- Back to Home »
- Filsafat Ilmu »
- Ilmu dan Pertimbangan Nilai
Posted by : LaSaro'
Selasa, 22 Januari 2013
ILMU DAN PERTIM BANGAN NILAI
A.
Pengertian Ilmu
Kata ilmu berasal dari bahasa Arab : ‘alima – ya’lamu – ‘ilman, dengan
wazan – fahima yafhamu yang berarti : mengerti, memahami, memahami
benar-benar. Asmu’i telah memahaminya dengan bahasa filsafat.[1] Dalam bahasa
Inggris science, dari bahasa latin disebut scientia (Pengetahuan),
scire (mengetahui). Sinonim yang paling dekat dengan bahasa Yunani
adalah episteme.[2]
Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia, pengertian ilmu adalah pengetahuan
tentang bidang yang disusun secara bersistem
menurut metode-metode tertentu,
yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang
(pengetahuan) itu.[3]
Adapun menurut para ahli, definisi ilmu, antara lain :
1.
Mulyadi Kartanegara[4],
ilmu didefinisikan sebagai pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya.
2.
Mohammad Hatta
: ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan kausal dalam suatu
golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut tampak dari luar, maupun
menurut bagian dari dalam.[5]
Pembahasan tentang ilmu, sumber (asal) dan cara memperoleh ilmu
merupakan pembahasan panjang dan amat
penting dalam filsafat. Cabang filsafat yang secara khusus membahas masalah ini
adalah epistemologi.
Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua
suku kata, episteme yang berarti pengetahuan (knowledge)[6], logos
berarti teori[7],
pengetahuan, informasi[8],
uraian atau ulasan[9].
Sehingga dapat dikatakan teori tentang pengetahuan, atau pengetahuan tentang
pengetahuan. Jhon. M. Echols dan Hassan Sadily, mengartikannya sebagai bagian
filsafat yang membahas tentang asal.[10]
Secara terminology, epistemology menurut :
1.
Langeveld :
Teori pengetahuan yang membicarakan tentang
hakikat pengetahuan, unsur-unsur pengetahuan dan susunan berbagai jenis
pengetahuan, pangkal tumpuannya yang pundamental, metode-metode dan
batasan-batasannya.[11]
2.
Jujun S.
Sumantri : Pembahasan secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha
memperoleh ilmu pengetahuan.[12]
3.
Harun Nasution,
dalam bukunya Filsafat Agama: ilmu yang membahas apa pengetahuan itu dan
bagimana memperolehnya.[13]
4.
Paul Monroe’s: the
theory or doctrine of knowledge, more especially, an account of the possibility
of true or valid knowledge, of its nature and extent or limits.[14]
Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian
epistemology adalah teori pengetahuan
tentang bagimana memperoleh pengetahuan dengan melalui proses tertentu sehingga
apa yang telah didapatkan dapat diterapkan dan diakui bahwa itu adalah suatu
ilmu.
B.
Sumber dan Cara pengambilan
Ilmu
Dalam hidup dan kehidupannya, manusia melihat masalah, lalu
memikirkannya dan melakukan observasi dengan cermat kemudian menghubung-hubungkan
hasil pengamatannya itu.
Menurut para ahli ilmu pengetahuan, sumber ilmu pengetahuan
didasarkan pada:
1.
Empiric/Indrawi
Empirik berasal dari bahasa Yunani empiria, yang berarti
pengalaman[15].
Dari sini memunculkan istilah empirisme yaitu faham yang mengatakan
bahwa penginderaan adalah pengetahuan manusia berasal dari pengalaman manusia
itu sendiri, melalui dunia luar yang ditangkap oleh panca indera.[16]
Menurut M. Baqir Al-shadr, teori empirical/empirisme berpendapat
bahwa satu-satunya yang membekali akal
manusia dengan konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan, dan (bahwa potensi akal
budi) adalah potensi yang tercerminkan dari berbagai persepsi inderawi.[17]
Jadi, ketika menginderawi sesuatu, kita dapat memiliki suatu konsepsi
tentangnya, yakni from dari sesuatu itu dalam akal budi. Adapun
gagasan-gagasan yang tidak terjangkau oleh indera, tidak dapat diciptakan oleh
jiwa, tidak pula dapat dibangun secara esensial dan dalam bentuk berdiri
sendiri.
Bagi teori empirisme, pengalaman inderawi adalah satu-satunya
sumber penjamin kepastian kebenaran pengetahuan. Adapun metode yang digunakan
adalah metode verifikasi-induktif.[18]
Tokoh-tokoh utama empirisme
yang paling berpengaruh diantaranya adalah David Hume, Jhon Lucke, dan Bishop
Barkeley. Jhon Lucke misalnya adalah penentang utama teori rasionalisme dan
merupakan lawan dari Descartes dengan mengatakan bahwa ide bawaan adalah omong
kosong.[19]
2.
Rasio/Akal
Rasio atau akal adalah sumber pengetahuan. Oleh sebab itu, dari
pahaman ini menimbulkan pemahaman rasionalisme, yaitu paham yang
mengemukakan bahwa sumber pengetahuan
manusia adalah pikiran, rasio/akal, dan jiwa.[20]
Rasionalisme menekankan akal sebagai sumber utama pengetahuan manusia dan
pemegang otoritas terakhir bagi penentuan kebenaran. Manusia dengan akalnya
memiliki kemampuan untuk memiliki struktur dasar alam dunia ini secara apriori.
Pengetahuan diperoleh tanpa melalui pengalaman inderawi.[21] Singkatnya,
kaum rasionalisme mengatakan bahwa sumber pengatahuan manusia adalah akal atau
ide. Mereka tidak mendapatkan alasan munculnya sejumlah gagasan dan persepsi
dari indera, karena memang ilmu bukan konsepsi-konsepsi inderawi maka ia harus
digali secara esensial dari libuk jiwa.[22]
Tokoh utama dari teori ini adalah Rene Descartes (1596-1650) dan
Immanuel Kant (1724-1804).[23]
Kedua tokoh ini sangat mendewakan akal budi, sehingga melahirkan paham
intelektualisme dalam dunia pendidikan.[24]
Rasionalisme menekankan bahwa sumber satu-satunya dari pengetahuan
manusia adalah rasionya. Bagi paham ini, rasio mampu mengetahui kebenaran alam
semesta yang tidak mungkin dapat diketahui dengan melalui observasi. Paham ini
membantah paham empirisme, yakni pengalaman tidak mungkin dapat menguji
kebenaran “hukum sebab akibat”, sebab peristiwa yang banyak tak terhingga itu
tidak mungkin dapat diobservasi. Pengalaman hanya sampai menggambarkan, tetapi
tidak dapat dibuktikan.[25]
3.
Intuisi/hati
Kata intuisi berasal dari bahasa inggris intuition yang
berarti gerak hati[26],
langsung melihat.[27]
Pentingnya pengetahuan yang diperoleh dengan intuisi adalah bahwa pengetahua
itu bukanlah pengetahuan yang berasal dari luar diri kita yang bersifat
dangkal, melainkan dari dalam diri kita.[28] Dari sini melahirkan paham intuisionisme, yaitu paham yang
berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan khusus, yaitu cara khusus untuk
mengetahui yang tidak terikat kepada kemampuan indera maupun penalaran.[29]
Pengetahuan intuitif adalah
jenis pengetahuan yang memuat pemahaman secara cepat. Menurut Archie Bahm
adalah nama yang kita berikan pada cara pemahaman kesadaran ketika pemahaman
itu berwujud penampakan langsung.[30]
Ia menegaskan bahwa tidak ada pengintuisian tanpa melibatkan kesadaran, begitu
juga sebaliknya. Sedangkan Murtadha Muthahhari mempersamakan intuisi dengan
fislsafat akhlak/etika.[31]
4.
Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan (Allah) kepada
manusia lewat para Nabi dan Rasul-rasul-Nya. Wahyu ini dikondifikasikan dalam
tiga buah kitab suci yaitu; Taurat, Injil, dan Al-qur’an. Wahyu Tuhan
(agama) berisikan pengetahuan baik mengenai kehidupan seseorang yang terjangkau
oleh empirik maupun yang mencakup
permasalahan yang transcendental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan
manusia, dunia dan segenap isinya serta kehidupan diakhirat nanti. Pengetahuan
ini berdasarkan kepercayaan atau keimanan kepada Tuhan sebagai sumber
pengetahuan.[32]
Menurut Murtadha Muthahhari, semua sumber ilmu pengetahuan telah
disampaikan oleh Al-qur’an sebagai wahyun dari Tuhan, baik itu yang empiris,
rasio/akal, maupun sesuatu yang melampaui keduanya. Hal ini digambarkan dalam
Al-qur’an
وَاللَّهُ
أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ
لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Terjemahannya:
Dan Allah
mengeluarkan dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun,
dan Dia member kamu pendengaran, pengelihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (Q.S. an-Nahl: 78)
Dalam ayat ini Allah SWT telah menganugerahi manusia untuk mengkaji
alam dan telah member hati nurani/akal dan daya analisis agar manusia dapat
meneliti realitas-realitas segala sesuatu untuk mengetahui segala hukum-hukum
yang segala sesuatu itu.[33]
Dalam ayat ini, masih menurutnya, pendengaran dan pendengaran adalah dua alat
indera yang sangat penting untuk mendapatkan pengetahuan primer yang tidak
mendalam. Sedangkan hati/akal secara teknis digambarkan sebagai alat untuk
memperoleh pengetahuan yang mendalam dan logis. Dan juga Al-qur’an mengakui
ketakwaan dan kesucian jiwa sebagai sarana untuk mendapatkan pengetahuan.[34]
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا
وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ
الْعَظِيمِ
Terjemahannya:
Hai orang-orang
beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, kami akan memberiakan kepadamu
Furqan. Dan akan kami jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni
dosa-dosamu. Dan Allah mempunyai karunia besar. (QS:
al-Anfal: 29)
C.
Ilmu dan Pertimbangan Nilai (Aksiologi)
Pembahasan tentang nilai sebuah ilmu filsafat dibahas dalam cabang
filsafat yang disebut aksiologi. Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani)
yang berarti layak, pantas. Dan logos berarti ilmu, teori.[35]
Dalam bahasa inggris axsiology artinya teori umum tentang nilai, norma,
martabat.[36] Adapun beberapa
defenisi aksiologi secara terminilogy
sebagai berikut:
Ø Jujun S. Sumantri: teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh.[37]
Ø
Loren’s Bagus,
mencatat beberapa pengertian dalam bukunya Kamus Filsafat sebagai berikut:
· Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai. Maksudnya ialah membatasi
arti, ciri-ciri, asal, tipe, criteria dan status epistemologis dari nilai-nilai
itu.
· Aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau
suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai.
· Aksiologi adalah studi filsofis tentang hakikat nilai-nilai.
Pertanyaan mengenai hakikat nilai ini dapat dijawab dengan tiga cara: 1) nilai
sepenuhnya berhakikat subjektif. Dari sudut pandang ini, nilai-nilai merupakan
reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku. Pengikut teori
idealisme subyektif (positivisme logis, emotivisme analisis linguistic dan
etika) menganggap nilai sebagai pengungkap perasaan psikologis, sikap subyektif
manusia kepada objek yang dinilainya. 2) nilai-nilai merupakan kenyataan namun
tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai merupakan esensi-esensi logis
dan dapat diketahui akal. 3) nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang
menyusun kenyataan.[38]
· Aksiologi: teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria dan
status metafisik dari nilai dalam pemikiran filsafat Yunani, studi mengenai
nilai ini mengedepankan dalam pemikiran Plato mengenai idea tentang kebaikan
atau lebih dikenal summum Bonum.[39]
Lapie
dalam bukunya Logique de La Volonte dan F. Von Hartman dalam bukunya Grundrider
Axiologie.[40]
Teori tentang nilai dibagi menjadi: a) nilai etika, b) nilai estetika.
a.
Etika
Istilah etika berasal dari kata ethos (Yunani) yang artinya
adat kebiasaan. Dalam istilah lain, para ahli istilah menyebutnya dengan moral.
Walaupun antara kedua istilah itu ada perbedaannya, namun para ahli tidak
membedakannya secara tegas, bahkan cenderung untuk memberi arti yang sama
secara praktis. [41]
b.
Estetika
Estetika merupakan nilai-nilai yang berhubungan dengan kreasi seni,
dengan pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan seni dan kesenian.
Kadang-kadang estetika diartikan sebagai filsafat seni, dan kadang-kadang
dinyatakan sebagai hakikat keindahan. Tetapi sesungguhnya konsep keindahan
hanya satu saja dari sejumlah konsep dalam filsafat seni.[42]
Problem utama aksiologi
berkaitan dengan empat factor penting sebagai berikut:
1.
Kodrat nilai
berupa problem mengenai; apakah nilai itu berasal dari keinginan (Voluntarisme:
Spinoza), kesenangan (Hedonisme: Epicurus, Bentham, Meinong), kepentingan
(Terry), pereferensi (Martniea), keinginan rasio murni (Kant), pemahaman
kualitas tersiar (Santanaya), pengalaman sineptik kesatuan kepribadian
(Personalisme: Green), berbagai pengalamman yang mendorong semangat (Nieztche),
relasi benda-benda sebagai sarana untuk mencapai tujuan, atau konsekuensi yang
sungguh amat dijangkau (Pragmatisme: Deway).
2.
Jenis-jenis
nilai menyangkut perbedaan pandangan antara nilai intrinsik, ukuran untuk
kebijaksanaan nilai itu sendiri. Nilai-nilai instrumental yang menjadi penyebab
(baik barang-barang ekonomis atau peristiwa-peristiwa alamiah) mengenai nilai
intrinsik.
3.
Kriteria nilai,
artinya ukuran untuk menguji nilai yang dipengaruhi sekaligus oleh teori psikologi
atau logika. Penganut hedonisme menemukan ukuran bahwa ukuran nilai terletak
pada kenikmatan yang dilakukan oleh seseorang atau masyarakat. Penganut
institusionis menonjolkan suatu wawasan yang paling akhir dalam keutamaan.
Beberapa penganut idealis mengakui system obyektiif norma-norma rasional atau
norma-norma ideal sebagai kriteria. Penganut naturalis menemukan keunggulan
biologis seukuran standar.
4.
Status metafisika nilai mempersoalkan tentang
bagaimana hubungan terhadap fakta-fakta yang diselidiki melalui ilmu-ilmu
kealaman, kenyataan terhadap keharusan pengalaman manusia tentang nilai pada
realitas kebebasan manusia.[43]
Dari problem-problem di atas melahirkan
tiga jawaban penting yaitu:
Ø Subyektifitas menganggap bahwa nilai merupakan suatu yang terkait
pada pengalaman manusia seperti halnya hedonisme, naturalisme, dan positivisme.
Ø
Obyektifitas
logis menganggap bahwa nilai merupakan hakikat atau subsistensi logis yang
bebas dari keberadaan yang diketahui. Tanpa status eksistensi atau tindakan
dalam realitas
Ø
Subyektifitas
metafisik menganggap bahwa nilai norma adalah integral, obyektif dan
unsur-unsur aktif kenyataan metafisik seperti yang dianut oleh theisme,
absolutism, realisme.[44]
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
W. Munawwir, Al-Munawwir: Arab-Indonesia, (Yogyakarta: PP. Al-Munawwir
Krapyak, 1994)
Amsal
Bahtiar, Filasafat Ilmu, (Cet. I; Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada,
2006)
Armai
Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Cet. I; Jakarta:
Press, 2002)
Burhanuddin
Salam, Logika Material; Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Cet. I; Jakarta:
Rineka Cipta, 1997)
Darmawati
Hanafi, Teori-Teori Epistemologi; Rasionalisme Kritik, Fenomenologi, dan
Intutionisme, dalam jurnal Wawasan Keislaman fakultas ushuluddin;
Sulasena, Vol. I, 2006
Donny
Gahral Adian, Menyoal Obyektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume
sampai Thomas Khan, (Cet. I; Jakarta: teraju, 2002)
Jaques
Ellul, The Technologica
l Society,
(New York: Afired Knof, 1964)
Jhon
M. Echols, Hassan Sadliy, Kamus Inggris-Indonesia, (Cet. VIII; Jakarta:
Gramedia, 1996)
Juhaya
S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat Dan Etika, (Cet. II; Jakarta: Kencana,
2005)
Jujun
S. Sumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Cet. I; Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1998)
, ilmu dalam prespektif, (Cet.
IX; Jakarta: Yayasan Otor Indonesia, 1991)
Loren’s
Bagus, Kamus Filsafat, (Cet. III; Jakarta: Gramedia, 2002)
Mochtar
Efendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Jilid I (Cet. I; Palembang:
Universitas Sriwijaya, 2000)
[1]Ahmad
W. Munawwir , Al-Munawwir: Arab Indonesia, (Yogyakarta: PP.
Al-Munawwir Krapyak, 1994), h. 1036.
[2]Jujun
S. Sumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Cet. I; Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan, 1998), h. 324.
[3]Wihadi
Atmojo, et.al. Kamus Bahasa Indonesia, (Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka,
1998), h. 324.
[4]Mulyadi
merumuskan definisi ilmu setelah mengkaji berbagai perdebatan istilah science
dan knowledge. Lihat Muliadi Kartanegara, Loc. Cit.
[5]Lihat
Subari Yanto, Loc. Cit., Burhanuddin Salam , Logika Material;
Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 97.
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Cet. I:
Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 4.
[6]Armai
Arif, Loc. Cit., Burhanuddin Salam, Loc. Cit., Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran
Filsafat dan Etika, (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2005), h. 87.
[7]Lihat
Loren’s Bagus, Kamus Filsafat, (Cet. III; Jakarta: Gramedia, 2002), h.
212.
[8]Lihat
Armai Arief, Loc. Cit.
[9]Jhon
M. Echols, Hassan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Cet. XIII; Jakarta:
Gramedia, 1996), h. 217.
[10]Burhanuddin
Salam, Loc. Cit.
[11]Lihat
jujun S. Sumantri, Ilmu dan Perspektif, (Cet. IX; Jakarta: Yayasan Otor
Indonesia, 1991), h. 217.
[12]Armai
Arief, Op. Cit.
[13]Lihat
Paul Monroe’s, Encyclopedia of Philosophy of Education, Vol. I (New
Delhi: Cosmo Publication, 2001), h. 250.
[14]Lihat
Donny Gahral Adian, Menyoal Obyektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume
Sampai Thomas Khan, (Cet. I: Jakarta: Teraju, 2002), h. 48.
[15]Lihat
Armie Arief, Op. Cit. h. 5.
[16]Lihat
M. Baqir al-shadr, Op. Cit., h. 31-32.
[17]Donny
Gahral Adian, Op. Cit.
[18]Lihat
ibid.
[19]Armai
Arief, Loc. Cit.
[20]Donny
G. Adian, Op. Cit., h. 43-44.
[21]M.
Baqir al-shadr, Op. Cit., h. 29-30.
[22]Lihat
ibid.
[23]Burhanuddin
Salam, Op. Cit., h. 101
[25]Lihat
Darmawati, Op. Cit., h. 25.
[26]Burhanuddin
Salam,Op. Cit., h. 102.
[27]Lihat
Ibid.
[28]Lihat
Ibid.
[29]Subri
Yanto, Op. Cit., h. 19.
[30]Burhanuddin
Salman, Op. Cit., h. 103.
[31]Murtadha
Muthahhari, Falsafah Ahklak, diterjemahkan oleh Faruq bin Dhiya’ dengan
filsafat ahklak; Kritik atas konsep Moralitas Barat, (Cet. I; Bandung:
Pustaka Hidayah, 1995), h. 89.
[32]Lihat
ibid.
[33]
Lihat Murtadha Muthahhari, Man and Universe, diterjemahkan oleh Ilyas
Hasan dengan judul Manusia dan Alam semesta; Konsepsi Islam tentang Jagad
Raya, (Cet. IV; Jakarta: 2006), h. 183-185.
[34]Lihat
ibid.
[35]
Loreng Bagus, Kamus Filsafat, Op. Cit, h. 33.
[36]
Lihat Mochtar Effendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Jilid I (Cet. I;
Palembang: Universitas Sriwijaya, 2000), h. 145.
[37] Lihat
Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu…, Op. Cit., h. 234
[38]
Lihat Loreng Bagus, OP. Cit., h. 33-34.
[39]
Lihat Subari Yanto, Op, Cit., h. 20.
[40]
Lihat ibid
[41] Ibid
[42] Ibid
[43]
Subari Yanto, Op. Cit., h. 20-22
[44] Ibid
My Blog List