- Back to Home »
- Filsafat Ilmu »
- Etika Agama
Posted by : LaSaro'
Kamis, 17 Januari 2013
DALAM
APLIKASI ILMU
A. Definisi
Etika, Agama, dan Ilmu
1.
Definisi Etika
Secara etimologi, etika berasal
dari bahasa Yunani yaitu ethikos, ethos (adat, kebiasaan,
praktek). Sebagaimana digunakan Aristoteles istilah ini mencakup ide “karakter”
dan “disposisi” (kecondongan). Kata moralis diperkenalkan ke dalam kosa kata
filsafat oleh Cirero. Baginya kata ini ekuivalen dengan kata ethikos yang diangkat oleh Aristoteles. Kedua istilah itu menyiratkan hubungan dengan kegiatan praktis.[1]
filsafat oleh Cirero. Baginya kata ini ekuivalen dengan kata ethikos yang diangkat oleh Aristoteles. Kedua istilah itu menyiratkan hubungan dengan kegiatan praktis.[1]
Sedangkan secara terminologi, beberapa
ahli menguraikan definisi etika sebagai berikut:
Mulyadhi Kartanegara:
“Etika
adalah filsafat moral atau ilmu akhlak, tidak lain daripada ilmu atau “Seni”
hidup (the art of living) yang mengajarkan bagaimana cara hidup bahagia, atau
bagaimana memperoleh kebahagiaan. Etika sebagai seni hidup etika sebagai
pengobatan spiritual.[2]
Ahmad Amin:
Ahmad Amin:
“Etika
adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang
seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan
yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan
untuk melakukan apa yang harus diperbuat.[3]
Poedjawiyatna mengatakan bahwa:
“Tindakan
mungkin juga dinilai sebagai baik atau lawannya, ialah buruk. Kalau tindakan
manusia dinilai atas baik-buruknya, tindakan itu seakan-akan keluar dari
manusia, dilakukan dengan sadar atas pilihan, dengan satu perkataan: sengaja. Faktor kesengajaan ini mutlak untuk
penilaian baik-buruk, yang disebut etis atau moral.[4]
Sudarsono:
“Etika
adalah ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh
yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Etika disebut pula akhlak atau
disebut pula moral. Apabila disebut “akhlaq” berasal dari bahasa arab. Apabila
disebut “moral” berarti adat kebiasaan.[5]
2.
Definisi Agama
Secara etimologi, agama berasal dari kata Sanskrit. Ada yang berpendapat bahwa kata itu terdiri
atas dua kata, a berarti tidak dan gam berarti pergi, jadi agama artinya tidak
pergi; tetap ditempat; diwarisi turun temurun. Agama memang mempunyai sifat
yang demikian. Pendapat lain mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab
suci. Selanjutnya dikatakan bahwa gam berarti tuntunan. Agama juga
mempunyai tuntunan, yaitu kitab suci. Istilah agama dalam bahasa asing
bermacam-macam, antara lain:
Religion,
religio, religie, godsdienst, dan al-din.[6]
Sedangkan secara terminologi,
beberapa ahli menguraikan definisi agama sebagai berikut:
J.G.
Frazer:
“Agama adalah penyembahan
kepada kekuatan yang lebih agung dari pada manusia, yang dianggap mengatur dan
menguasai jalannya alam semesta.[7]
Mehdi
Ha’iri Yazdi:
“Agama adalah kepercayaan
kepada yang Mutlak atau kehendak Mutlak sebagai keperdulian tertinggi.[8]
Musthafa
Abd Raziq:
“Agama terjemahan dari kata din
yang berarti peraturan-peraturan yang terdiri atas kepercayaan-kepercayaan yang
berhubungan dengan keadaan-keadaan suci.[9]
A.M.
Saefuddin:
“Agama merupakan kebutuhan paling
esensial manusia yang bersifat universal. Karena itu, agama adalah kesadaran
spiritual yang di dalamnya ada satu kenyataan di luar kenyataan yang tampak ini,
yaitu bahwa manusia selalu mengharap belas kasih-Nya, bimbingan tangan-Nya,
serta belaian-Nya, yang secara ontologism tidak diingkari, walaupun oleh
manusia yang paling komunis sekalipun.[10]
Sutan
takdir Alisyahbana:
“Agama adalah suatu sistem kelakuan dan perhubungan yang berpokok
pada perhubungan manusia dengan rahasia kekuasaan dan kegaiban yang tiada
terhingga luas, dalam dan mesranya di sekitarnya, dan dengan demikian memberi
arti kepada hidupnya dan kepada alam semesta yang mengelilinya.[11]
Max Muller berpendapat bahwa definisi agama secara lengkap belum tercapai
karena penelitian terhadap agama terus dilakukan dan para ahli agama masih
menyelidiki asal usul agama. Jadi, definisi yang pasti dan lengkap tentang
agama (dalam istilah mantiqnya jami ‘wa mani’) belum terealisir.[12]
Kendati Max Muller mengatakan bahwa
definisi agama belum lengkap. Namun, dari definisi di atas beberapa unsur pokok
dalam agama telah terungkap, yaitu masalah yang gaib, adanya hubungan baik
dengan kekuatan gaib tersebut,, respon emosional dari manusia, baik respon
dalam bentuk rasa takut, atau perasaan cinta, dan adanya yang suci, seperti
kitab suci atau tempat suci.
Agama dalam ajaran Islam dikenal
dengan istilah al-din atau din al-haqq seperti yang dijumpai
dalam Q.S. al-Shaff/61: 9, Q.S. al-Fath/48: 28 dan Q.S. al-Maidah/5: 3. Din
dalam ayat tersebut berlaku bagi agama Islam yang meliputi aspek Islam, Iman, dan
Ihsan. Akan tetapi, din juga dapat diartikan sebagai “lembaga ilahi” (wadh’lahiy)
yang memimpin manusia untuk keselamatan di dunia dan di akhirat.[13]
3.
Definisi Ilmu
‘Ilm dari segi
etimologi berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya
mempunyai ciri kejelasan. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.[14]
Menurut az-Zubardi, terjadi perdebatan panjang tentang istilah ‘ilm sehingga
sekelompok pakar berpendapat bahwa ‘ilm tidak dapat didefinisikan karena
kejelasannya. Ada pula yang mengatakannya karena sulitnya (mendefinisikannya).
Demikian pula dengan pendapat-pendapat lain, dengan segala kelebihan dan
kekurangannya, seperti disebutkan oleh Imam Abul hasan al-Yusi dalam kitab Qanun
ul-‘Ulum.[15]
Al-Manawi dalam kitab at-Taiqif berkata, “ilmu adalah keyakinan
kuat yang tetap sesuai dengan realita. Bisa juga berarti sifat yang membuat
perbedaan tanpa kritik. Atau, ilmu adalah tercapainya bentuk sesuatu dalam
akal.[16]
Imam Raghib al-Ashfahani dalam kitabnya, Mufradat al-Qur’an,
berkata, “ilmu adalah mengetahui sesuatu sesuai dengan hakikatnya. Ia terbagi
dua: pertama, mengetahui inti sesuatu itu (oleh ahli logika dinamakan thasawwur).
Kedua, menghukum adanya sesuatu pada sesuatu yang ada, atau menafikan sesuatu
yang tidak ada (oleh ahli logika dinamakan tashdiq, maksudnya mengetahui
hubungan sesuatu dengan sesuatu).[17]
Raghib al-Ashfahani membagi ilmu dari sisi lain, yakni menjadi ilmu
teoritis dan aplikatif. Ilmu teoritis berarti ilmu yang hanya membutuhkan
pengetahuan tentangnya. Jika telah diketahui berarti telah sempurna, seperti
ilmu tentang keberadaan dunia. Sedangkan, ilmu aplikatif adalah ilmu yang tidak
sempurna tanpa dipraktekkan, seperti limu tentang ibadah, akhlak, dan
sebagainya.[18]
Selanjutnya ar-Raghib menjelaskan, dari sudut pandang lainnya ilmu dapat
pula dibagi menjadi dua bagian: Ilmu rasional dan doktrinal. Ilmu rasional
adalah ilmu yang didapat dengan akal dan penelitian, sedangkan ilmu doktrinal
merupakan ilmu yang didapat dengan pemberitaan wahyu.[19]
B. Pertimbangan
Etika Agama dalam Aplikasi Ilmu
1.
Etika Agama
Berbicara tentang etika dalam Islam tidak
dapat lepas dari ilmu akhlak berbagai salah satu cabang ilmu pengetahuan agama
Islam. Oleh karena itu etika dalam Islam (bisa dikatakan) identik dengan ilmu
akhlak, yakni ilmu tentang keutamaan-keutamaan dan bagaimana cara
mendapatkannya agar manusia berhias dengannya; dan ilmu tentang hal yang hina
dan bagaimana cara menjauhinya agar manusia terbebas dari padanya. Etika, di
lain pihak, seringkali dianggap sama dengan akhlak. Persamaannya memang ada,
karena keduanya membahas masalah baik-buruknya tingkah laku manusia, akan
tetapi akhlak lebih dekat dengan “kelakuan” atau “budi pekerti”[20] yang bersifat aplikatif, sedangkan etika
lebih cenderung merupakan landasan filosofinya, yang membahas ilmu tentang apa
yang baik dan apa yang buruk.[21]
Oleh karena itu, pada sebagian pandangan
ethics yang dalam beberapa literatur Islam disebut sebagai falsafah akhlaqiyyah
sering terabaikan dari perhatian sarjana, sejarawan, dan budayawan Islam.
Pandangan semacam itu jelas didasari suatu keyakinan muslim, bahwa seluruh
kandungan al-Qur’an merupakan etos muslim, sehingga seluruh disiplin ilmu dalam
Islam bersumber dari padanya, yang oleh karenanya seluruh ilmu tersebut
dianggap mengandung unsur-unsur akhlak.[22]
Namun pandangan lain menguraikan upaya
perumusan etika dalam sejarah Islam dilakukan oleh beberapa pemikir dari
berbagai cabang pemikiran-termasuk di dalamnya ulama hukum (syariat atau
eksoteris), para teolog, para mistikus, dan para filosof. Berikut ini
dikemukakan ciri-ciri etika dalam filsafat Islam:[23]
a. Islam berpihak pada teori tentang etika
yang bersifat fitri. Dalam sebuah hadis Nabi Saw pun mengajarkan agar
mengetahui baik buruknya sebuah perbuatan, kita menanyai hati nurani kita.[24]
b. Moralitas dalam Islam didasarkan kepada
keadilan, yakni menempatkan segala sesuatu pada porsinya.[25]
c. Tindakan etis itu sekaligus dipercayai
pada puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan bagi pelakunya.[26]
d. Tindakan etis bersifat rasional.
Tujuan etika dalam pandangan filsafat
adalah “ideal” yang sama bagi seluruh manusia di setiap waktu dan tempat,
menentukan ukuran tingkah laku yang baik dan yang buruk sejauh yang dapat
diketahui oleh akal manusia. Pola hidup yang diajarkan Islam bahwa seluruh
kegiatan peribadatan, hidup, dan mati adalah semata-mata dipersembahkan kepada
Allah, maka tujuan terakhir dari segala tingkah laku manusia menurut pandangan
etika Islam adalah keridhaan Allah.[27]
2.
Aplikasi Ilmu
Aplikasi ilmu-ilmu apa yang dianjurkan Islam, telah
merupakan pokok penting yang mendasar sejak hari-hari pertama Islam; apakah ada
bentuk ilmu khusus yang harus dicari? Sebagian ulama besar Islam hanya
memasukkan cabang-cabang ilmu yang secara langsung berhubungan dengan agama.
Sedangkan tipe-tipe ilmu lain, mereka menyerahkan kepada masyarakat untuk
menentukan ilmu mana yang paling esensial untuk memelihara dan menyejahterahkan
diri mereka. Hadis “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim” telah melahirkan
berbagai pembahasan, seperti ilmu apa yang harus dicari oleh seorang muslim.[28]
Selanjutnya dapat dicatat bahwa Islam
mengutamakan baik ilmu rasional maupun ilmu empiris. Tiada dogma, bagaimanapun
keramat dan tuanya, dapat diterima dalam “ Islam dan bagi umat Islam, kecuali
jika ia tahan uji rasio. Berulangkali al-Qur’an menantang kaum penganut
kepercayaan yang palsu “untuk menunjukkan buktu-bukti tentang kebenarannya.”[29]
Al-Qur’an menganggap begitu pentingnya
bukti dan kesahihan, sehingga menasihatkan orang-orang yang beriman agar tidak
menerima sesuatu yang berada di luar pengetahuan mereka. Ayat sucinya yang
berbunyi, “Janganlah menuruti sesuatu yang engkau tidak tahu apa-apa
tentangnya. Sesungguhnya, telinga, mata, dan akal harus bertanggung jawab untuk
itu.”[30]
a.
Objek ilmu
Objek ilmu menurut ilmuwan muslim
mencakup alam materi dan nonmateri. Tentu ada tata cara dan sarana yang harus
digunakan untuk meraih pengetahuan tentang hal tersebut:
Terjemahnya: Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur.” (Q.S. Al-Nahl/16: 78).[31]
Ayat
ini mengisyaratkan penggunaan empat sarana yaitu:
Pendengaran, mata (penglihatan) dan akal,
serta hati.
Trial
and error (coba-coba), pengamatan, percobaan, dan tes-tes kemungkinan
(probability) merupakan cara-cara yang digunakan ilmuwan untuk meraih
pengetahuan. Hal itu disinggung juga oleh al-Qur’an, seperti dalam ayat-ayat
yang memerintahkan manusia untuk berfikir tentang alam raya, melakukan
perjalanan, dan sebagainya, kendatipun hanya berkaitan dengan upaya manusia
alam materi.[32]
قُلِ انظُرُواْ مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ
وَالأَرْضِ
Terjemahnya: Katakanlah:
"Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.” (Q.S. Yunus/10: 101).[33]
Terjemahnya: Maka apakah mereka tidak
memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan,. Dan langit, bagaimana ia
ditinggikan?. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?. Dan bumi bagaimana ia
dihamparkan? (Q.S. al-Ghasyiyah/88: 17-20).[34]
Terjemahnya: Dan
apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di
bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik? (Q.S. Al-Syu’araa’/26: 7).[35]
Di samping mata, telinga, dan fikiran
sebagai sarana meraih pengetahuan, al-Qur’an pun menggarisbawahi pentingnya
peranan kesucian hati.
Wahyu dianugrahkan atas kehendak Allah
dan berdasarkan kebijaksanaan-Nya tanpa usaha dan campur tangan manusia.
Sementara firasat, intiusi, dan semacamnya, dapat diraih melalui penyucian
hati. Dari sini para ilmuwan muslim menekankan pentingnya tazkiyah an-nafs
(penyucian jiwa) guna memperoleh hidayat (petunjuk/pengajaran Allah), karena
mereka sadar terhadap kebenaran firman Allah:
سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ
يَتَكَبَّرُونَ فِي الأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِن يَرَوْاْ كُلَّ آيَةٍ لاَّ
يُؤْمِنُواْ بِهَا...
Terjemahnya: Aku akan memalingkan orang-orang
yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari
tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat (Ku),...(Q.S.
Al-A’raf/7: 146).[36]
Para ilmuwan muslim juga menggarisbawahi
pentingnya mengamalkan ilmu. Dalam konteks ini, ditemukan ungkapan yang dinilai
oleh sementara pakar sebagai hadis Nabi Saw.
من عمل بما عمل
او رثه الله مالم يعلم
Terjemahnya: Barangsiapa mengamalkan yang diketahuinya maka Allah
menganugrahkan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya”
Sebagian
ulama merujuk kepada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 282 untuk memperkuat hadis
tersebut:
وَاتَّقُواْ
اللّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّهُ وَاللّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴿٢٨٢﴾…
Terjemahnya: … Dan bertakwalah kepada Allah;
Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. al-Baqarah/2:
282).[37]
Atas dasar itu semua, al-Qur’an memandang
bahwa seseorang yang memiliki ilmu harus memiliki sifat dan ciri tertentu pula,
antara lain yang paling menonjol adalah sifat khasyat (takut dan kagum kepada
Allah).
Rasulullah
Saw.menegaskan bahwa:
عن جابر أن رسول
الله صلى الله عليه وسلم قال: العلم علمان علم فى القلب فذاك العلم النافع وعلم
على اللسان فذاك حبة الله على ابن أدم
Terjemahnya: Ilmu
itu ada dua macam, ilmu di dalam dada, itulah yang bermanfaat, dan ilmu sekedar
di ujung lidah, maka itu akan menjadi saksi yang memberatkan manusia.”[38]
b.
Kategori Ilmu
Dalam
khazanah Islam, terdapat dua kategori ilmu pengetahuan:
Ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama.
Adanya ilmu-ilmu umum dipahami dari surat Fathir/35:27-28, dan adanya ilmu-ilmu
agama dari surat at-Taubah/9:122.
Terjemahnya: Tidakkah kamu melihat bahwasanya
Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu
buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada
garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang
hitam pekat.” (Q.S. Fathir/35: 27).[39]
Di dalam ayat ini, Tuhan meminta manusia
agar memperhatikan bagaimana hujan turun dari langit. Hal ini minimal bisa
membuahkan pengembangan ilmu-ilmu meteorology. Pengamatan terhadap hujan yang
menumbuhkan aneka ragam tumbuh-tumbuhan paling kurang dapat memicu
berkembangnya ilmu-ilmu biologi dan kimia. Manusia juga diminta untuk
memperhatikan gunung-gunung, menyangkut struktur dan kelakuannya. Ini bisa
menjadi cikal-bakal pengembangan ilmu-ilmu geologi dan fisika. Ayat tersebut,
dengan demikian, menghendaki pengembangan kelima cabang ilmu alam.
Dalam ayat berikutnya:
Terjemahnya: Dan demikian (pula) di antara
manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang
bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di
antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi
Maha Pengampun.” (Q.S. Fathir/35: 28).[40]
Dalam ayat ini, Allah menyuruh manusia
agar mengamati dirinya sendiri, hewan, dan ternak, yang beragam jenisnya. Bila
pengamatan dilakukan, di samping akan mengembangkan ilmu-ilmu alam di atas,
juga akan memajukan ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu ekonomi. Pengamatan terhadap
manusia tentu akan melahirkan ilmu-ilmu budaya (humaniora). Jadi, ayat tersebut
jelas menghendaki pengembangan ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Di
pihak lain, dalam surah at-Taubah/9:122
Terjemahnya: Tidak sepatutnya bagi orang-orang
yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.” (Q.S. at-Taubah/9: 122).[41]
Allah mencela sikap yang selalu mengejar
dunia saja. Dalam setiap golongan, Allah menghendaki adanya sekelompok orang
yang mendalami agama, menasehati dan memajukan masyarakat.
Pengembangan kedua golongan besar ini
harus proporsional. Memang, fungsi ilmu-ilmu umum bagi kemajuan di dunia, tidak
diragukan. Tetapi, hendaknya perlu disadari bahwa ilmu-ilmu agama ikut berperan
dalam membangun kehidupan dunia. Sebab, jika ilmu-ilmu umum membangun ketahanan
fisik, maka ilmu-ilmu agama membekali pelaku pembangunan dengan ketahanan
mental dan moral yang sangat penting bagi kesuksesan pembangunan. Dengan
demikian kedua jenis ilmu tersebut mesti dipelajari dan diperankan secara
seimbang. Kedua ilmuwan di bidangnya masing-masing hendaklah terlibat secara
penuh.[42]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa ilmu yang diisyaratkan al-Qur’an dalam banyak hal, meliputi segala
pengetahuan yang bisa menyingkap hakikat segala sesuatu serta dapat
menghilangkan kabut kebodohan dan keraguan dari akal manusia. Obyeknya dapat
berupa alam atau pun manusia, wujud maupun gaib. Demikian pula metode
pengetahuannya, bisa berupa indra dan empiris ataupun akal.
BAB III
PENUTUP
Dari
berbagai uraian pada bab sebelumnya, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Etika adalah filsafat moral atau ilmu
akhlak, tidak lain dari pada ilmu atau “seni” hidup (the art of living) yang
mengajarkan bagaimana cara hidup bahagia, atau bagaimana memperoleh kebahagiaan.
Etika sebagai seni hidup etika sebagai pengobatan spiritual.
2. Agama merupakan kebutuhan paling esensial
manusia yang bersifat universal. Karena itu, agama adalah kesadaran spiritual
yang di dalamnya ada satu kenyataan yang tampak ini, yaitu bahwa manusia selalu
mengharap belas kasih-Nya, bimbingan tangan-Nya, serta belaian-Nya, yang secara
ontologism tidak diingkari, walaupun oleh manusia yang paling komunis
sekalipun.
3. ‘Ilm dari segi etimologi berarti
kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri
kejelasan. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.
4. Etika dalam Islam (bisa dikatakan)
identik dengan ilmu akhlak, yakni ilmu tentang keutamaan-keutamaan dan
bagaimana cara mendapatkannya agar manusia berhias dengannya; dan ilmu tentang
hal yang hina dan bagaimana cara menjauhinya agar manusia terbebas daripadanya.
Etika, di lain pihak, seringkali dianggap sama dengan akhlak.
5. Para ilmuwan muslim menggarisbawahi
pentingnya mengamalkan ilmu.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Zainal Arifin, Perkembangan pikiran
terhadapa Agama, Cet. I; Jakarta: Pustaka Alhusna, 1984.
Abdullah, M. Amin, The Idea of Universality of
Ethical Norms in Ghazali and Kant, diterjemahkan oleh Hamzah, Antara
al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, Cet.. II; Bandung: Mizan
1423/2002.
Alisjahbana, Sutan Takdir, Pemikiran Islam dalam
menghadapi Globalisasi, Cet. I; Jakarta: Dian Rakyat, 1992.
Al-Munawwar, Said Agil Husain, Aktualisasi
Nilai-nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam, Cet. II; Ciputat,
PT. Ciputat Press, 1426/2005.
Amin, Ahmad, Etika (ilmu akhlak), Cet. VII;
Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Cet. III;
Jakarta: Gramedia, 1996.
Hady, Aslam, Pengantar Filsafat Agama, Cet.
I; Bandung: Mizan, 1994.
Harun, Salman, Mutiara al-Qur’an, Aktualisasi
Pesan Al-Qur’an dalam kehidupan, Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Kartanegara, Mulyadhi, Menembus Batas Waktu:
Panorama Filsafat Islam, Cet. II; Bandung: Mizan, 1426/2005.
Mahdi, Ghulsyani, The Holy Quran and the Sciences
of Nature, diterjemahkan oleh Agus Effendi, Filsafat Sains Menurut
Al-Qur’an, Cet. X; Bandung: Mizan, 1419/1998.
Moeliono, Anton M, (Penyunting Penyelia), Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari berbagai
Aspeknya. Cet. I; Jakarta: UI Press,1979.
Poedjawiyatna, Etika Filsafat Tingkah Laku.
Cet. VIII; Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Qadir, C. A., Phylosophy and Science in the
Islamic World, diterjemahkan oleh Hasan Basri, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
dalam Islam, tc; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988.
Qardhawi, Yusuf, Al-‘Aqlu wa-‘Ilmu fil-Qur’anil
Karim, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattani, Al-Qur’an berbicara
tentang akal dan Ilmu pengetahuan, Cet. I; Kairo: Maktabah Wahbah, 1416/1996.
Robertson, Ronald, Agama dalam Analisa dan
Interpretasi Sosiologis, Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 1993.
Saefuddin, A.M., dkk., Desekularisasi Pemikiran
Landasan Islamisasi, Cet. I; Bandung: Mizan, 1987.
Shihab, Muhammad Quraish, Wawasan al-Qur’an:
Tafsir Maudhu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat, Cet. VIII; Bandung: Mizan,
1419/1998.
Sudarsono, Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar,
Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
[1]
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Cet. III; Jakarta: Gramedia, 1996), h.
217.
[2]
Mulyadhi Kartanehara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam,
(Cet. II; Bandung: Mizan, 1426/2005). h. 67.
[3]
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Cet. VII; Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 3.
[4]
Poedjawiyatna, Etika: Filsafat Tingkah Laku, (Cet. VIII; Jakarta: Rineka
Cipta, 1996), h. 13-14.
[5]
Sudarsono, Ilmu Filsafat, Suatu pengantar, (Cet. II; Jakarta: Rineka
Cipta, 2001), h. 1.
[6]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Cet. I; Jakarta:
UI Press, 1979), h. 9.
[7]
Aslam Hady, Pengantar Filsafat Agama, (Cet. I; Bandung: Mizan, 1994), h.
6.
[8]
Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu Hudhuri, (Cet. I; Bandung: Mizan, 1994), h. 169.
[9]
Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran terhadap Agama, (Cet. I;
Jakarta: Pustaka Alhusna, 1984), h. 72.
[10]
A.M. Saefuddin dkk., Desekularisasi Pemikiran landasan Islamisasi, (Cet.
I; Bandung: Mizan, 1987), h. 47.
[11]
Sutan Takdir Alisjahbana, Pemikiran Islam dalam Menghadapi Globalisasi,
(Cet. I; Jakarta: Dian Rakyat, 1992), h. 48.
[12]
Ronald Robertson, Agama alam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, (Cet.
I; Jakarta: Rajawali Press, 1993), h. 4.
[13]
Juhara S. Praja, Filsafat Ilmu, (Cet. I; Bandung: Teraju, 2002), h. 22.
[14]
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I Atas Pelbagai
persoalan Umat, (Cet. VIII; Bandung: Mizan, 1419/1998), h. 434.
[15]
Yusuf Qardhawi, Al-‘Aqlu wal-‘ilmu fil-Qur’anil-Karim, diterjemahkan
oleh Abdul Hayyie al-Kattani, Al-Qur’an berbicara tentang akal dan Ilmu
pengetahuan, (Cet. I; Kairo: Maktabah Wahbah, 1416/1996) h. 89.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20]
Anton M. Moeliono (Penyunting Penyelia), Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 15.
[21]
Ibid., h. 137.
[22]
Suparman Syukur, Etika Religius, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), h. 3.
[23] M.
Amin Abdullah, The Idea of Universality of Ethical Norms in Ghazali and
kant, diterjemahkan oleh Hamzah Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat
Etika Islam, (Cet. II; Bandung: Mizan, 2002), h. 18.
[24]
Lihat al-Qur’an (Q.S. Al-Syam/91: 8-9).
[25]
Nabi Saw. Pun diketahui secara luas mengajarkan bahwa “urusan yang terbaik
adalah Pertengahannya”.
[26]
Lihat al-Qur’an (Q.S. Lukman/31: 5, al-Baqarah/2: 58, al-A’raf/7: 16).
[27] Op.
Cit., h. 4.
[28]
Ghusyani. Mahdi, The Holy Quran and the Sciences of Nature,
diterjemahkan oleh Agus Effendi, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, (Cet.
X; Bandung: Mizan, 1419/1998), h. 3.
[29] C.
A. Qadir, Phylosophy and Science in the Islamic World, diterjemahkan
oleh Hasan Basri, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (tc;
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), h. 17.
[30] Ibid.
[31]
Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 413.
[32]
Muhammad Qurais Shihab, Op. Cit., h. 473.
[33] Ibid.,
h. 322.
[34] Ibid.,
h. 1055.
[35] Ibid.,
h. 572.
[36] Ibid.,
h. 244.
[37] Ibid.,
71.
[38]
Lihat, Muhammad Qurais Shihab, Op. Cit., h. 437-439.
[39]
Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 699.
[40] Ibid.,
h. 700.
[41] Ibid.,
h. 301.
[42]
Salman Harun, Mutiara al-Qur’an, Aktualisasi Pesan Al-Qur’an dalam Kehidupan,
(Cet. I: Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 87-89.
My Blog List
assalam..apakah perbezaan antara etika agama dan sistem etika yang bukan berasaskan agama?
BalasHapusassalam..apakah perbezaan antara etika agama dan sistem etika yang bukan berasaskan agama?
BalasHapus