adalah kalimat-kalimat yang dipakai untuk pembukaan surah, ia merupakan
bagian dari ayat Mutasyabihat. Karena ia bersifat mujmal, mu’awwal, dan
musykil. Di dalam al-Qur’an terdapat huruf-huruf awalan dalam
pembuka surah dalam bentuk yang berbeda-beda. Hal ini merupakan salah satu ciri
kebesaran Allah dan kemahatahuan-Nya, sehingga kita terpanggil untuk menggali
ayat-ayat tersebut. Dengan adanya suatu keyakinan bahwa semakin dikaji ayat
al-Qur’an itu, maka semakin luas pengetahuan kita. Hal ini dapat dibuktikan
dengan. perkembangan ilmu tafsir yang kita lihat hingga sekarang ini.[2]
Di sini hanya dikemukakan deskripsi tentang fawatih suwari
sebagai salah satu kajian tafsir, dengan mengemukakan macam-macam bentuk serta
pendapat ulama tentang hal tersebut.
1.
Macam-macam
bentuk Fawatih Al-Suwar
Setelah
basmalah, pada permulaan dua puluh Sembilan surah di dalam al-Qur’an terdapat
satu atau sekelompok huruf hijaiyah yang biasanya dibaca sebagai huruf-huruf
terpisah atau berdiri sendiri. Sejumlah nama lazimya digunakan untuk merujuk
kepada huruf-huruf tersebut, seperti fawatih al-suwar (pembuka-pembuka surah),
awail al-suwar (permulaan-permulaan surah), al-huruf al-muqatta’ah/at
(huruf-huruf potong/terpisah), dan sebagainya. Sementara sebutan yang lazim
digunakan sarjana Barat ketika merujuk pada huruf-huruf tersebut adalah
“huruf-huruf misterius”.[3]
Meskipun penulis tidak menemukan
penjelasan definitif tentang arti fawatih al-suwar dari berbagai referensi yang
ada, namun fawatih al-suwar secara khusus[4]
yang dimaksudkan dalam makalah ini adalah huruf-huruf hijaiyah yang menempati
awal surah-setelah basmalah-yang biasanya dibaca sebagai huruf-huruf terpisah,
yang terdapat pada dua puluh sembilan surah dalam al-Qur’an.
Potongan huruf-huruf hijaiyah yang
terdapat pada sejumlah surah al-Qur’an, ada kalanya hanya muncul sekali-secara
tunggal atau dalam kombinasi dan sebelum surah-surah yang tersendiri, tetapi
juga terdapat kombinasi-kombinasi lain yang muncul sebelum beberapa surah, dan
surah-surah yang memiliki huruf-huruf kombinasi yang sama berada dalam satu
kelompok.[5] Namun secara garis besarnya
ada lima bentuk awalan yang dimulai oleh fawatih al-suwar tersebut, yang dapat
dilihat dalam al-Qur’an, yakni:
Ada lima bentuk awalan yang dapat dilihat dalam al-Qur’an. Hal ini dikaji secara khusus
dalam usaha mengetahui hikmahnya. Awalan surah tersebut adalah:
1.
Awalan
surah yang terdiri dari satu huruf, ini terdapat pada tiga surah.
a.
Surah
Shad (Q.S. 38) ص. والقران ذى الذكرى
b.
Surah
Qaaf (Q.S. 50) ق. القران المجيد
c.
Surah
al-Qalam (Q.S. 68)ن.
والقلم وما يسطرون
2.
Awalan
surah yang terdiri dari dua huruf, ini terdapat pada sepuluh surah:
a.
Surah
al- Mukmin (Q.S. 40) حمّ
b.
Surah
Fushshilat (Q.S.41)ّ
حم
c.
Surah
Asy Syura (Q.S. 41)ّ
حم
d.
Surah
Az Zukhruf (Q.S. 43) حمّ
e.
Surah
Ad Dukhan (Q.S. 44) حمّ
f.
Surah
Al Jatsyiah (Q.S. 45)حمّ
g.
Surah
Al Ahqaf (Q.S. 46) حمّ
h.
Surah
Thaha (Q.S.20)طه
i.
Surah
An Maml (Q.S. 27) طس
j.
Surah
Yasin (Q.S. 36) يس
Tujuh dari
sepuluh sepuluh di atas dinamakan hawwaamiim.[6]
3.
Awalan
surah yang terdiri dari tiga huruf, ini terdapat pada tiga belas surah:
Enam surah diawali Alif Lam Mim الم
a.
Surah
al- Baqarah (Q.S.2)
b.
Surah
al- Imran (Q.S. 3)
c.
Surah
al- Ankabit (Q.S. 29)
d.
Surah
Ar Rum (Q.S. 30)
e.
Surah
al- Lukman (Q.S. 31)
f.
Surah
as Sajadah (Q.S. 32)
Lima Surah diawali dengan Alif Lam Ro الر
a.
Surah
Yunus (Q.S. 10)
b.
Surah
Hud (Q.S. 11)
c.
Surah
Yusuf (Q.S. 12)
d.
surah
Surah Ibrahim (Q.S. 14)
e.
Surah
al-Hijr (Q.S. 15)
Dua surah yang diawali dengan Tha Sin Mim طسم
a.
Surah
As Syu’araa (Q.S. 26)
b.
Surah
al- Qashash (Q.S. 28)
4.
Awalan
surah yang terdiri dari empat huruf, ini terdapat pada dua tempat, yaitu:
a.
Surah
al-A’raf (Q.S.7)المص
b.
Surah
Ar Ra’du (Q.S. 13) المر
5.
Awalan
Awalan surah yang terdiri dari lima huruf, ini hanya terdapat pada Surah Maryam
(Q.S. 19) [7] .كهيعص
Dua puluh
Sembilan (29) surah yang dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah tersebut, dua
puluh tujuh (27) di antaranya turun di Mekah sebelum Rasulullsh Saw hijrah dan dua
(2) surah turun di Medinah.[8] Adapun huruf yang paling banyak digunakan adalah; Alif dan Lam,
kemudian Mim, dan seterusnya secara berurutan huruf Ha, Ra, Sin, Ta, Sad, Ha,
dan Ya’, ‘Ain dan Qaf, dan akhirnya Kaf dan Nun.[9]
Setelah huruf hijaiyah yang terdapat
dalam pembukaan-pembukaan surah ini dengan tanpa berulang, berjumlah 14 huruf
atau separuh dari jumlah keseluruhan huruf hijaiyah. Karena itu, para mufassir
berkata bahwa pembukaan-pembukaan tersebut untuk menunjukkan kepada bangsa Arab
akan kelemahan mereka. Meskipun al-Qur’an tersusun dari huruf-huruf hijaiyah
yang mereka kenal, yang sebagiannya dating dalam bentuk satu hurf dan lainnya
dalam bentuk yang tersusun dari beberapa huruf, namun mereka tidak mampu
membuat kitab yang dapat menandinginya. Hal ini menunjukkan kelemahan mereka di
hadapan al-Qur’an.[10]
Huruf-huruf
hijaiyah yang terdapat pada awal beberapa surah dalam al-Qur’an tersebut adalah
juga jaminan keotentikan dan keutuhan al-Qur’an sebagaimana diterima oleh
Rasulullah Saw.[11] Demikian pendapat Rasyad Khalifah Sebagaimana yang dikutip oleh
DR. Mustafa Ahmad yang tertuang dalam membumikan al-Qur’an karya M. Quraish
Shihab. Lebih lanjut dikatakan bahwa,Tidak berlebih dan atau berkurang satu
huruf pun dari kata-kata yang digunakan oleh al-Qur’an. Kesemuanya habis
terbagi 19, sesuai dengan jumlah huruf-huruf B(i)sm All(a)h Al-R (a)hm(a)n
Al-R(a)him. (huruf a dan i dalam kurung tidak tertulis dalam aksara bahasa
Arab). Huruf ق
(qaf) yang merupakan awal dari surah ke-50, ditemukan terulang sebanyak 57 kali
atau 39x19. Huruf-huruf kaf’, ha’, ya’, ‘ayn, shad, dalam surah Maryam,
ditemukan sebanyak 798 kali atau 42x19. Huruf ن (nun) yang
memulai surah Al-Qalam, ditemukan sebanyak 133 atau 7x19. Kedua huruf ي (ya’) danس )sin)
pada surah Yasin masing-masing ditemukan sebanyak 285 atau 15x19. Kedua huruf ط (tha’) dan ــه (ha’) pada
surah Thaha masing-masing berulang sebanyak 342 kali, sama dengan 19x18.
Huruf-huruf ح(ha)
dan م
(mim) yang terdapat pada keseluhan surah yang dimulai dengan kedua huruf ini,
ha’mim, kesemuanya merupakan perkalian dari 114x19, yakni masing-masing
berjumlah 2.166.[12]
Bilangan-bilangan
ini, yang dapat ditemukan langsung dari celah ayat al-Qur’an, oleh Rasyad
Khalifah, dijadikan sebagai bukti keotentikan al-Qur’an. Karena, seandainya ada
ayat yang berkurang atau berlebih atau ditukar kata dan kalimatnya dengan kata
atau kalimat yang lain, maka tentu perkalian-perkalian itu akan menjadi kacau.
Angka 19, yang merupakan perkalian dari jumlah-jumlah tersebut, juga diambil
dari pernyataan al-Qur’an sendiri, yakni yang termuat dalam Q.S. 74: 30[13] yang turun dalam konteks ancaman terhadap seorang yang meragukan
kebenaran al-Qur’an.[14]
Apabila kita mengklasifikasikan
huruf-huruf yang terdapat dalam fawatih al-suwar, maka akan kita dapati bahwa
susunannya tidak saja terdiri dari separuh huruf hijaiyah, bahkan juga meliputi
setiap jenis huruf, yakni:
a.
Di
antara kelompok huruf-huruf halq (yang suaranya keluar dari kerongkongan),
terdapat huruf: ــه،
ع، ح
b.
Di
antara kelompok huruf-huruf mahmusah (yang suaranya seperti bisikan), terdapat
huruf: س، ــه ، ك ، ص،
ح
c.
Di
antara kelompok huruf-huruf mahjurah (yang suaranya dikeraskan), terdapat
huruf: ت، ي، ق، ط، ر، ع، ل، م،
ــه
d.
Di
antara huruf-huruf syafahi (suaranya di bibir), terdapat huruf: م
e.
Di
antara huruf-huruf qalqalah (suaranya bergerak apabila dimatikan), terdapat
huruf: ق ط
B.
PANDANGAN
ULAMA TENTANG FAWATIH AL-SUWAR
Ketika
akan membicarakan fenomena potongan huruf-huruf hijaiyah yang terdapat dalam
al-Qur’an, dapat dikatakan bahwa tidak ditemukan orang Arab yang mengenal
ataupun menggunakan gaya bahasa seperti itu dalam permulaan ucapan mereka.
Begitu juga, kita tidak menemukan satu makna pun bagi huruf-huruf tersebut
selain penyebutannya dalam huruf-huruf hijaiyah. Bahkan tak ditemukan satu pun
hadis yang diriwayatkan oleh Rasulullah Saw mengenai tafsir huruf-huruf
tersebut yang dapat dijadikan pegangan.[15] Barangkali inilah yang menjadi pemicu banyaknya pendapat para
ulama dan perbedaan sudut pandang di antara mereka tentang penafsiran
huruf-huruf tersebut.
Secara ringkas, pendapat para ulama
dapat dikemukakan ke dalam 3 sudut pandang utama, yakni:
1.
Penafsiran
yang memandang huruf-huruf tersebut masuk ke dalam kategori ayat-ayat
mutasyabihat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah SWT.
2.
Penafsiran
yang memandang huruf-huruf itu sebagai singkatan untuk kata-kata atau kalimat
tertentu.
3.
Penafsiran
yang memandang huruf-huruf itu bukan merupakan singkatan, tetapi mengajukan
sejumlah kemungkinan tentang penafsiran maknanya[16] - sebagaimana akan dijelaskan nantinya.
Pandangan
kelompok pertama yang diwakili oleh para ulama salaf, dalam menyikapi
huruf-huruf hijaiyah yang terletak pada awal surah sebagai ayat-ayat
mutasyabihat, berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut telah tersusun sejak azali
sedemikian rupa, melengkapi segala yang melemahkan manusia dari mendatangkan
yang seperti al-Qur’an.[17] Karena kehati-hatiannya, mereka tidak berani memberi penafsiran
terhadap huruf-huruf itu, dan berkeyakinan bahwa Allah Swt sendiri yang
mengetahui tafsirnya. Hal ini menjadi suatu kewajaran yang berlaku bagi ulama
salaf karena mereka dalam hal teologi pun menolak untuk terlibat dalam
pembahasan tentang hal-hal yang menurut mereka tidak dapat dilampaui oleh akal
manusia.[18]
Al-Sya’bi (w.104 atau 105 H.)- sebagaimana
yang dikutip oleh Hasbi al-Shiddieqy- menegaskan bahwa; “Huruf awalan itu
adalah rahasia al-Qur’an”.[19] Dasar argumentasinya adalah karena hal tersebut dipertegas oleh
perkataan Abu Bakar al-Shiddiq, bahwa:
فى كل كتاب سر
وسره فى القران أوائل السور
Terjemahnya:“Di tiap-tiap kitab, ada rahasianya. Rahasia dalam
al-Qur’an, ialah permulaan-permulaan surat.”[20]
Ali bin abi
Thalib juga pernah berkata:
ان لكل كتاب صفوة وصفوة هذا الكتاب حروف التهجي
Terjemahnya:“Sesungguhnya bagi tiap-tiap kitab ada saripatinya,
saripati al-Qur’an ini ialah huruf-huruf hijaiyah”.[21]
Demikian pula ahli-ahli hadis menukilkan
dari Ibnu Mas’ud (w. 32 H./6523 M.) dan empat Khulafa al-Rasyidin, bahwa mereka
berkata:
إن هذه الحروف
علم مستور وسرّ محجوب استأثره الله به
Terjemahnya:“Sesungguhnya huruf-huruf ini, adalah ilmu yang
tersembunyi dan rahasia yang terdinding, yang hanya Allah sendiri yang
mengetahuinya”.[22]
Karenanya, ulama-ulama yang memaknakan
fawatih al-suwar ini, tidak berani memberikan pendapat secara pasti, mereka
hanya menyerahkan penafsirannya yang hakiki kepada Allah Swt.
Kelompok kedua, yang memandang huruf-huruf
hijaiyah pada fawatih al-suwar itu unjuk sebagai singkatan untuk kata-kata atau
kalimat tertentu, mengajukan penafsiran yang bervariasi tentang kepanjangan
huruf-huruf tersebut.
Ibnu Abbas (w.
68 H.), misalnya, diriwayatkan dari padanya bahwa ia berpendapat tentang الم, Alif menunjuk kepada ana, lam menunjuk kepada Allah dan Mim
menunjuk kepada A’lam (u) sehingga maknanya
انا الله أعلم
)Aku
adalah Allah lebih mengetahui), adapun المص
adalah dari انا الله افصّل (Aku
adalah Allah akan menjelaskan segala sesuatu), dan tentang الر bermakna انا
الله أرى (Aku adalah Allah, Aku
melihat).[23]
Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, bahwa
tentang كهيعص
ia berkata: الكاف
dari كريم (Yang Maha Mulia), الهاء dari هاد (Memberi Petunjuk), الياء dari حكيم
(Yang Maha Bijaksana), العين
dari عليم (Yang
Maha Mengetahui) dan الصّاد
dari صادق (Yang Maha Benar).[24] Diriwayatkan pula daripadanya bahwa ia berkata: ن، حم، الر adalah huruf-huruf terpisah dari الرحمن.[25]
Al-Suyuti menerangkan pula-sebagaimana
yang dikutip oleh Hasbi al-Shiddieqy, bahwa sebahagian dari huruf-huruf
tersebut adalah nama Allah, seperti: ق,
طسم,
.المص [26] Demikian pula dari Salim
Abd Ibn Abdillah, ia berkata:حم،
الم dan ن dan seumpamanya adalah nama Allah Swt yang dipisah-pisah.[27]
Kelompok ketiga, berpendapat bahwa
“huruf-huruf potong” yang terdapat pada permulaan sejumlah surah al-Qur’an itu
bukanlah singkatan-singkatan untuk kata atau kalimat tertentu. Tetapi
sehubungan dengan makna huruf-huruf tersebut, kelompok ini juga mengajukan
kemungkinan-kemungkinan penafsiran yang bervariasi.
Huruf-huruf
itu merupakan huruf-huruf misterius yang secara tidak jelas merujuk kepada
nama-nama nabi, nama-nama bagi al-Qur’an, dan mana-nama bagi surah yang
memuatnya, seperti الم adalah nama bagi surah al-Baqarah, كهيعص adalah nama bagi surah Maryam, ن adalah nama
surah al-Qalam, dan seterusnya. Pendapat ini dipilih oleh kebanyakan ulama
kalam, dan sekelompok ulama bahasa, dan dibenarkan oleh Syekh Thusi serta
dikuatkan oleh al-Tabari (224-310 H.).[28]
Ada
pula yang berpendapat bahwa huruf-huruf tersebut merupakan tanda-tanda mistik
dengan makna simbolik yang didasarkan pada nilai-nilai numeric alphabet
Semitik-Utara, misalnya: الم
(1+30+40=71); المص
)1+30+40+60=131);
الر
(1+30+200=menun231); المر
(1+30+40+200=271), dan lain-lain, dimana angka-angka ini menunjukkan usia umat
Nabi Muhammad Saw.[29] Pendapat ini selanjutnya dikomentari oleh Muhammad Rasyid Ridha
(1865-1935 M.) dalam tafsir al-Manarnya sebagaimana yang dikutip oleh Baqir
Hakim- bahwa: “Pendapat yang paling lemah mengenai huruf-huruf ini dan yang
paling tidak masuk akal adalah bahwa jumlah hitungan angkanya mengisyaratkan
umur ini atau yang serupa dengan itu”.[30] Kelompok Syi’ah berpendapat
bahwa jika huruf-huruf awalan itu dikumpulkan dengan mengesampingkan
perulangannya, maka akan menjadi suatu kalimat yang berbunyi:
صرط على حق نمسكه(Jalan yang ditempuh Ali adalah kebenaran yang
kita pegangi).[31] Tampaknya pemahaman ini bertujuan untuk memperkuat dakwaan mereka
bahwa Ali sebagai imam mereka. Karena itu pula, sebagian ulama Sunni
membantahnya dengan menyusun kalimat yang mengandung pengertian yang memihak
kepada Sunni dari huruf-huruf yang sama, menjadi: صحّ طريقك مع السنّة (Telah
benar jalanmu bersama sunnah).[32]
Pendapat lain mengemukakan bahwa
huruf-huruf itu merupakan tanbih, media untuk membangkitkan perhatian
Rasulullah Saw kepada apa yang disampaikan kepadanya di kala beliau dalam
keadaaan sibuk misalnya. Demikian yang diungkapkan oleh Khuwaibi.[33] Atau untuk mempesonakan bagi yang mendengarkannya (kaum musyrikin
mekah dan ahli kitab di madinah) sehingga lebih menaruh perhatian kepada
Risalah Allah Swt yang disampaikan Rasulullah Saw.- Sebagaimana yang
diungkapkan Rasyid Ridha.[34] Pendapat ini pula yang diungkapkan oleh Fakhruddin al-Razy (543-606 H.) dan
al-Zamakhsyari (467-538 H.).[35]
Penafsiran-penafsiran yang muncul
belakangan mengenai masalah ini dapat dikatakan belum keluar dari
gagasan-gagasan klasik tersebut. Al-Suyuthi,- sebagaimana dikutip oleh Taufik
Adnan Amal-setelah mendiskusikan berbagai pandangan tentang makna fawatih
al-suwari ini, menyimpulkan bahwa fawatih al-suwar ini adalah huruf-huruf atau
symbol-simbol misterius yang makna hakikinya hanya diketahui oleh Allah Swt.[36] Jadi, al-Suyuthi pada prinsipnya mengikuti sudut pandang kelompok
pertama; dan pendapat semacam ini masih tetap dipegang teguh sejumlah mufassir
modern.
M. Quraish Shihab, dalam kitab tafsirnya “Al-Misbah”menyatakan
bahwa fawatih al-suwar ini merupakan isyarat bahwa kitab suci al-Qur’an ini
menggunakan bahasa yang sama dengan bahasa yang digunakan orang-orang Arab,
namun demikian mereka tidak mampu membuat sesuatu yang serupa.[37] Fawatih al-Suwar ini juga menggugah perhatian orang yang
mendengarnya, di samping sebagai salah satu bukti kemukjizatan al-Qur’an.[38] Sehubungan dengan hal ini, Yusuf al-Qardhawi-sebagaimana dikutip
oleh M.Quraish Shihab-dalam tafsirnya atas surah al-Ra’d menulis bahwa memang
bacaan huruf-huruf tersebut mempunyai langgam tersendiri yang dapat
berpengaruh, bahkan menurut al-Qardhawi, beberapa orang temannya menyampaikan
kepadanya bahwa sementara pakar dari Barat dalam bidang musik memeluk Islam
setelah mendengar huruf-huruf tersebut dan bahwa sebagian di antara mereka
menemukan sesuatu yang janggal pada beberapa surah yang dimulai dengan huruf
fonetis itu, tetapi kemudian mengetahui bahwa kejanggalan itu lahir dari cara
membacanya yang keliru. Dia tidak membacanya secara terputus-putus tetapi
membacanya secara terpadu. Al-Qardhawi juga menyebutkan bahwa dia memperoleh
informasi dari beberapa temannya yang mengelolah Rumah Sakit “Akbar” di Panama
City, Amerika, bahwa al-Qur’an mempunyai pengaruh positif terhadap oang-orang
sakit, baik muslim maupun non muslim, baik yang mengerti bahasa Arab maupun
tidak.[39] Dari fenomena ini terlihat bagaimana al-Qur’an menunjukkan
kemukjizatannya dapat mempengaruhi psikis seseorang yang mendengarnya.
Salah satu pendapat terbaru adalah
yang dikemukakan Rasyad Khalifah-sebagaimana yang dikutip M.Quraish
Shihab-bahwa huruf-huruf itu adalah isyarat tentang huruf-huruf yang terbanyak
dalam surah-surahnya. Dalam surah al-Baqarah, huruf terbanyak adalah alif,
kemudian lam dan mim. Demikian juga pada surah-surah yang lainnya,
masing-masing sesuai dengan huruf-huruf yang disebut pada awalnya, kecuali
surah Yasin. Kedua huruf yang dipilih pada surah tersebut adalah huruf paling
sedikit digunakan oleh kata-kata surah itu. Ini karena huruf ya’ (ي) dalam susunan alphabet Arab berada sesudah huruf sin (س) sehingga kedua huruf itu mengisyaratkan huruf yang terbanyak,
tetapi yang paling sedikit.[40] Tentunya perlu penelitian yang seksama sebelum membenarkan teori
ini.
Mencermati berbagai pandangan para ulama
ataupun mufassirin dalam memaknakan fawatih al-suwar yang mengawali ke 29 surah
ini dan juga mencermati ke-29 surah yang diawali dengan fawatih al-suwari ini
pada umumnya ayat-ayatnya adalah ayat-ayat Makkiyah yang turun sebelum Nabi
hijrah ke Medinah-hanya 2 surah yang turun di medinah (Q.S. al-Baqarah/2) dan
Q.S. Ali-Imran/3), dimana kehidupan nabi bersentuhan langsung dengan kehidupan
kaum musyrikin atau kaum kafir Quraisy yang dalam sejarah menentang risalah
yang dibawa nabi dan sekaligus meragukan kebenarannya. Kedua, ke 29 surah ini
pada umumnya mengusung tema pokok tentang ketauhidan dan argumentasi akan
kebenaran al-Qur’an bagi mereka yang meragukan al-Qur’an sekaligus tantangan
bagi kaum musyrikin untuk membuat semisal al-Qur’an memang meragukannya.
Ketiga, huruf-huruf hijaiyah yang mengawali ke 29 surah al-Qur’an ini adalah
berjumlah 14 huruf-dengan mengabaikan perulangannya-, separuh dari jumlah huruf
ejaan hijaiyah, dan angka 29 surah merupakan jumlah huruf hijaiyah (jika
dimasukkan huruf hamzah), dan mewakili setiap jenis huruf. Keempat, Dari ke 29
surah tersebut itu pula didapati bahwa pada ayat-ayat awal setelah fawatih
al-suwari ini pada umumnya merujuk kepada al-Kitab, al-Qur’an atau wahyu, hanya
3 surah yang tidak memiliki rujukan semacam ini (Q.S. Maryam/19, al-‘Ankabut/29,
al-Rum/30.
Dari beberapa indikasi tersebut maka
penulis lebih condong kepada pendapat bahwa fawatih al-suwar ini dimaksudkan
untuk menjadi salah satu bukti akan keotentikan, kebenaran dan kemukjizatan
al-Qur’an sekaligus untuk menunjukkan kelemahan kaum musyrikin di hadapan
al-Qur’an, oleh karena al-Qur’an yang diturunkan dengan memakai huruf-huruf dan
bahasa yang mereka kenal bahkan mereka pergunakan sehari-hari akan tetapi
mereka tidak mampu-bahkan tidak akan pernah mampu sampai kapanpun-untuk membuat
semisal al-Qur’an.
Berbagai gagasan tafsir tersebut di atas,
baik gagasan dasar yang diletakkan para mufassir klasik maupun mufassir modern,
meski sangat variatif, namun
gagasan-gagasan tersebut sama sekali tidak keluar dari konsepsi dasar bahwa
huruf-huruf tersebut merupakan bagian dari al-Qur’an yang diterima Rasulullah
Saw.
Namun tidak demikian halnya bagi para sarjana Barat yang mulai
berupaya mengungkap tabir misteri huruf-huruf tersebut. Theodore Noeldeke dapat
dipandang sebagai sarjana Barat pertama yang mengajukan gagasan spekulatif
mengenai huruf-huruf tersebut. Sebagaimana yang dikutip oleh Taufik Adnan Amal,
menurut Noeldeke, huruf-huruf tersebut tidak berasal dari Rasulullah, namun lebih
mencerminkan inisial atau monogram pemilik-pemilik naskah al-Qur’an yang
digunakan Zayd Ibn Tsabit ketika pertma kali mengumpulkan al-Qur’an. Misalnya; الر inisial dari Zubayr bin Awwam, المر dari al-Mughirah, طه dari Thalhah Ibn Ubaydillah, حم dan ن dari Abd al-Rahman bin Auf, huruf tengah dari kelompok كهيعص merupakan singkatan dari kata Ibn, sedangkan dua huruf terakhir
adalah singkatan dari al-Ash; dan lain-lain.[41] Gagasan ini selanjutnya didukung dan dikembangkan oleh Hirschfeld,[42] Gagasan Noeldeke ini tidak saja sangat spekulatif tapi juga jauh
menyimpang dari kebenaran.
Terlepas dari pandangan Noeldeke dan para sarjana Barat lainnya,
terdapat konsepsi dasar bagi kaum muslimin meskipun mereka melakukan penafsiran
yang beragam terhadap fawatih al-suwari ini, adalah mereka tidak berbeda bahwa
huruf-huruf tersebut merupakan bagian dari al-Qur’an, wahyu yang dibawa
Rasulullah Saw. Mereka kemudian berbeda pendapat dalam menempatkannnya sebagai sebuah ayat
yang tersendiri dalam surah-surah tersebut-sebagaimana halnya basmalah. Hal ini
kemudian berimplikasi pada perbedaan penghitungan tentang jumlah ayat dalam
al-Qur’an. Orang-orang Medinah menghitung 6214 ayat yang terdapat dalam
al-Qur’an, orang-orang Mekah menghitung sejumlah 6219 ayat; orang-orang Kufah
sejumlah 6263 ayat; orang-orang Bashrah sejumlah 6204 ayat; dan orang-orang
Siria (Syam) sejumlah 6225, ayat. Tetapi dalam mushaf Usmani edisi standar
Mesir, yang menjadi panutan sebagian besar dunia Islam dewasa ini, ayat
al-Qur’an seluruhnya dihitung 6236 ayat.[43] Berbagai perbedaan dalam penghitungan ayat ini tentunya tidak
mengimplikasikan perbedaan kandungan al-Qur’an untuk setiap sistem
penghitungannya.
Imam al-Zamakhsyari
(467-538 H.) mengatakan-sebagaimana yang dikutip oleh al-Suyuthi dalam kitabnya
“al-Itqan”- bahwa ayat adalah isim ‘alam (suatu istilah) yang bersifat tauqifi,
yang tidak ada qiyas di dalamnya. Karenanya, mereka menganggap الم sebagai sebuah ayat dalam al-Qur’an, demikian pula dengan المص. Tetapi mereka tidak menganggap المر dan الر sebagai ayat. Mereka juga menganggap حم sebagai sebuah ayat tersendiri dalam surah, demikian juga طهdan يس, tetapi tidak menganggap طس sebagai ayat.[44] Begitu pula apa yang dikemukakan oleh Masyfuk Zuhdi, bahwa para
ulama menghitung المص
satu ayat, tetapi mereka tidak menghitung المر satu ayat. Demikian juga mereka menghitung يس satu ayat, tetapi mereka tidak menghitung طس sebagai ayat. Mereka juga menghitung حمعسق dua ayat, tetapi mereka tidak menghitung كهيعص dua ayat, padahal serupa.[45]
Al-Suyuthi menyatakan
bahwa di antara dalil yang menunjukkan bahwa hal itu tauqifi adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnadnya melalui jalan periwayatan
‘Ashim bin Abi al-Nujud, dari Zir, dari Ibnu mas’ud, ia berkata:
اقرأني
رسول الله صلى الله عليه وسلم سورة من الثلاثين من ال حم قال يعنى الأحقاف وقال
كانت السورة اذا كانت اكثر من الثلاثين اية سمّيت الثلاثين
Terjemahnya:“Rasulullah Saw telah membacakan surat kepadaku dari
ats-Tsalaatsiin, dari alif lam Ha Mim. Ia (Ibnu Mas’ud) berkata: yaitu surat
al-Ahqaf. Dan berkata: dahulu jika ada surat yang ayatnya lebih dari tiga puluh
dinamakan ats-Tsalaatsin…[46]
Begitu pula hadis yang dikemukakan oleh Ibnu Araby, bahwa:
ذكر النّبيّ
صلّى اللّه عليه وسلّم أن الفاتحة سبع ايات وسورة الملك ثلاثون اية
Terjemahnya: “Nabi Saw pernah menyebutkan bahwa surat al-Fatihah
itu tujuh ayat dan surat al-Mulk itu tiga puluh ayat”.[47]
Sementara sebagian ulama lainnya
berpendapat bahwa menentukan ayat itu berdasarkan dua sifat yaitu tauqifi dan
qiyas atau ijtihad, karena ketentuan suatu ayat adalah terletak pada
fasilahnya.[48]
Perbedaan penghitungan
ayat, selain dikarenakan perbedaan dalam penetapan basmalah sebagai ayat atau
bukan dan fawatih al-suwar sebagai ayat-ayat terpisah atau tersendiri, pada
hakekatnya juga disebabkan oleh perbedaan dalam menentukan apakah rima telah
menandakan berakhirnya suatu ayat atau masih berlanjut, atau dengan kata lain,
perbedaan dalam penetapan ra’sul ayah (kepala ayat) dan fashilah. Hal ini
terjadi akibat adanya kenyataan bahwa rima di dalam al-Qur’an sebagian besarnya
dihasilkan lewat penggunaan bentuk-bentuk atau akhiran-akhiran gramatikal yang
sama.[49] Demikian pula tanda wakaf sebagai tempat berhenti, ada yang
menganggap pemberhentian itu bukanlah koma, tetapi memang benar-benar berhenti.[50]
Dalam beberapa surah,
yang pada umunya merupakan surah-surah panjang, ayatnya panjang dan menggugah;
sementara dalam surah-surah pendek, ayatnya pendek, tetapi padat dan mengena.[51] Memang terdapat pengecualian terhadap generalisasi semacam ini-
misalnya Q.S. al-Syu’ra/26 yang terhitung panjang, memiliki 200 ayat pendek,
sementara Q.S. al-Bayyinah/98 yang terhitung pendek, berisi 8 ayat panjang-
tetapi secara keseluruhan itulah gambaran umum ayat-ayat al-Qur’an.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas
dapatlah disimpulkan bahwa:
1.
Fawatih
al-suwar adalah huruf-huruf hijaiyah yang dibaca sendiri-sendiri sesuai dengan
hurufnya, yang menempati awal surah dari 29 surah yang terdapat dalam
al-Qur’an. Ada 13 bentuk fawatih al-suwar yakni: كهيعص، طسم، المص، المر، الر، الم، يس، حم، طس، طه،ص، ن، ق yang terbagi atas 5 macam: (a). awalan yang terdiri atas satu
huruf, terdapat pada 3 surah; Q.S. 38,50,68; (b). Awalan yang terdiri dari dua
huruf, terdapat pada 10 surah; Q.S. 20,27,36,40, sampai dengan 46. (c) Awalan yang
terdiri dari 3 huruf, terdapat pada 13 surah; Q.S.
2,3,29,30,31,32,10,11,12,14,15,26,28. (d). Awalan yang terdiri dari 4 huruf
terdapat pada 2 surah; Q.S. 7 dan 13 (e). Awalan yang terdiri dari 5 huruf
terdapat pada 1 surah; Q.S. 19.
2.
Terdapat
berbagai pandangan ulama tentang fawatih al-suwar tersebut, namun secara garis
besar dapat dilihat dari 3 sudut pandang utama yakni; (a) Ulama salaf dan para
mufassir pada umumnya menganggap fawatih al-suwar ini termasuk dalam ayat-ayat
mutasyabihat, yang makna hakikinya hanya diketahui oleh Allah Swt. Dan menjadi
bukti kebenaran dan kemukjizatan al-Qur’an, (b) Pandangan yang memaknakan
fawatih al-suwar sebagai singkatan dari kata-kata atau kalimat tertentu,
seperti Ibnu Abbas yang menafsirkan sebagai singkatan dari sifat-sifat Allah,
(c). Pandangan yang menafsirkan bukan sebagai singkatan untuk kata-kata atau
kalimat tertentu, namun dengan penafsiran yang beragam, seperti untuk nama nabi,
nama surah, nama al-Qur’an bahkan menyusunnya sebagai sebuah kalimat yang
tendensius. Beragamnya penafsiran tersebut, namun tetap pada konsensus dasar
bahwa fawatih al-suwar adalah bagian dari al-Qur’an, wahyu yang dibawa
Rasulullah Saw meski terdapat perbedaan dalam menempatkannya sebagai ayat yang
terpisah atau tersendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an Karim
Al-Abyari, Ibrahim, Tarikh al-Qur’an, diterjemahkan oleh
Hj.St. Amanah dengan judul Sejarah Al-Qur’an, Cet. I, Semarang:
Dina Utama, 1993.
Ali, H. A. Mukti, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, tc.,
Yogyakarta: Mizan, 1993.
Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, tc.,
Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001.
Anwar, Abu, Ulumul Qur’an: Sebuah Pengantar, Cet. III;
Jakarta: Amzah, 2009.
Bell, Richard, Bell’s Introduction to The Qur’an,
diterjemahkan oleh Taufik Adnan Amal dengan judul Pengantar Studi Al-Qur’an,
Cet. II; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995.
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan terjemahnya, Cet. X;
Bandung: CV, Diponegoro, 2004.
Hakim, Muhammad Baqir, Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh
Nashirul Haq, et. Al. dengan judul Ulumul Quran, Cet. III; Jakarta:
Al-Huda, 2006.
Hidayat, Rachmat Taufiq, Khazanah Istilah al-Qur’an, Cet. V,
Bandung: Mizan, 1995.
Iqbal, Mashuri Sirojuddin, dan A.Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir,
tc., Bandung: Angkasa, t,th.
Al-Qattan, manna’ Khalil, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Mudzakir AS dengan judul,
Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Cet.X; Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2007.
Al-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Ilmu-ilmu
Alqur’an: Media-Media Pokok dalam menafsirkan al-Qur’an, Cet.II;
Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1998.
-------------------, Sejarah dan Pengantar Ilmu
al-Qur’an/Tafsir, Cet. IX, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat., Cet. VII; Bandung: Mizan, 1994.
------------------, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan
Keserasian al-Qur’an, Cet. VII, Jakarta: Lentera hati, 2007.
Al-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an,
diterjemahkan oleh Farikh Marzuki Ammar, et.al. dengan judul, Samudera
Ulumul Qur’an, tc., Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, t.th.
-------------------, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an,
diterjemahkan oleh Tim Editor Indiva dengan judul, Studi Al-Qur’an
Komprehensif: Membahas al-Qur’an Secara Lengkap dan Mendalam, Cet. I, Solo:
Indiva, 2008.
Syadali, Ahmad, dan Ahmad Rofi’I, Ulumul Qur’an, Cet. I;
Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997.
Zuhdi, Masyfuk, Pengantar Ulumul Quran, tc., Surabaya: Bina Ilmu,
1980.
[1]
Pengertian muhkam adalah ayat yang terang maknanya serta lafaznya yang
diletakkan untuk suatu makna yang kuat dan cepat dipahami. Dan mutasyabihat
adalah ayat-ayat yang bersifat mujmal (global), yang mu’awwal (memerlukan
takwil) dan yang musykil (sukar dipahami). Lihat pada Al-Itqan,
11, hlm.5.
[2] Abu
Anwar, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar (Cet III., Jakarta: Amzah, 2009),
h. 89.
[3]
Lihat: Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an (tc.,
Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001), h. 216.
[4] Pembukaan-pembukaan surah al-Qur’an secara umum meliputi: (a)
Pembukaan surah dengan lafal “pujian”, pada 14 surah; Lima surah dimulai dengan
tahmid, yakni Q.S. 1,6,18,34,35; Tujuh surah dimulai dengan tasbih dalam
bentuk masdar, fiil madhi dan fiil mudhari’, yakni dalam Q.S.
17,57,59,61,62,64,87; dan dua surah diawali dengan “tabaraka”, yakni
Q.S. 25, 67; (b). Pembukaan surah dengan lafal “seruan”, terdapat pada 10
surah, Satu surah dengan ungkapan “ya ayyahal-muzzammil”, Yakni Q.S. 73;
satu surah dengan ungkapan “Ya ayyuhal-Muddassir” Yakni Q.S. 74; tiga
surah dengan ungkapan “Ya ayyuhan-Nabiyyu, yakni Q.S. 83, 66, 86,
dua surah dengan ungkapan ‘Ya ayyuihaa-Nas’, yakni Q.S. 4, 22: tiga
surah dengan ungkapan Ya ayyuhal-ladzina Amanu, Yakni Q.S. 5, 49,60;
(c).Pembukaan surah dengan jumlah khabariyyah (kalimat berita), terdapat
pada 23 surah dalam bentuk fi’il madhiy, fi’il mudhariy, dan
lainnya yakni; Q.S.
8,9,16,21,23,24,39,47,48,54,55,58,69,70,71,75,80,90,97,98,101,102, dan 108;
(d).Pembukaan surah dengan “huruf sumpah”; terdapat pada lima belas surah
yakni; 37,51,52,53,77,79,85,89,91,92,93,95,100, dan 103; (e). Pembukaan surah
dengan “kalimat syarat” terdapat pada tujuh surah, yakni; Q.S.
56,63,81,82,84,99, dan 110; (f). pembukaan surah dengan “kalimat perintah”, terdapat pada enam surah, yakni;
Q.S. 72,96,109,112,113, dan 114; (g). Pembukaan surah dengan “kalimat
pertanyaan”, terdapat pada enam surah, yakni; Q.S 45,78,88,94,105, dan 107;
(h).Pembukaan surah dengan lafal ‘kutukan’, terdapat tiga surah, yakni;
Q.S.83,104, dan 111; (i). Pembukaan surah dengan lafal “karena” (ta’lil),terdapat
pada satu surah huruf-huruf potong”, terdapat pada, yakni Q.S. 106.
(j). Pembukaan surah dengan “huruf potong”,
terdapat pada 29 surah, yakni; Q.S. 38,50,68,20,27,36,40,41,42,43,44,45,46,2,3,29,30,31,32,10,11,12,14,15,26,28,7,13,
dan 19. Lihat Racmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah Al-Qur’an (Cet. V,
Bandung: Mizan, 1995), h. 176-178.
[5]
Lihat: Richard Bell, Bell’s Introduction to The Qur’an, diterjemahkan
oleh Taufik Adnan Amal dengan judul Pengantar Studi Al-Qur’an (Cet. II;
Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h. 97.
[6] Hawwaamiim
(jamak dari haa minm), surah-surah yang diawali dengan ha dan
mim. Lihat pada H. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an, Jakarta,
bulan Bintang, 1995, hlm. 124.
[7] Abu
Anwar, Op. Cit., h. 91.
[8]
Lihat; T.M. Hasbi Al-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Alqur’an: Media-Media Pokok dalam
Menafsirkan Alqur’an (Cet. II; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1998), h. 124.
[9]
Lihat: Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an (Cet. I; Bandung:
CV. Pustaka Setia, 1997), h. 188.
[10]
Lihat: Ibid.
[11]
Lihat: M. Quraish Shihab, Op. Cit., h. 22.
[12] Ibid.
[13]
Q.S. al-Mudassir ayat 30, yang artinya “Diatasnya ada Sembilan belas
(malaikat penjaga)”, Departemen Agama RI., Op. Cit., h.460.
[14]
Lihat: M. Quraish Shihab, Loc. Cit.
[15]
Lihat: Muhammad Baqir Hakim, Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Nashirul
Haq, et. al. dengan judul Ulumul Qur’an (Cet. III; Jakarta: Al-Huda,
2006), h. 652.
[16]
Lihat: Taufik Adnan Amal, Op.Cit., h. 217.
[17]
Lihat: T.M. Hasbi al-Shiddieqy, Op. Cit., h. 127.
[18]
Lihat: H.A. Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam (tc.,
Yogyakarta: Mizan, 1993), h. 27.
[19] T.M.
Hasbi al-Shiddieqy, Loc. Cit.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid.,
h. 128.
[23]
Lihat: T.M. Hasbi al-Shiddieqy, Op. Cit., h. 131. Lihat pula: Ahmad
Syadali dan Ahmad Rofi’I, Op. Cit., h 189. Baca pula: T.M. Hasbi
al-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir (Cet. IX, Jakarta:
PT. Bulan Bintang, 1986), h. 59-60.
[24]
Lihat: Ibid., h. 60.
[25]
Lihat: Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’I, Op. Cit., h. 189-190.
[26] T.M
Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah dan pengantar Ilmu al-Qur’an, Op. Cit., h.
60.
[27]
Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’I, Op. Cit., h. 190. Baca pula: Ibrahim
al-Abyari, Tarikh al-Qur’an, diterjemahkan oleh Hj. St. Amanah dengan
judul Sejarah Al-Qur’an (Cet. I, Semarang: Dina Utama, 1993), h.
136-137.
[28]
Lihat: Baqir Hakim, Op. Cit., h. 655.
[29]
Lihat: Taufik Adnan Amal, Op. Cit., h. 219.
[30]
Baqir Hakim, Op. Cit., h. 661.
[31]
Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’I, Op. Cit., h. 192.
[32] Ibid.,
h. 192-193.
[33]
Lihat: T.M. Hasbi al-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Op. Cit., h. 134.
[34]
Lihat: Taufik Adnan Amal. Loc. Cit., Lihat pula: Abu Anwar, Op. Cit.,
h. 95.
[35]
Baca Lebih lanjut pada: T.M. Hasbi al-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Op.
Cit., h. 134-135.
[36]
Lihat: Taufik Adnan Amal, Op. Cit., h. 219.
[37]
Lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian
al-Qur’an, Vol. 12 (Cet.VII, Jakarta: Lentera hati, 2007), h. 282.
[38]
Lihat: Ibid., h. 374.
[39]
Lihat: Ibid, Vol. 6, h. 547.
[40]
Lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Vol. 1. Op. Cit., h.
86.
[41]
Baca selengkapnya pada: Taufik Adnan Amal, Op. Cit., h. 250-256.
[42]
Hirscfeld mengembangkan lebih jauh tentang inisial ini dengan menguraikan
bahwa: ال adalah kata
sandang tertentu, م adalah inisial
untuk Mughirah,ص untuk Hafshah, ر untuk Zubayr, ك untuk Abu bakar al-Shiddiq, ــه untuk Abu Hurairah, ن untuk Usman bin Affan, ط untuk Thalhah bin Ubaidillah, س untuk Sa’d bin Abi Waqqash, ح untuk Hudzaifah, ع untuk
Umar bin Khattab atau Ali bin Abi Thalib, atau Ibn Abbas atau Aisyah, dan ق untuk Qasim ibn Rabi’ah. Lihat: Ibid,
h. 251.
[43]
Lihat: Ibid., h. 221.
[44]
Lihat: Jalaluddin al-suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan
oleh Tim Editor Indiva dengan judul, Studi Al-Qur’an Komprehensif: Membahas
al-Qur’an Secara Lengkap dan Mendalam, Jilid I (Cet. I, Solo: Indiva,
2008), h. 275.
[45]
Lihat: Masyfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an (tc., Surabaya: Bina Ilmu,
1980), h. 138.
[46]
Jalaluddin al-Suyuthi, Loc. Cit.
[47] Ibid.
[48] Fasilah
ialah istilah yang diberikan kepada lafaz yang mengakhiri ayat, mempunyai nilai
dan kesempurnaan makna dan pengaruh dalam susunan kalam. Lihat: Mashuri
Sirojuddin Iqbal dan A.Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir (tc., Bandung:
Angkasa, t,th.), h. 58
[49] Lihat:
Taufik Adnan Amal, Loc. Cit.
[50]
Lihat: Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan
oleh Farikh Marzuqi Ammar, et. al. dengan judul, Samudera Ulumul Qur’an,
Jilid I (tc., Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, t,th.), h. 333.
My Blog List