- Back to Home »
- Filsafat Ilmu »
- Teori-Teori Epistemologi
Posted by : LaSaro'
Rabu, 16 Januari 2013
A. Fenomenologi
Kata fenomenologi
berasal dari kata Yunani,Phenomenon, yaitu sesuatu yang tampak yang
terlihat karena berkecakupan, dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah
gejala. Jadi fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan suatu fenomena
atau sesuatu yang menampakkan diri.[1]
Sedangkan Fenomenon
dalam bahasa inggris yang berarti perwujudan, gejala, kejadian natural pada
kejadian alam.[2]
Jadi fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala
sesuatu yang menampakkan diri atau dapat juga dikatakan sesuatu yang sedang
menggejala.[3]
Selanjutnya Hasan
Bakti Nasution menjelaskan istilah fenomenologi mengandung tiga pengertian yang
saling terkait yaitu yang langsung tampak, sesuatu yang menampakkan diri tapi
masih terselubung, dan proses penampakan. Jadi fenomenologi ialah filsafat yang
menyatakan bahwa kebenaran merupakan hasil deskripsi intuitif
manusia terhadap suatu obyek sesuai
dengan penampakan diri (fenomena) obyek tersebut.[4] Untuk memudahkan pengertian ini, kita ambil contoh, penyakit
Flu, diantara gejalanya adalah pilek dan batuk. Penyakit flu tidak bisa
dikatakan sebagai penyakit flu jika tidak ada gejalanya, yaitu pilek dan batuk.
Menurut para
penganut fenomenologi suatu fenomenon semata harus diamati dengan
indera, sebab sebab fenomenon juga dapat dilihat/ditilik secara rohani, tanpa
melewati indra. Juga fenomenon tidak perlu suatu pristiwa, karena suatu fenomenon
adalah apa yang menampakkan diri dalam dirinya sendiri, apa yang menampakkan
diri seperti apa adanya, apa yang jelas dihadapan kita.[5]
Aliran fenomenologi
berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenar-benarnya dengan cara menerobos
semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya. Usaha ini menggabungkan
antara subyek (manusia) dan obyek (yang diamati) dengan cara pengamatan
intuitif.
Dari sekian teori kebenaran tentang pengetahuan, teori fenomenologi
termasuk mampu membuktikan dirinya sebagai salah satu sumber befikir yang
kritis. Pemikiran fenomenologi demikian besar pengaruhnya di Eropa dan Amerika.
Tokoh sentral dari
teori fenomenologi ini adalah Edmund Husserl dan pengikutnya Max
Scheler, Husserl yang lahir di Prostejov, Cekoslowakia pada tahun 1859 dan
wafat tahun 1939 adalah pendiri fenomenologi, pemikirannya terekam dalam tiga
karya pentingnya, yaitu Logiche Untersuchungen
(Penyelidikan-penyelidikan logika), ideen zu Eineer Reinen
Phanomenologischen philosophie (Gagasan-gagasan untuk suatu fenomenologi
murni dan filsafat fenomenologi), dan meditations cartesiennes
(Renungan-renungan Kartesien).diantara pemikiran-pemikiran pentingnya ialah:
1)
Teori kebenaran
Seperti
disinggung diatas, menurut Husserl kebenaran haruslah digabung antara subyek
dan obyek. Obyek diberi kesempatan memperkenalkan dirinya kepada subyek yang
mengamati, sesuai dengan semboyan zu den schen selbs ( kembali kepada
benda-benda itu sendiri). Kembali kepada “benda-benda” dimaksudkan adalah
“benda-benda” diberi kesempatan untuk berbicara tentang hakekat
dirinya.Pernyataan tentang hakekat “ benda-benda” tidak lagi tergantung kepada
orang yang membuat pernyataan, melainkan ditentukan oleh benda-benda itu
sendiri.[6]
Akan
tetapi “benda-benda” tidaklah secara langsung memperlihatkan hakekatnya
sendiri. Apa yang kita temui pada benda-benda itu dalam pemikiran biasa, bukanlah
hakekat. Benda itu ada dibalik yang
kelihatan itu. Karena pemikiran yang pertama(first look) tidak membuka
tabir yang menutupi hakekat, maka diperlukan pemikiran kedua (second look).
Alat yang digunakan untuk menemukan pada pemikiran kedua ini, adalah intuisi
atau wesenchau dari hakekat gejala-gejala.[7]
Dalam
usaha melihat hakekat dengan intuisi, Husserl memperkenalkan pendekatan
reduksi. Yang dimaksud dengan reduksi adalah penundaan segala pengetahuan yang
ada tentang obyek sebelum pengamatan intuisi dilakukan. Reduksi juga dapat
diartikan penyaringan atau pengecilan. Istilah lain yang digunakan Husserl
adalah epoche, yang artinya sebagai penempatan sesuatu diantara dua
kurung, maksudnya adalah melupakan pengertian pengertian-pengertian obyek untuk
sementara dan berusaha melihat obyek secara langsung dengan intuisi tanpa
bantuan pengertian-pengertian yang ada sebelumnya. Reduksi ini adalah salah
satu prinsip yang mendasari sikap fenomenologis. Untuk mengetahui sesuatu,
seorang fenomenolog bersikap netral. Tidak menggunakan teori-teori atau
pengertian-pengertian yang telah ada, dalam hal ini obyek diberi kesempatan
“berbicara tentang dirinya sendiri”.
2) Jenis-jenis
reduksi
Agar
intuisi dapat menangkap gejala-gejala secara benar, maka manusia harus
melepaskan diri dari pengalaman-pengalaman dan gambaran sebelumnya yang
diperoleh dalam kehidupan sehari-hari,dengan cara menggunakan tiga jenis
reduksi, yaitu:
a.
Reduksi fenomenologis
Fenomena
apa yang tersebut diatas adalah menampakkan diri. Dalam praktek hidup
sehari-hari, kita tidak memperhatikan penampakan itu. Apa yang kita lihat
secara spontan sudah cukup meyakinkan kita bahwa obyek yang kita lihat adalah
riil atau nyata.
Kita
telah meyakininya sebagai realitas diluar kita. Akan tetapi karena yang dituju
fenomenologi adalah realitas dalam arti yang ada diluar dirinya dan ia dapat
dicapai dengan mengalami secara intuitif, maka apa yang kita anggap sebagai
realitas dalam pandangan biasa itu untuk sementara harus ditinggalkan atau
dibuat dalam kurung. Segala subyektifitas disingkirkan, termasuk dalam hal ini
teori-teori, kebiasaan-kebiasaan dan pandangan-pandangan yang membentuk pikiran
kita dalam memandang sesuatu (fenomena), sehingga yang timbul adalah fenomena
itu sendiri.
b.
Reduksi Eiditis
Eiditis
berasal dari kata eido, yaitu intisari.[8]
Reduksi eiditis ialah penyaringan atau penempatan didalam kurung. Segala hal
yang bukan eidos. Hasil reduksi kedua ini adalah penilikan realitas.
Dengan reduksi eiditas semua segi, aspek dan profil fenomena yang hanya
kebetulan dikesampingkan, karena aspek dan profil tidak pernah menggambarkan
obyek secara utuh. Setiap obyek adalah kompleks, mengandung aspek dan profil
yang tiada terhingga.
Reduksi
eiditas menunjukkan bahwa dalam fenomenologi kriteria koherensi berlaku.
Artinya, pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap obyek harus dapat
disatukan dalam suatu horizon yang konsisten, setiap pengamatan memberi harapan
akan tindakan-tindakan yang sesuai dengan yang pertama atau selanjutnya.
Oleh
karena itu dalam reduksi eiditas, yang harus dilakukan adalah jangan dulu
mempertimbangkan apa yang sifatnya aksidental atau eksistensial itu. Caranya
adalah melalui reduksi eiditas, yakni menunda dalam tanda kurung, sifat-sifat
yang eksistensial dari obyek, perhatian kita sepenuhnya diarahkan pada
esensinya, eidosnya atau hakekatnya.[9]
c.
Reduksi Transedental
Di
alam reduksi ini yang ditempatkan diantara dua kurung adalah eksistensi dan
segala sesuatu yang tidak mempunyai hubungan timbal balik dengan kesadaran
murni, agar dari obyek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada
subyek sendiri. Reduksi ini dengan sendirinya bukan lagi mengenai obyek.
Reduksi ini merupakan pengarahan ke subyek dan mengalami hal-hal yang
menampakkan diri dalam kesadaran, jadi yang tinggal adalah kesadaran diri,
tetapi bukan kesadaran empiris. Kesadaran yang ditemukan adalah kesadaran yang
bersifat murni atau transendental.
Ketiga reduksi ini mempunyai hubungan yang koheren, yang
dimulai dari yang pertama, kemudian kedua selanjutnya yang ketiga. Reduksi
ketiga tidak diperoleh tanpa dimulai dari reduksi pertama. Dengan demikian
reduksi berproses secara dinamis dan linear, sehingga tidak ada loncatan
reduksi.[10]
B. Intuisionisme
Aliran intuisi ini
lahir sebagai reaksi kritik terhadap aliran rasionalisme dan empirisme, tokoh
aliran ini adalah Henri Bengson (1854-1941).
Dalam kamus ilmiah
dinyatakan bahwa intuisionisme adalah suatu anggapan bahwa ilmu pengetahuan
dapat dicapai dengan pemahaman langsung:
anggapan bahwa kewajiban moral tidak dapat disimpulkan sendiri tanpa
pertolongan dari tuhan.[11]
Henri Bengson
berpendapat bahwa tidak hanya indra yang terbatas, tetapi akalpun demikian,
objek-objek yang kita tangkap itu selalu berubah.[12]
Dari pendapat
diatas dapat dipahami bahwa indra dan akal memiliki keterbatasan dalam memahami
suatu objek . indra dan akal dapat memahami suatu objek jika ia
mengkonsentrasikan dirinya pada objek tersebut.
Dengan menyadari
keterbatasan indra dan akal, Bengson mengembangkan satu kemampuan tingkat
tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi. Intuisi merupakan pengetahuan yang
didapatkan melalui proses penalaran tertentu. Ini merupakan hasil evolusi
pemahaman tertinggi dan intuisi tersebut menangkap objek secara langsung tanpa
melalui pemikiran.
Bagi intuisinisme,
terdapat adanya suatu bentuk pengalaman lain (pengalaman bathiniah) disamping
pengalaman yang dihayati melalui indra. Tesa yang dikembangkan oleh faham ini
ternyata memiliki sisi yang memberatkan diantaranya lahirnya pengetahuan yang
intuitif yang hanya dapat dikomunikasikan melalui penerjemahan ke dalam
simbol-simbol, sehingga kita akan berbicara mengenai pengetahuan yang sifatnya
subyektif.
Seseorang yang
sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan
jawaban atas permalahan tersebut. Tanpa melalui proses berpikir yang berliku,
tiba-tiba saja dia sudah sampai pada sebuah kesimpulan. Jawaban atas
permasalahan yang dipikirkannya muncul dibenaknya atau intuisi ini bekerja
dalam keadaan yang tidak sepenuhnya sadar.
Suatu masalah yang
sedang kita pikirkan yang kemudian kita tunda karena menemui jalan buntu,
tiba-tiba muncul di benak kita yang lengkap dengan jawabannya. Kita merasa
yakin bahwa memang itulah jawaban yang kita cari namun kita tidak bisa
menjelaskan bagaimana caranya kita sampai disana.[13]
DAFTAR PUSTAKA
Abidin,
Zainal Filsafat Manusia, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2003
Bartends,
K. Filsafat Barat Abad XX, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1981
Drijakara
N. S.J., percikan Filsafat, Cet.V; Jakarta: PT. Pembangunan, 1989
Echols,
Jhon M. dan Hasan Shadily, kamus bahasa inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990
Nasution,
Hasan Bakti Filsafat Umum Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
Partianto
A. dan M. Dahlan al Barry, kamul Ilmiah Populer, Surabaya: Arloka, t.th.
Praja,
Juhaya S. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Cet.II ;Jakarta:kencana,
2005
Sudarsono,
Ilmu Filsafat, Jakarta: PT.Rineka Cipta,2001
Sumantri,
Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet.VI; Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 1990
Tafsir,Ahmad,
Filsafat Umum, Cet.IX ; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999.
My Blog List