- Back to Home »
- Peradaban Islam »
- Islam di Spanyol
Posted by : LaSaro'
Senin, 04 Februari 2013
SEJARAH ISLAM DI SPANYOL
A.
Masuknya Islam di Spanyol
Pada periode klasik paruh pertama-masa kemajuan (650-1000 M),
wilayah kekuasaan Islam meluas melalui
Afrika Utara (Aljazair dan Maroko) sampai ke Spanyol Barat.[1]
Spanyol adalah nama baru bagi Andalusia zaman dahulu. Nama Andalusia berasal
dari suku yang menaklukkan Eropa Barat di masa lalu[2]
sebelum bangsa Goth dan
Arab (Islam).
Spanyol diduduki umat Islam pada zaman Khalifah Al-Walid[3]
(705-715M), salah seorang khalifah Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Ada
tiga nama yang sering disebut berjasa dalam penaklukan Spanyol, yaitu Musa bin
Nushair, Tharif bin Malik dan Thariq bin Ziyad.[4]
Dari ketiga nama tersebut, nama terakhirlah yang sering disebut paling
terkenal, karena pasukannya lebih besar dan hasilnya lebih nyata. Pasukannya
terdiri dari sebagian suku Barbar (muslim dari Afrika Utara) yang didukung Musa
bin Nushair dan sebagian lagi orang Arab yang dikirim Al-Walid. Pasukannya yang
berjumlah 7000 orang yang menyeberang selat di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad.
Tentara Spanyol di bawah pimpinan Raja Roderick dapat ditaklukkan. Cordova
jatuh pada tahun 711 M. dari sana, wilayah-wilayah Spanyol, seperti Toledo,
Sevilla, Malaga, dan Granada dapat dikuasai dengan mudah.
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah Spanyol hingga
jatuhnya kerajaan Islam terakhir di sana, Islam memainkan peran yang sangat
besar. Sejarah panjang yang dilalui umat Islam di Spanyol itu dapat dibagi
menjadi enam periode, yaitu:
1.
Periode Pertama
(711-755 M)
Pada Periode ini, Spanyol berada di bawah pemerintahan para wali
yang diangkat oleh khalifah Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Pada
periode ini stabititas politik negeri Spanyol belum terkendali akibat gangguan
keamanan di beberapa wilayah, karena pada masa ini adalah masa peletakan dasar,
asas dan invasi Islam di Spanyol. Hal ini ditandai dengan adanya gangguan dari
berbagai pihak yang tidak senang kepada Islam. Sentralisasi kekuasaan masih di
bawah Daulat Umayyah di Damaskus.[5]
Sisa-sisa musuh Islam di Spanyol yang bertempat tinggal di
pegunungan yang tidak tunduk pada pemerintahan Islam juga terus mengganggu
stabititas politik dan keamanan.
Karena seringnya terjadi konflik maka dalam periode ini Islam
Spanyol belum melakukan pembangunan di bidang peradaban dan kebudayaan. Periode
ini berakhir dengan datangnya Abd Rahman al-Dakhil ke Spanyol tahun 755 M.[6]
2.
Periode Kedua
(755-912 M)
Pada masa ini Spanyol berada di bawah pemerintahan seorang yang
bergelar amir (panglima atau gubernur), tetapi tidak tunduk kepada pusat
pemerintahan Islam, yang ketika itu dipegang oleh Khalifah Abbasiyah di Baqdad.
Amir pertama adalah Abdurrahman I yang memasuki Spanyol tahun 138 H/755 M dan
diberi gelar al-Dakhil (yang masuk ke Spanyol).[7]
Dan adalah keturunan Bani Umayyah yang berhasil lolos dari kerajaan Bani Abbas,
ketika Bani Abbas berhasil menaklukkan Bani Umayyah di Damaskus. Selanjutnya,
ia berhasil mendirikan Dinasti Bani Umayyah di Spanyol. Adapun urutan keamiran
Bani Umayyah di Spanyol sebagai berikut:[8]
a.
Abd al-Rahman
al-Dakhil (755-788 M)
Adalah amir pertama, dikenal dengan nama Abdul Rahman I, cucu dari
Hisyam Khalifah Umayyah, yang berhasil lolos dari kejaran Bani Abbas ketika
berhasil menaklukkan Bani Umayyah di Damaskus. Selanjutnya dia mendirikan
Dinasti Bani Umayyah di Spanyol. Dengan dukungan bangsa Barbar dari Afrika
Utara dan Syiria pada masa rezim Umayyah di Spanyol. Rezim baru ini mengikuti
pola-pola pemerintahan lokal, dan membentuk angkatan bersenjata terdiri dari
para klien dari pyreness.
Abdurrahman
al-Dakhil diangkat sebagai Gubernur Cordova pada bulan Desember 755 M dan bulan
Mei berikutnya Abdurrahman al-Dakhil membangun tempat tinggal di kota itu serta
mengangkat dirinya sebagai amir. Abdurrahman al-Dakhil memasuki Spanyol
pada tahun 755 M. dan diberi gelar al-Dakhil (yang masuk ke Spanyol).
Abdurrahman
al-Dakhil memperindah kota-kota, membangun benteng-benteng yang kokoh dan
istana, serta meletakkan batu yang pertama untuk membangun mesjid yang terbesar
na nantinya di belahan Dunia Islam maupun, yang dilakukan dua tahun sebelum
wafatnya tahun 789 M.
b.
Hisyam Ibnu
Abdurrahman (788-796 M)
Adalah anak
dari Abdurrahman al-Dakhil yang ditunjuk untuk menggantinya. Di
kenal
sebagai Hisyam I yaitu amir kedua. Merupakan pemimpin yang takwa dan wara’.
Pada masa ini terbesar madzhab Maliki di Spanyol yang berasal dari Imam Malik
ibn Anas yang berpusat di Madinah. Madzhab Maliki disebarkan oleh Ziyad ibn
Abdurrahman, seorang ulama yang belajar ke Madinah untuk mempelajari Madzhab
Maliki secara langsung dari Imam Malik.[9]
Pada masa ini Hisyam I menghadapi pemberontakan yang dilancarkan
oleh saudaranya di Toledo yakni Abdullah dan Sulaiman. Hisyam mengarahkan
perhatiannya ke wilayah Utara. Umat Kristen yang melancarkan gangguan keamanan
ditindasnya sekaligus berhasil mengalahkan kekuatan Perancis. Kota Norebonne
ditaklukkannya, sementara suku Gakicia mengajukan perundingan perdamaian.[10]
Hisyam merupakan penguasa yang adil dan murah hati khususnya
terhadap rakyat lemah dan miskin. Ia membangun jembatan Cordova dan
merampungkan pembangunan mesjid dan gereja yang dibangun oleh ayahnya. Ulama
Spanyol menduduki tempat yang tinggi di kerajaan dan memberi nasehat kepada
penguasa.[11]
Hisyam ibnu Abdurrahman memerintah selama 8 tahun dan wafat pada
tahun 796 M. kendali pemerintahan diteruskan oleh anaknya Hakam ibn Hisyam.[12]
Pada masa ini umat Islam di Spanyol mulai memperoleh
kemajuan-kemajuan, baik dalam bidang politik, peradaban serta pendidikan.
Abdurrahman mendirikan mesjid Cardova dan sekolah-sekolah di kota-kota besar di
Spanyol. Kemudian penerus-penerusnya yang lain seperti Hisyam dikenal berjasa
dalam menegakkan hukum Islam, dan Hakam dikenal sebagai pembaharu dalam bidang
kemiliteran, sedangkan Abdurrahman al-Ausath dikenal sebagai penguasa yang
cinta ilmu. Pada masa Abdurrahman al-Ausath ini pemikiran filsafat mulai masuk,
maka ia mengundang para ahli dari dunia Islam lainnya untuk datang ke Spanyol
sehingga kegiatan ilmu pengetahuan di Spanyol mulai semarak.[13]
3.
Periode Ketiga
(912-916 M)
Periode ini berlangsung mulai dari pemerintahan Abdurrahman III,
yang bergelar “An-Nasir” sampai munculnya muluk at-thawaif (raja-raja
kelompok). Pada periode ini Spanyol diperintah oleh penguasa dengan “Khalifah”.
Pada periode ini juga umat Islam di Spanyol mencapai puncak kemajuan dan
kejayaan menyaingi Daulat Abbasiyah di Bagdad. Abdurrahman an-Nasir mendirikan
Universitas Cardova. Perpustakaannya memiliki koleksi ratusan ribu buku. Hakam
II juga seorang kolektor buku dan pendiri perpustakaan.[14]
a.
Abd al Rahman
al-Nasir (912-916 M)[15]
Abd al-Rahman al-Nasir (Abd Rahman III) adalah amir yang kedelapan,
menggantikan kedudukan ayahnya pada usia 23 tahun.
Suku Barbar dan umat Kristen tunduk kepada Abdur Rahman III. Hanya
masyarakat Toledo berusaha melawan, namun dapat dikalahkan. Dua tahun dari masa
penobatan Abdur Rahman III, Ordano II, kepala suku Leon datang menyebu wilayah
Islam. Pada saat itu Abd al-Rahman terlibat perselisihan dengan Khalifah
Fatimiyah. Ahmad Ibn Abu Abda ditunjuk memimpin pasukan untuk menghadapi
pasukan Ordano II, kemudian bersekutu dengan Sancho, kepala suku Navarre.
Suku
Leon dan Suku Navarre dihancurkan oleh Abd al-Rahman III bersamaan dengan
terbunuhnya Ordano II dan Sanche. Abd al-Rahman merupakan orang pertama yang
mengklaim kedudukannya sebagai khalifah dengan gelar al-Nasir lidinillah
setelah menumpas pemberontakan Kristen suku Leon dan Navarre.
b.
Hakam II
(961-976 M)
Hakam II menggantikan kedudukan ayahnya, Abd al-Rahman. Pada masa
ini pemimpin suku Navarre yang pada masa Abd al-Rahman mengakui pemerintahan
Islam, berusaha melepaskan diri. Hakam membuktikan bahwa dia tidak hanya
terpelajar melainkan juga pemimpin militer yang cakap. Sanchol pemimpin Kristen
suku Leon dan pemimpin Kristen ditundukkan. Ia juga mengerahkan pasukannya di
pimpin Ghalib ke Afrika untuk menekan kekuatan Fatimiyah. Ghalib sukses
menegakkan kekuasaan Umayyah Spanyol di Afrika Barat.[16]
Setelah
berhasil mengamankan situasi politik, Hakam menunjukkan dirinya dalam gerakan
pendidikan dengan mengumpulkan kurang lebih 400.000 buku di perpustakaan
Cordova. Para ilmuwan, filosof, ulama dapat bebas memasukinya. Untuk meningkatkan
kecerdasan rakyat, dia mendirikan sekolah-sekolah. Seluruh rakyat Spanyol
mengenal baca tulis. Sementara umat Kristen Eropa kecuali pendeta tetap dalam
kebodohan.[17]
Dengan
meninggalnya Hakam pada tahun 976 M masa kejayaan Dinasti umayyah di Spanyol
berakhir.
c.
Hisyam II
(976-1009 M)[18]
Hakam mewariskan kedudukannya kepada Hisyam II, anaknya yang
berusia 11 tahun. Oleh karena itu, kekuasaan aktual berada di tangan para
pejabat. Pada tahun 981 M, Khalifah menunjuk Muhammad Ibn Abi ‘Amir seorang
yang sangat ambisius. Setelah berhasil menyingkirkan rekan-rekan dan
saingannya, dia menancapkan kekuasannya dan melebarkan wilayah kekuasaan Islam.
Atas keberhasilannya, dia mendapat gelar al-Manshur Billah dan merekrut
militer dari suku Barbar menggantikan militer Arab. Kekuatan militer Barbar
berhasil menundukkan kekuatan Kristen di wilayah Spanyol dan memperluas Bani
Umayyah di Barat laut Afrika. Akhirnya ia memegang seluruh kekuasaan negara.
Al-Manshur
Billah meninggal tahun 1002 M di Madinaceli. Ia merupakan negarawa dan Jenderal
Arab yang terbesar di Spanyol. Menurut ahli sejarah, Dozy, pada masa ini rakyat
lebih makmur dari masa sebelumnya. Dia digantikan oleh anaknya bernama
al-Muzaffar yang berhasil mempertahankan kondisi ini, selama 6 tahun Muzaffar
mewariskan jabatanya kepada saudaranya bernama Abdur Rahman (Sanchol), namun
Sanchol tidak memiliki kualitas bagi jabatan itu.
Sepeninggal Muzaffar, Spanyol dilanda kesusahan dan akhirnya
mengalami kehancuran total. Pada tahun 1009 M Khalifah mengundurkan diri.
Beberapa orang yang dicoba untuk menduduki jabatan itu namun tidak ada yang
sanggup memperbaiki keadaan. Akhirnya pada tahun 1013 M, Dewan Menteri yang
memerintah Cordova menghapus jabatan Khalifah. (Watt, 1990: 217-218).
4.
Periode Keempat
(1013-1086 M)
Pada periode ini Spanyol terpecah menjadi lebih dari tiga puluh negara
kecil di bawah pimpinan raja-raja golongan atau Al-mulukuth -Thawaif,
yang berpusat di suatu kota seperti Siville, Toledo dan sebagainya. Yang terbesar
diantaranya adalah Abbadiyah di Seville, Cordova, Toledo, dan sebagainya. Yang
terbesar diantaranya adalah Abbadiyah di Seville. Pada priode ini umat Islam
Spanyol kembali memasuki masa pertikaian intern. Ironisnya, kalau terjadi
perang saudara, ada di antara pihak-pihak yang bertikai itu yang meminta
bantuan kepada raja-raja Kristen. Melihat kelemahan dan kekacauan yang menimpa
keadaan politik Islam itu, untuk pertama kalinya, orang-orang Kristen pada
periode ini mulai mengambil inisiatif penyerangan. Meskipun, kehidupan politik
tidak stabil, namun, kehidupan intelektuan terus berkembang pada periode ini, istana-istana
mendorong para sarjana dan sastrawan untuk mendapatkan perlindungan dari satu
istana keistana lain.[19]
5.
Periode Kelima
(1086-1248 M)[20]
Pada periode ini, Spanyol Islam meskipun masih terpecah dalam
beberapa negara, tetapi terdapat satu kekuatan yang dominan, yaitu kekuasaan
dinasti Murabithun (1086-1143 M) dan dinasti Muwahhidun (1146-1235 M). Dinasti
Murabithun pada mulanaya adalah sebuah gerakan agama yang didirikan oleh Yusuf
ibn Tasyfin di Afrika Utara. Pada tahun 1062 M ia berhasil mendirikan sebuah
kerajaan berpusat di Marakesy. Ia masuk ke Spanyol atas “Undangan”
penguasa-penguasa Islam di sana yang tengah memikul beban berat perjuangan
mempertahankan negeri-negerinya dari serangan-serangan orang-orang Kristen. Ia
dan tentaranya memasuki Spanyol pada tahun 1086 M dan berhasil mengalahkan
pasukan Castilia. Karena perpecahan di kalangan raja-raja Muslim, Yusuf
melangkah lebih jauh untuk menguasai Spanyol dan ia berhasil untuk itu. Akan
tetapi, penguasa-penguasa sesudah ibn Tasyfin adalah raja-raja yang lemah. Pada
tahun 1143 M, kekuasaan dinasti ini berakhir, baik di Afrika Utara maupun
dinasti Murabithun, Saragossa jatuh ke tangan Kristen, tepatnya tahun 1118 M.
Di Spanyol sendiri, sepeninggal dinasti ini, pada mulanya kembali
dinasti-dinasti kecil, tapi hanya berlangsung tiga tahun. Pada tahun 1146 M
penguasa dinasti Muwahhidun yang berpusat di Afrika Utara merebut daerah ini.
Muwahhidun didirikan oleh Muhammad ibn Tumart (w. 1128). Dinasti ini datang ke
Spanyol di bawah pimpinan Abd Al-Mun’im. Antara tahun 1114 dan 1154 M,
kota-kota Muslim penting, Cordova, Almeria, dan Granada, jatuh kebawah
kekuasaannya. Untuk jangka beberapa decade, dinasti ini mengalami banyak
kemajuan. Kekuatan-kekuatan Kristen dapat dipukul mundur. Akan tetapi, tidak
lama setelah itu, Muwahhidun mengalami keambrukan. Pada tahun 1212 M, tentara
Kristen memperoleh kemenangan besar di Las Navas de Tolesa. Kekalahan-kekalahan
yang dialami Muwahhidun menyebabkan penguasanya memilih untuk meninggalkan Spanyol
dan kembali ke Afrika Utara tahun 1235 M. Keadaan Spanyol kembali runyam,
berada di bawah penguasa-penguasa kecil. Dalam kondisi demikian, umat Islam
tidak mampu bertahan dari serangan-serangan Kristen yang semakin besar. Tahun
1238 M Cordova jatuh ke tangan penguasa Kristen dan Seville jatuh tahun 1248 M.
Seluruh Spanyol kecuali Granada lepas dari kekuasaan Islam.[21]
6.
Periode Keenam
(1248-1492 M)
Pada
periode ini, Islam hanya berkuasa di daerah Granada, di bawah dinasti Bani
Ahmar (1232-1492). Peradaban kembali mengalami kemajuan seperti di zaman
Abdurrahman An-Nasir. Akan tetapi, secara politik, dinasti ini hanya berkuasa
di wilayah yang kecil. Kekuasaan Islam yang merupakan pertahanan terakhir di
Spanyol ini berakhir, karena perselisihan orang-orang istana dalam
memperebutkan kekuasaan. Abu Abdullah Muhammad merasa tidak senang kepada
ayahnya, karena menunjuk anaknya yang lain sebagai penggantinya menjadi raja.
Dia memberontak dan berusaha merampas kekuasaan. Dalam pemberontakan itu,
ayahnya terbunuh dan digantikan oleh Muhammad ibn Sa’ad.Abu Abdullah kemudian
meminta bantuan kepada Ferdenand dan Isabella untuk untuk menjatuhkannya. Dua
penguasa Kristen ini dapat mengalahkan penguasa yang sah dan Abu Abdullah naik
tahta.
Tentu saja, Ferdenand dan Isabella yang mempersatukan dua kerajaan
besar Kristen melalui perkawinan itu tidak cukup merasa puas. Keduanya ingin
merebut kekuasaan terkhir umat Islam di Spanyol. Abu Abdullah tidak kuasa
menahan serangan-serangan orang Kristen tersebut dan pada akhirnya mengaku
kalah. Ia menyerahkan kekuasaan kepada Ferdenand dan Isabella, kemudian, hijrah
ke Afrika Utara. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Islam di Spanyol tahun
1492 M. Umat Islam setelah itu dihadapkan kepada dua pilihan, masuk Kristen
atau pergi meninggal Spanyol. Pada tahun 1609 M, boleh dikatakan tidak ada lagi
umat Islam di daerah ini. [22]
B.
Kemajuan Ilmu pengetahuan di spanyol
Islam di Spanyol telah mencatat satu lembaran peradaban dan
kebudayaan yang sangat brilian dalam Yunani-Arab ke Eropa pada abad XII. Minat
terhadap pendidikan dan ilmu pengetahuan serta filsafat mulai dikembangkan pada
abad IX M selama pemerintahan penguasaan Bani Umayyah yang ke-5, Muhammad Ibn
Abd Al-Rahman (832-886 M).[23]
Berdasarkan literatur-literatur yang membahas sejarah pendidikan
dan sejarah peradaban Islam secara garis besar pendidikan Islam di Spanyol
terbagi pada dua bagian atau tingkatan, yaitu:
1.
Kuttab
Pada lembaga pendidikan kuttab ini para siswa mempelajari
beberapa bidang studi dan pelajaran-pelajaran yang meliputi fiqih, bahasa dan
sastra serta musik dan kesenian.
a.
Fiqih
Dalam bidang fiqih, karena Spanyol Islam menganut Madzhab Maliki,
maka para ulama memperkenalkan materi-materi fiqih dari madzhab Imam Maliki.
Para Ulama yang memperkenalkan madzhab ini antara lain Ziyad ibn Abd al-Rahman,
perkembangan selanjutnya itentukan oleh Ibn Yahya yang menjadi qadhi
pada masa Hisyam ibn Abd Rahman. Ahli-ahli fiqih lainnnya diantaranya Abu Bakr
ibn Al-Quthiyah, Munzir ibn Said Al-Baluthi dan Ibnu Hazm yang terkenal.[24]
b.
Bahasa dan
Satra
Karena bahasa Arab telah menjadi bahasa resmi dan bahasa
administrasi dalam pemerintahan Islam di Spanyol. Bahasa Arab ini diajarkan
kepada murid-murid dan para pelajar, baik yang Islam maupun non Islam. Dan hal
ini dapat diterima oleh masyarakat, bahkan mereka rela menomorduakan bahasa
asli mereka. Mereka juga banyak yang ahli dan mahir dalam bahasa Arab, sehingga
mereka terampil dalam berbicara maupun dalam tata bahasa.
c.
Musik dan
Kesenian
Sya’ir merupakan ekspresi utama dari peradaban Spanyol. Pada
dasarnya sya’ir Spanyol didasarkan pada model-model sya’ir Arab membangkitkan
sintiment prajurit dan interes faksional para penakluk Arab. Dalam bidang musik
dan seni, Spanyol Islam memiliki tokoh seniman yang sangat terkenal, yaitu
al-Hasan ibn Nafi dikenal dengan julukan Ziryab (789-857). Setiap kali
ada pertemuan di Cardova, Ziryab selalu mempertunjukkan kebolehannya. Ia
juga terkenal sebagai pengubah lagu, ilmu yang dimilikinya itu diajarkan kepada anak-anaknya,
baik laki-laki maupun perempuan dan juga kepada budak-budak sehingga
kemasyhurannyatersebar luas.[25]
2.
Pendidikan
Tinggi
Masyarakat Arab yang berada di Spanyol merupakan pelopor peradaban
dan kebudayaaan juga pendidikan, antara pertengahan abad kedelapan sampai
dengan akhir abad ketiga belas. Melalui usaha yang mereka lakukan, ilmu
pengetahuan kuno dan ilmu pengetahuan Islam dapat ditranmisikan ke Eropa. Bani
Umayyah yang berada di bawah kekuasaaan al-Hakam menyelenggarakan pengajaran
dan telah memberikan banyak sekali penghargaan kepada para sarjana. Ia telah
membangun Universitas Cardova berdampingan dengan mesjid Abdurrahman III yang
selanjutnya tumbuh menjadi lembaga pendidikan yang terkenal diantara jajaran
lembaga pendidikan tinggi lainnya di dunia. Universitas ini menandingi dua Universitas
lainnya, yaitu Al-Azhar di Cairo dan Nizamiyah di Bagdad, dan telah menarik
perhatian para pelajar tidak hanya dari Spanyol, tetapi juga dari tempat lain
seperti dari Negara-negara Eropa, Afrika, dan Asia.[26]
Di antara para Ulama yang bertugas di Universitas Cardova adalah
Ibnu Quthaibah yang dikenal sebagai ahli tata bahasa dan Abu Ali Qali yang dikenal
sebagai pakar filologi. Universitas ini memiliki perpustakaan yang menampung
koleksi sekitar empat juta buku. Universitas ini mencakup jurusan yang meliputi
astronomi, matematika, kedokteran, teologi dan hukum, Jumlah muridnya mencapai
seribu orang. Selain itu juga di Spanyol terdapat terdapat Universitas Sevilla,
Malaga, dan Granada. Mata kuliah yang diberikan di universitas-universitas
tersebut meliputi teologi, hukum Islam, kedokteran, kimia, filsafat, dan
astronomi. Sebagai prasasti pada pintu gerbang Universitas yang disebutkan
terakhir ditulis sebagai berikut: Dunia ini ditopang oleh empat hal, yaitu
pengajaran tentang kebijaksanaan, keadilan dari penguasa, ibadah dari
orang-orang yang shaleh dan keberanian yang pantang menyerah.[27]
a.
Filsafat
Atas
inisiatif Al-Hakam (961-976 M), karya-karya ilmiah dan filosofis diimpor dari
Timur dalam jumlah besar, sehingga Cardova dengan perpustakaan dan universitas-universitasnya
mampu menyaingi Bagdad sebagai pusat utama ilmu pengetahuan di dunia Islam. Apa
yang dilakukan oleh para pemimpin Dinasti Bani Umayyah di Spanyol ini merupakan
persiapan untuk melahirkan filosof-filosof besar pada masa sesudahnya.[28]
Tokoh utama pertama dalam sejarah filsafat Arab-Spanyol adalah Abu Bakr
Muhammad ibn Al-Sayigh yang lebih dikenal dengan Ibn Bajjah. Dilahirkan di
Zaragoza, ia pindah ke Sevilla dan Granada. Meninggal karena keracunaan di Fez
tahun 1138 M dalam usia muda. Seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina di Timur.[29]
Bagian
akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang
terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Ibnu Rusyd dari Cordova, ia
lahir tahun 1126 M dan wafatnya tahun 1198 M. Ciri khasnya adalah kecermatan
dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti
masalah-masalah klasik tentang keserasian filsafat dan agama. Dia juga ahli
fiqih dengan karyanya yang termasyhur Bidayah al-Mujtahid.[30]
b.
Sains
Ilmu-ilmu kedokteran, musik, matematika, astronomi, kimia dan
lain-lain juga berkembang dengan baik. Abbas ibn Farnas termasyhur dalam ilmu
kimia dan astronomi. Ia adalah orang pertama yang menemukan pembuatan kaca dari
batu.[31]
Dalam
bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian barat melahirkan banyak
pemikir terkenal. Ibn Jubair dari Valencia (1145-1228 M) menulis tentang
negeri-negeri muslim di Mediterania dan Sisiliah. Dan Ibn Batuthah dari Tangier
(1304-1377 M) mencapai Samudera Pasai dan Cina. Ibn al-Khatib (1317-1374 M)
menyusun riwayat Granada. Itulah sebagian naman-nama besar dalam bidang sains.[32]
C.
Kebudayaan di Spanyol
Orang- orang Arab memperkenalkan pengaturan hidrolik untuk tujuan
irigasi. Kalau dam digunakan untuk mengecek curah hujan, waduk (kolam) dibuat
untuk konservasi (penyimpanan air). Pengaturan hidrolik itu dibangun dengan
memperkenalkan roda air (water wheel) asal Persia yang dinamakan na’urah
(Spanyol: Noria). Di samping itu, orang-orang Islam juga memperkenalkan
pertanian padi, perkebunan jeruk, kebun-kebun dan taman-taman.[33]
Industri, disamping pertanian dan perdagangan, juga merupakan
tulang punggung ekonomi Spanyol Islam. Di antaranya adalah tekstil, kayu,
kulit, logam, dan industri barang-barang tembikar.
Namun demikian, pembangunan-pembangunan fisik yang paling menonjol
adalah pembangunan gedung-gedung, seperti pembangunan kota, istana, mesjid,
pemukiman, dan taman-taman. Di antara pembangunan yang megah adalah mesjid
Cardova, kota al-Zahra, Istana Ja’fariyah di Saragosa, tembok Toledo, Istana
al-Makmun, sesjid Seville, dan Istana al-Hamra di Granada.
F. Faktor Pendukung Kemajuan
Pendidikan/Peradaban di Spanyol
1.
Adanya dukungan dari para penguasa. Kemajuan Spanyol Islam sangat ditentukan
oleh adanya penguasa-penguasa yang kuat dan berwibawa serta mencintai ilmu
pengetahuan, juga memberikan dukungan dan penghargaan terhadap para ilmuan dan
cendikiawan.
2.
Didirikannya sekolah-sekolah dari universitas-universitas di beberapa kota di
Spanyol oleh Abd al- Rahman III al-Nasir, dengan Universitasnya yang terkenal
di Cardova. Serta dibangunnya perpustakaan-perpustakaan yang memiliki koleksi
buku-buku yang cukup banyak.
3. Banyaknya sarjana Islam yang datang dari
ujung Timur sampai ujung Barat wilayah Islam dengan membawa berbagai buku dan
bermacam gagasan. Ini menunjukkan bahwa meskipun umat Islam terpecah dalam
beberapa kesatuan politik, terdapat apa yang disebut kesatuan budaya Islam.[34]
4. Adanya persaingan antara Abbasiyah di Baghdad
dan Umayyah di Spanyol dalam bidang ilmu pengetahuan dengan didirikannya
Universitas Cardova yang menyaingi Universitas Nishamiyah di Baghdad yang
merupakan persaingan positif tidak selalu dalam bentuk peperangan.
G. Faktor Kemunduran Islam di Spanyol
Adapun penyebab kemunduran Islam di Spanyol adalah:
1. Konflik Islam dan Kristen
Kehadiran Arab Islam telah memperkuat rasa kebangsaan orang-orang Spanyol
Kristen, sehingga kehidupan Negara Islam tidak pernah sepi dari pertentangan
antara Islam dan Kristen.
2. Tidak adanya Ideologi Pemersatu
Di Spanyol, sebagaimana politik yang dijalankan Bani Umayyah di
Damaskus, orang-orang Arab tidak pernah menerima orang-orang pribumi. Mereka
masih memberi istilah ‘ibad dan muwalladun kepada para muallaf
itu, suatu ungkapan yang dianggap merendahkan.
3. Kesulitan ekonomi
Pada paruh kedua masa Islam di Spanyol, para penguasa
membangun kota dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan sangat serius,
sehingga lalai membina perekonomian.
4. Tidak jelasnya sistem peralihan pemerintahan
Hal ini menyebabkan perebutan kekuasaan di antara ahli waris
5. Keterpencilan
Spanyol Islam terpencil dari dunia Islam yang lain. Ia berjuang
sendirian tanpa mendapat bantuan kecuali dari Afrika Utara. Dengan demikian
tidak ada kekuatan alternatif yang mampu membendung keebangkitan di sana
(Yatim, 2003: 107-108).
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. Mukti, Sejarah
Islam Pramodern, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995.
Amin, M.
Mansyur, Sejarah peradaban Islam, Bandung: Indonesia Spirit Foundation,
2004
Fakhri, Majid, Sejarah
Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Jaya, 1986.
Hamka, Sejarah
Umat Islam, Jakarta, Penerbit Bulan Bintang, 1981
Hittin, Philip
K., History of The Arabs, Diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin,
Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008
Nasution,
Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta: UI Press, 1985.
Sou’yb,
Joesoef, Sejarah Daulat Umayyah di Cordova, Jakarta, Penerbit Bulan
Bintang, tth.
Syalabi, Ahmad,
Sejarah kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka AlHusna, 1983.
Yatim, Badri, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2004.
[1] Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI Press, 1985),
Jilid I, h. 12.
[2] Ensiklopedi
Islam, 1999, h. 145.
[3]
Nama lengkapnya adalah Al-Walid bin Abdul Malik merupakan Khalifah ketiga dari
Dinasti Umayyah. Setelah Muawiyah bin Abi Sufyan (661-680 M) dan Khalifah Abdul
Malik bin Marwan (685-705 M) selanjutnya setelah Al-Walid diteruskan oleh
Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) dan Hasyim ibn Abdul Al-Malik (724-743
M). Ekspansinya ke barat dilakukan secara besar-besaran, di zaman Al-Walid masa
pemerintahannya adalah masa ketentraman, kemakmuran dan ketertiban, umat Islam
hidup pemerintahannya berjalan kurang lebih 10 tahun.
[4]
Badri Yatim, op. cit., h. 89.
[5] A.
Mukti Ali, Sejarah Islam Pramodern, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1995), h. 319.
[6]
Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1981), h.
134.
[7]
Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah III, Pengantar Studi Sejarah kebudayaan
Islam dan Pemikiran, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), h. 14-15.
[8]
Badri Yatim, op. cit., h. 95.
[9] M.
Mansyur Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Indonesia Spirit
Foundation, 2004), h. 188.
[10]
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Umayyah di Cordova, (Jakarta: Penerbit Bulan
Bintang, tth), h. 44.
[11] M.
Mansyur Amin, op.cit., h. 188.
[12] Ibid,
h. 118.
[13]
Badri Yatim, op. cit., h. 95.
[14]
Badri yatim, op. cit., h. 96-97.
[15]
Joesoef Sou’yb, op. cit., h. 107-132.
[16]
Joesoef Sou’yb, op. cit., h. 133-142.
[17]
Philip K. Hitti, op. cit., h. 675.
[18] Ibid.,
h. 676-678.
[19]
Badri Yatim, op. cit., h. 97-98.
[20] M.
Mansyur Amin, op. cit., h. 121-122.
[21]
Badri Yatim, op. cit., h. 98-99
[22] Badri
Yatim, op. cit., h. 99-100.
[23]
Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), h.
35.
[24]
Badri Yatim, op. cit., h. 103.
[25]
Ahmad Syalabi, op. cit., h. 88.
[26]
Zainuddin Alavi, Muslim Education Thought in the Middle Age, (terj)
Abuddin Nata, (Bandung: Angkasa, 2000), h. 16.
[27]
Philip K. Hitti, Dunia Arab, (Terj) Ushuluddin Hutugalung, (Bandung:
Sumur Bandung, 1962), h. 135.
[28]
Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), h.
357.
[29]
Badri Yatim, op. cit., h. 101.
[30]
Badri Yatim, op. cit., h. 101-102.
[31]
Ahmad Syalabi, op. cit., h. 86.
[32]
Badri Yatim, op. cit., h. 102.
[33] S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban
Modern, (Jakarta: P3M, 1986), Cet Ke II, h. 67.
[34]
Majid Fakhri, op. cit., h. 356.
My Blog List